Kearifan lokal merupakan warisan kekayaan intelektual yang berkembang dalam pusaran kehidupan masyarakat. Keberadaannya tidak bisa dibiarkan hidup begitu saja tanpa peran serta dari para pemangku kepentingan. Kearifan lokal yang sudah lama berkembang dan terwariskan dari leluhur telah mewarnai dinamika kehidupan masyarakat. Kearifan lokal telah menjadi sarana ampuh dan strategis dalam memosisikan masyarakat agar dapat survive dalam menghadapi kehidupan.
Bahasa daerah merupakan salah satu kearifan lokal pada beberapa suku bangsa yang diwariskan secara turun-temurun oleh para leluhur. Demikian pula dengan bahasa Sunda yang menjadi alat perhubungan setiap masyarakat bersuku bangsa Sunda.
Selama beberapa tahun ke belakang, perkembangan bahasa Sunda tidak mengarah pada kondisi yang menggembirakan karena banyak kendala yang menghambatnya.
Salah satu kendala yang terjadi, terkait dengan stigmaisasi bahasa Sunda sebagai bahasa tradisional yang dipandang tidak memberikan kebanggaan terhadap para penuturnya.
Bagaimana bangganya orang tua ketika mengajak anak balitanya untuk bertutur kata dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, termasuk bahasa asing lainnya yang dipandang sebagai bahasa modern dan kekinian. Bila kenyataan tersebut dibiarkan begitu saja, dapat diyakini bahwa penutur bahasa Sunda akan mengalami penurunan. Bahkan lebih jauh lagi, bahasa ini bisa dimungkinkan mengalami kepunahan.
Pertanyaan yang lahir adalah mungkinkah bahasa Sunda sebagai produk kearifan lokal dan warisan kekayaan intelektual diangkat dan diperkuat kembali dalam dinamika kehidupan masyarakat Sunda. Sementara, mereka terpenjara dengan stigma bahwa bahasa Sunda adalah produk kuno yang tidak merepresentasikan kemodernan.
Adalah kewajiban para pemangku kepentingan untuk bersinergi terus dalam mengupayakan dan mempertahankan eksistensi bahasa Sunda di tengah arus masyarakat modern yang cenderung meninggalkan tata kehidupan tradisional.
Di tengah fenomena kehidupan dengan nuansa revolusi industri 4.0 dan society 5.0, bahasa Sunda harus tetap eksis dan ditempatkan sebagai warisan kekayaan intelektual yang menjadi kebanggaan setiap penuturnya, terutama para generasi muda yang akan menjadi penerus dan penjaga eksistensi bahasa ini .
Penguatan Bahasa Sunda
Bahasa bukan sekedar sekumpulan kata atau seperangkat kaidah tata bahasa, tetapi sebagai khazanah budaya, pemikiran, dan pengetahuan. Dalam posisi sebagai khazanah budaya, bahasa harusnya menjadi kebanggaan dari masyarakat penggunanya. Bahasa daerah mempunyai peranan sebagai simbol identitas komunal masyarakatnya. Kenyataan tersebut harus disadari karena bahasa daerah merupakan warisan kekayaan intelektual dari para pendahulu yang tak ternilai harganya karena menjadi pengukuh eksistensi suku bangsa.
Seperti kehidupan manusia yang fana, ternyata bahasa pun mengalami proses kepunahan karena tergerus dinamika zaman. Menurut catatan yang dirilis Unesco, di dunia ini, setiap tahun hampir sepuluh bahasa mengalami kepunahan. Bahkan dalam kurun waktu 30 tahun, di dunia telah ada 200 bahasa daerah mengalami kepunahan. Sedangkan untuk bahasa daerah di Indonesia yang jumlahnya mencapai 718 bahasa daerah, beberapa di antaranya dalam kondisi terancam kepunahan. Penyebab utamanya karena para penutur bahasa daerah tersebut tidak lagi menggunakan dan mewariskan kepada para generasi muda sebagai penerus eksistensi bahasa daerah tersebut.
Dalam beberapa kasus, kepunahan bahasa daerah terjadi dengan dua cara. Pertama, penjajahan atas negara oleh negara lain. Kedua, penutur bahasa terpaksa berpindah bahasa dan menggunakan bahasa lain dengan didasari berbagai alasan.
Bahasa Sunda merupakan bahasa daerah dengan penuturnya masyarakat suku Sunda yang mendiami bagian barat pulau Jawa. Sekalipun demikian, bahasa ini dituturkan pula oleh masyarakat pada berbagai tempat di luar bagian barat pulau Jawa yang menjadi tempat migrasi suku Sunda. Menurut sensus yang dilakukan tahun 2000, bahasa Sunda dituturkan oleh lebih kurang 34 juta penutur.
Ada sementara kalangan yang mengkhawatirkan keberlangsungan perkembangan bahasa Sunda dalam dinamika kehidupan modern saat ini. Kekhawatiran tersebut dilatarbelakangi oleh fenomena yang berkembang di kalangan masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa sesuatu yang tidak terkategori modern, di antaranya bahasa Sunda merupakan bagian dari kehidupan yang harus termarginalisasikan. Hal yang demikian sudah tidak memiliki nilai lebih jika digunakan, terutama dalam kaitannya dengan citra diri. Oleh karena itu, mereka kurang memiliki kepedulian terhadap kelangsungan kehidupan bahasa Sunda yang sebenarnya telah menjadi bahasa ibu bagi sebagian besar suku Sunda. Bahasa ibu yang mengantarkan mereka pada sosok kemodernan.
