Hingga saat ini kehidupan manusia sudah menapaki era revolusi industri 4.0 dengan fenomena kehidupan masyarakat yang didominasi pemanfaatan teknologi digital. Lewat fenomena tersebut, masyarakat telah diberi kemudahan dalam mengarungi kehidupan karena keberadaan teknologi digital telah mampu memobilisasikan entitas pengetahuan secara cepat, murah, dan masiv. Selain itu, perangkat ini telah melahirkan fenomena disrupsi pada sebagian besar pranata kehidupan masyarakat. Berbagai pola kehidupan yang selama puluhan tahun begitu mendominasi, secara terpaksa harus tergantikan dengan teknologi digital sebagai medianya. Era revolusi industri 4.0 melahirkan lompatan besar teknologi dengan adanya symptom pemanfaatan teknologi digital secara masiv dan optimal pada berbagai elemen masyarakat.
Masivnya masyarakat dalam memanfaatkan perangkat teknologi digital—untuk berhubungan dengan berbagai pihak—melalui jaringan media sosial dapat mengarah pada dua sisi konten yang kontradiktif. Perhubungan melalui media sosial telah memberi kemudahan untuk dapat berkomunikasi dan berbagi informasi dengan pihak lain dalam dunia maya. Sejalan dengan kemudahan yang diperoleh, ternyata pemanfaatan media sosial mengandung pula resiko masuknya anasir-anasir negatif. Konten negatif yang berbau kebohongan atau fitnah dapat dengan sangat mudah tersebar pada berbagai media sosial—instagram, whatapps, twitter, facebook, dan media sosial lainnya.
Kenyataan memperlihatkan bahwa konten yang mewarnai ruang media sosial sangatlah heterogen. Para pengguna media sosial memiliki keleluasaan untuk mengonsumsi berbagai konten yang tersaji pada media sosial. Tidak hanya konten positif saja yang dapat tampil pada ruang ini. Tidak sedikit pula konten negatif yang bisa ditemukan dengan mudah pada ruang media sosial. Berbagai konten negatif dengan berbau berita bohong, ujaran kebencian, radikalisme, perjudian, penipuan, pornogafi, hoax, dan lainnya sangat banyak berseliweran di ruang media sosial. Bertaburannya konten negatif pada ruang media sosial tersebut sangat mengkhawatirkan banyak pihak karena dimungkinkan akan menjadi pemicu kerusakan tatanan ekosistem kehidupan ini.
Keberadaan konten negatif yang mewarnai ruang media sosial hanya bisa ditangkal dengan membangun kebersamaan dan kesadaran akan berbahayanya konten tersebut terhadap keajegan tatanan ekosistem kehidupan yang selama ini telah dibangun. Masyarakat pengguna media sosial harus dimampukan untuk menyaring dan men-sharing konten yang benar-benar akuntabel dari sisi substansi dan penyajiannya. Ketika masyarakat terus-menerus dicekoki oleh berbagai konten negatif karena kelemahan kemampuan dalam menyaring dan men-sharing konten, mereka dimungkinkan untuk terbius dan termakan dengan substansi negatif pada konten tersebut.
Berkenaan dengan berseliwerannya konten negatif pada media sosial, adalah tugas dan tanggung jawab berbagai elemen yang memiliki kepedulian untuk secara gencar mengampayekan cara bermedia sosial dengan sehat. Salah satu kampanye yang harus dilakukan adalah mengajak masyarakat untuk mengedepankan kesantuan dalam memanfaatkan media sosial sebagai sarana mereka berkomunikasi. Kampaye perlu dilakukan oleh berbagai elemen yang peduli, seperti pegiat literasi, akademisi, organisasi profesi, dunia usaha, kementerian/lembaga, serta berbagai pihak lainnya. Dengan melakukan kampanye secara terstruktur, sistematis, dan masiv, diharapkan akan dapat mengurangi side effect dari pemanfaatan media sosial sebagai sarana masyarakat dalam berkomunikasi.
Kesantunan Bermedia Sosial
Dalam hal mendorong bertumbuh dan berkembangnya kesantuan dalam bermedia sosial ini, menarik sekali ungkapan yang disampaikan El Hajj Malik El Shabazz, Education is the passport to the future, tomorrow belongs to those who prepare for it today. Ungkapan tersebut lebih mengena pada fenomena keberlangsungan pendidikan, terutama pendidikan formal. Namun, ungkapan tersebut dapat diperluas dalam konteks pendidikan secara umum, di antaranya pendidikan terhadap masyarakat. Berbagai pihak, terutama para pemangku kepentingan harus terus-menerus dan tidak mengenal lelah untuk memberi pemahaman terhadap masyarakat terkait fenomena kehidupan yang dihadapi. Pemberian pemahaman terhadap masyarakat merupakan langkah strategis dalam menyiapkan mereka agar bisa survive dalam kehidupan masa kini dan masa depan.
Demikian pula dengan fenomena maraknya pemanfaatan media sosial oleh masyarakat. Adalah langkah bijak ketika para pemangku kepentingan berkonsentrasi untuk memberi pencerahan dan pemahaman komprehensif kepada masyarakat akan bermedia sosial secara sehat yang salah satunya mengedepankan kesantunan.
