Oleh H. Dadang
A. Sapardan, M.Pd
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Selama beberapa minggu ini,
waktu terisi dengan berbagai asupan materi tentang pemerintahan. Berbagai
materi pemerintahan disampaikan oleh begitu banyak narasumber yang sangat
mumpuni. Mereka menyampaikan materi dengan lugas karena dilatarbelakangi
pengalaman kontekstual pada berbagai lembaga dan kementerian di negeri ini.
Dari berbagai asupan materi yang dilesakkan, ada kesamaan pandangan berdasarkan
ketentuan regulasi bahwa status camat bukanlah pemimpin wilayah seperti yang
berlangsung pada beberapa tahun sebelumnya. Camat berposisi sebagai pimpinan
organisasi perangkat daerah berbasis kewilayahan yaitu kecamatan. Camat adalah
kepanjangan tangan bupati atau walikota pada wilayah kecamatan. Diskursus
tentang status demikian cukup hangat terjadi karena status tersebut tidak
linier dengan kondisi kontekstual yang terjadi selama ini.
Sejalan dengan terbitnya Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2018 tentang Kecamatan, berbagai perubahan terjadi, teramasuk perubahan
dalam kaitan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat. Kelahiran regulasi
tersebut memastikan perubahan yang cukup signifikan, yaitu pemosisian kecamatan
dengan camat sebagai pimpinannya menjadi salah satu organisasi perangkat daerah
(OPD) pemerintahan kabupaten/kota. Kecamatan terposisikan sebagai OPD seperti
halnya sekretariat daerah, sekretariat DPRD, inspektorat, dinas, dan badan pada
pemerintahan kabupaten/kota.
Keberadaan regulasi menjadi dasar
pijakan bagi para pemangku kepentingan untuk menentukan berbagai kebijakan yang
diambilnya, demikian pula dengan kedua regulasi di atas. Dalam regulasi
dimaksud tidak secara eksplisit mengungkapkan bahwa camat adalah pemimpin
kewilayahan seperti yang selama beberapa puluh tahun ke belakang disandangnya.
Dalam puluhan tahun belakangan, camat menjadi simbol pemimpin dalam wilayah
yang dipimpinnya. Kecamatan menjadi sentral organisasi berbagai kebijakan dalam
konteks wilayah kecamatan dengan camat sebagai pemimpin kewilayahan. Dalam
kapasitas sebagai pemimpin wilayah, berbagai hal terkait dengan berbagai
fenomena yang terjadi di wilayahnya harus disikapi dan diantisipasi dengan baik
dan bijak oleh seorang camat.
Berkenaan dengan kenyataan pada
regulasi dimaksud, seorang camat terposisikan sebagai pimpinan OPD yang
memfasilitasi kebijakan pemerintah daerah dengan tugas atributif dan tugas
delegatif yang harus dilaksanakannya. Tugas atributif adalah tugas umum
pemerintahan sedangkan tugas delegatif adalah pelimpahan sebagian wewenang
bupati atau walikota kepada camat. Penyandangan kedua tugas dimaksud dalam
upaya meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik,
dan pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan.
Posisi kecamatan sebagai organisasi
perangkat daerah (OPD) kabupaten/kota sekaligus penyelenggara urusan
pemerintahan umum. Sebagai perangkat daerah kabupaten/kota, camat melaksanakan
sebagian kewenangan bupati/wali kota yang dilimpahkan melalui regulasi yang
diberlakukan, sedangkan sebagai penyelenggara urusan pemerintahan umum, camat
secara berjenjang melaksanakan berbagai tugas pemerintah pusat atau daerah di
wilayah kecamatan yang dipimpinnya.
Pelimpahan sebagian kewenangan bupati/wali
kota kepada camat dilaksanakan untuk mengefektifkan penyelenggaraan
pemerintahan daerah di kecamatan serta mengoptimalkan pelayanan publik di
kecamatan. Langkah demikian diambil karena kecamatan merupakan OPD yang
berhadapan langsung dengan masyarakat. Dengan posisi demikian, berbagai
kebijakan pemerintahan kabupaten/kota dapat dengan cepat diimplementasi dan
direalisasikan. Bahkan, berbagai aspirasi atau tuntutan masyarakat dimungkinkan
dapat terfasilitasi melalui kebijakan dan program yang layak.
Pemahaman akan tugas pokok dan fungsi
ini harus dimiliki oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat dan
pemangku kepentingan di kecamatan. Dengan pemahaman yang baik, diharapkan tidak
terjadi conflik interes di wilayah kecamatan yang akan mengakibatkan
ketidakharmonisan dalam melaksanakan penugasan.
Sekalipun demikian, dalam konteks
pemerintahan pada level kecamatan yang berlangsung saat ini, camat masih
terposisikan sebagai pemimpin kewilayahan. Pemosisian demikian didasari
kenyataan bahwa berbagai aktivitas kemasyarakat di wilayah kecamatan, masih
menempatkan camat dalam posisi demikian. Masyarakat dan para pemangku
kepentingan di kecamatan masih memosisikan camat sebagai pemimpin kewilayahan
yang secara legalitas formal tidak memiliki dasar yang kuat. Bahkan,
memperhatikan penugasan atributif yang disandangnya, nuansa camat sebagai
pemimpin kewilayahan masih terasa, karena berbagai penugasan yang sifatnya
menyentuh berbagai kebijakan umum yang tidak tersentuh oleh pemerintah daerah.
Kenyataan demikian tidak bisa
dihindari, tatapi harus disikapi dengan bijak dalam upaya memosisikan kecamatan
sebagai OPD yang bersinggungan secara langsung dengan masyarakat. Kecamatan
dengan camat sebagai pimpinan OPD harus dapat merepresentasikan pemberian
pelayanan optimal terhadap masyarakat dengan jargon negara harus hadir di
tengah masyarakat. DasARSS.