Bila kenyataan tersebut dibiarkan dengan tanpa penanganan khusus, lambat-laun akan terjadi penurunan jumlah penutur bahasa Sunda. Penurunan jumlah penutur inilah yang akan menjadi pemicu kepunahannya, sehingga melayanglah warisan kekayaan intelektual yang tak ternilai harganya.
Peluang perkembangan bahasa Sunda dan bahasa daerah lainnya masih terbuka seiring dengan perkembangan kebijakan yang diberlakukan. Pada kebijakan Merdeka Belajar Episode Ketujuhbelas, Kemendikbudristek telah menetapkan langkah Revitalisasi Bahasa Daerah. Penerapan kebijakan tersebut merupakan energi baru dalam upaya lebih menguatkan bahasa Sunda dan bahasa daerah lainnya di kalangan penuturnya, terutama para penutur muda—kalangan siswa satuan pendidikan.
Dalam kebijakan tersebut disampaikan tentang tiga model revitalisasi yang memungkinkan dapat diterapkan pada bahasa daerah, termasuk bahasa Sunda. Mencermati model tersebut, revitalisasi bahasa Sunda mengarah pada model A. Model ini memiliki karakteristik berikut: daya hidup bahasanya masih aman; jumlah penuturnya masih banyak; serta masih digunakan sebagai bahasa yang dominan di dalam masyarakat tuturnya. Sedangkan pendekatan yang diterapkan pada model tersebut adalah pewarisan dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah (berbasis sekolah) serta pembelajaran secara integratif, kontekstual, dan adaptif, baik melalui muatan lokal maupun ekstrakurikuler. Dalam kebijakan tersebut, sasaran dari pelaksanaan revitalisasi ini terdiri atas komunitas tutur, guru, kepala sekolah, pengawas, dan siswa.
Berkenaan dengan hal tersebut berbagai pihak terkait harus membuat rumusan implementasi teknis dalam turut serta mengembangkan bahasa Sunda. Untuk itu, diperlukan sinergitas dari para pemangku kepentingan, sehingga pintu yang telah dibuka oleh Kemendikbudristek dapat dimanfaatkan secara optimal untuk terus membina dan mengembangkan bahasa Sunda. Upaya tersebut tidak hanya dapat dilakukan oleh warga satuan pendidikan dalam ekosistem pendidikan tetapi harus ditopang pula oleh komunitas tutur, yaitu masyarakat suku Sunda.
Semua pihak harus bersinergi dalam upaya mendorong perkembangan bahasa Sunda agar tidak terbawa pada arus kepunahan akibat semakin menyusutnya jumlah penutur. Upaya awal yang memungkinkan dilakukan adalah penguatan kesadaran kepada para penuturnya bahwa suku bangsa ini dianugerahi warisan intelektual dalam bentuk bahasa. Untuk sampai pada arah tersebut, perlunya mendorong setiap keluarga agar mengajak anak balita mereka bertutur kata dengan menggunakan bahasa Sunda. Selain tentunya mengoptimalkan peran satuan pendidikan sejak jenjang TK/PAUD sampai jenjang menengah untuk menggalakkan dinamika penggunaan bahasa Sunda dalam ekosistem satuan pendidikan.
Seluruh komunitas tutur harus terbangun kebanggaannya akan eksistensi bahasa Sunda. Mereka harus dibawa pada kesadaran bahwa warisan intelektual ini merupakan khazanah yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Tidak semua orang di dunia ini terwarisi dengan bahasa daerah yang masih dapat dimanfaatkan dalam perhubungan kehidupan keseharian.
Simpulan
Perkembangan kearifan lokal di kalangan masyarakat, tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa peran serta dari para pemangku kepentingan. Bahasa Sunda sebagai bagian dari kearifan lokal yang sudah mewarnai dinamika kehidupan masyarakat Sunda telah menjadi sarana ampuh dan strategis dalam memosisikan mereka untuk dapat survive dalam menghadapi kehidupan. Bahasa Sunda sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Sunda telah berperan sangat strategis.
Dalam pandangan sebagian besar masyarakat, Bahasa Sunda selama ini ditempatkan dalam stigma yang kurang menguntungkan. Pemosisian ini sangat merugikan bagi dinamika perkembangannya karena berada pada wilayah yang dianggap kuno, terbelakang, kampungan, dan ketinggalan zaman. Akibat adanya stigma tersebut, komunitas tutur, terutama para generasi muda kurang sekali tertarik untuk mengembangkannya, bahkan menggunakannya dalam pergaulan keseharian.
Salah satu upaya yang memungkinkan dilakukan untuk mematahkan stigma tersebut adalah penguatan kesadaran kepada para penuturnya. Mereka harus dibawa pada kesadaran bahwa warisan kekayaan intelektual ini merupakan khazanah yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Tidak semua orang di dunia ini mendapat warisan berharga berupa bahasa daerah.**** DasARSS.