Kepemilikan kesantuan bermedia sosial oleh masyarakat penggunanya harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Masyarakat harus selalu pengedepanan kesantunan dalam berkecimpung dalam media sosial. Pemberian pemahaman tersebut dapat dilakukan melalui kampanye terstruktur, sistematis, dan masiv oleh berbagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap lahirnya masyarakat yang dapat bermedia sosial dengan sehat.
Masyarakat perlu diarahkan untuk memahami bahwa bermedia sosial tidak dapat dilakukan dengan semena-mena, tanpa menyertakan pranata yang harus dipatuhinya. Berkecimpung dalam media sosial membutuhkan pengetahuan tentang berbagai pranata. Dalam konteks ini, harus terbangun kesadaran bahwa mereka memiliki tanggung jawab terhadap berbagai tindakan dan sikap dalam bermedia sosial. Berbagai kasus telah memperlihatkan bagaimana akibat yang harus diterima dari kecerobohan masyarakat—akibat keengganan menaati pranata—dalam memanfatkan media sosial. Mereka harus berhadapan dengan sanksi sosial, bahkan sanksi hukum.
Berbagai langkah telah dilakukan oleh berbagai penentu kebijakan. Kemendikbud telah menetapkan regulasi Gerakan Literasi Nasional (GLN). Melalui GLN, masyarakat diharapkan memiliki kompetensi literasi yang linier dengan kebutuhan kehidupan masa kini dan masa depannya. Demikian pula dengan Keminfokom telah pula melahirkan kebijakan tentang peta jalan literasi digital 2021-2024. Rumusan peta jalan tersebut secara eksplisit mengungkapkan empat pilar yang harus dibangun, yaitu digital skill, digital ethic, digital safety, dan digital culture. Kedua regulasi tersebut, salah satunya mengarah pada upaya untuk memberi pencerahan dan pemahaman kepada masyarakat agar menjadi sosok yang dapat memanfaatkan media sosial secara sehat.
Melihat kenyataan masyarakat dalam bermedia sosial, sedikitnya terdapat dua fenomena yang ada. Masyarakat dalam posisi sebatas menerima informasi (reseptif) dari berbagai pihak tertentu serta masyarakat yang aktif mengaktualisasikan berbagai berbagai pemikirannya (produktif).
Dalam konteks sebagai penerima informasi, masyarakat harus memiliki kepiawaian dalam mengkaji informasi yang diterima. Mereka harus mampu mengkaji kebenaran informasi yang diterimanya serta mereka pun harus mampu mengkaji kebermanfaatannya. Bila salah satu—apalagi keduanya—belum pasti atau masih diragukan, informasi yang diterima sudah selayaknya tidak disebar pada berbagai media sosial. Namun sebaliknya, bila informasi tersebut benar dan bermanfaat, informasi tersebut dimungkinkan untuk disebarkan.
Akah halnya dengan penyampaian informasi aktual dari hasil pemikiran pribadi (produktif), langkah yang harus dilakukan adalah melakukan kajian atas substansi informasi dan kajian atas bahasa penyampaiannya. Ketika salah satu dari keduanya—apalagi keduanya—belum benar atau belum pasti kebenarannya, informasi yang disusun belum memiliki kelayakan untuk disebar pada media sosial. Lain halnya, kalau keduanya sudah dianggap benar, maka informasi dapat langsung di-share pada berbagai media sosial.
Dari paparan di atas dapat ditarik konklusi bahwa kehatian-hatian dalam berkomunikasi melalui media sosial harus menjadi perhatian setiap masyarakat penggunanya. Salah dalam melangkah bisa berakibat fatal—harus berhadapan dengan sanksi sosial bahkan sanksi hukum. Apalagi melihat karakter ruang digital yang sulit menghapus rekam jejak digital. Rekam jejak digital siapapun—positif atau negatif—dapat diungkap siapapun tanpa mengenal ruang dan waktu.
Simpulan
Fenomena maraknya pemanfaatan media sosial oleh masyarakat merupakan sesuatu yang tidak bisa dibendung oleh siapapun. Langkah bijak dalam menyikapi fenomena ini adalah mendorong setiap pemangku kepentingan—pegiat literasi, akademisi, organisasi profesi, dunia usaha, kementerian/lembaga, serta pihak lainnya—untuk bersama-sama berkonsentrasi guna memberi pencerahan dan pemahaman komprehensif kepada masyarakat akan bermedia sosial secara sehat yang salah satunya mengedepankan kesantunan.
Kepemilikan kesantuan bermedia sosial oleh masyarakat penggunanya harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Masyarakat harus mampu pengedepanan kesantunan dalam berkecimpung dalam media sosial. Pemberian pemahaman tersebut dapat dilakukan melalui kampanye terstruktur, sistematis, dan masiv oleh berbagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap lahirnya masyarakat yang dapat bermedia sosial dengan sehat.
Masyarakat harus diberi pemahaman terkait perlunya kehatian-hatian dalam berkomunikasi melalui media sosial. Mereka harus mampu mempertimbangkan secara matang terhadap informasi yang diterima atau dibuatnya. Salah dalam melangkah, bisa berakibat fatal, harus berhadapan dengan sanksi sosial bahkan sanksi hukum sekalipun. ****DasARSS.