Notification

×

Arsip Blog

MALAM 1000 BULAN

Kamis, 30 Maret 2023 | 16.26 WIB Last Updated 2023-03-30T09:41:56Z

 


Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun


 

“Tugas terpenting yang harus dilakukan di Ramadan ini  adalah dengan mengoptimalkan kualitas ibadah. Selain itu, juga meningkatkan keyakinan serta ketakwaan kepada Allah Swt. Hal ini menjadi salah satu ciri pribadi muslim yang senantiasa fokus mencari keridaan Allah dalam segala aktivitas ibadah apapun, tanpa menggantungkan harapan akan memperoleh imbalan yang belum tentu didapatkan…”


Ramadan memasuki fase kedua. Kaum muslimin sudah bersiap-siap mengencangkan ikat pinggang untuk meningkatkan kualitas amaliah ibadah. Itulah yang dicontohkan Baginda Agung Muhammad SAW pada setiap momen Ramadan yang dijalaninya.


Seperti diketahui, Ramadan memiliki tiga fase, yakni rahmat dan berkah, maghfiroh, serta pembebasan dari api neraka (itqum min annaar). Di setiap fase kaum muslimin berusaha meraih segala keutamaan yang dianugerahkan Allah kepada siapapun hambanya yang berpuasa.


Di fase rahmat dan berkah, Allah memberikan suatu jamuan kasih sayang dan berlipatnya kebaikan kepada semua makhluk-Nya. Di fase ini seluruh alam semesta merasakan indahnya kedatangan bulan suci, bahkan sering disaksikan betapa banyak orang yang mengais rezeki justru bukan orang yang tidak terkena kewajiban berpuasa. Pasar-pasar penuh sesak dengan hilir mudiknya para penjual dan pembeli. Terkadang malah terjadi transaksi perdagangan yang tidak ada kaitannya dengan ibadah puasa, seperti toko perhiasan menjadi lebih ramai dibandingkan dengan bulan sebelumnya, begitupun dengan toko asesoris kendaraan, dan lain-lain.


Terasa sekali rahmat ditumpahruahkan Allah untuk siapa saja yang berusaha dengan optimal di bulan suci Ramadan. Keutamaan di fase pertama ini adalah dijamu-Nya setiap makhluk yang menyambut Ramadan dengan penuh suka cita. Jamuan tersebut adalah berupa limpahan pahala dan kebahagiaan bagi siapapun yang berada di bulan ini.


Sementara itu, di fase kedua kaum muslimin diberikan Allah berupa ampunan, terutama yang berpuasa dengan berlandaskan keimanan dan hanya berharap keridaan-Nya semata. Di fase ini Allah seakan ingin menampakkan lautan ampunan yang tiada bertepi. Lalu, siapa yang akan menyia-nyiakan kesempatan ini? Di saat masih diberikan kesempatan usia hendaknya bersegera mencari ampunan-Nya tersebut.


Di fase kedua pun kaum muslimin diingatkan tentang salah satu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang yang beriman, yakni taubat. Seperti diketahui, terdapat empat hal yang senantiasa melekat dalam pribadi mukmin, yaitu syukur, sabar, taat, dan taubat. Pada fase kedua Ramadan orang yang berpuasa hendaknya memanfaatkan seoptimal mungkin untuk meminta ampunan atas segala khilaf dan dosa, dan atas segala maksiat yang telah diperbuat selama ini. oleh karena itu, doa yang dianjurkan dibaca adalah Allahumma innaka ‘afuwun tuhibbul afwa fa fu’anni ya Kariim-Wahai Allah, sesunggungguhnya Engkaulah Maha Pengampun, limpahkanlah ampunan kepadaku, wahai zat yang Maha Mulia.  


Berikutnya, pada 10 hari terakhir Ramadan, terdapat sebuah keutamaan luar biasa yang Allah anugerahkan kepada siapapun orang beriman yang beribadah pada malam di fase tersebut. Malam ini dikenal dengan nama Lailatul Qodar, suatu malam yang diliputi kemuliaan dan keberkahan hingga menjelang fajar. Bahkan, pada ayat kedua QS. Al Qadar disebutkan Malam kemuliaan itu lebih baik dari 1000 bulan.


Dikisahkan dalam sebuah riwayat masyhur  tbahwa ada seorang pemuda Bani Israil yang bernama Sam’un Al Gazhi yang memiliki kemuliaan di dalam hidupnya setelah beribadah selama 80 tahun. Dalam kisah lainnya terdapat empat orang Bani Israil, yakni Ayyub, Zakaria, Hexkiel, dan Yoshua bin Nun yang memiliki karamah karena tidak pernah berbuat maksiat dan senantiasa menyembah kepada Allah selama waktu yang sama. Hal ini mengundang kekaguman para sahabat yang mendengarkan kisah tersebut. sehingga malaikat Jibril datang dan berkata, Wahai Muhammad, ummatmu kagum dengan mereka yang menyembah Allah SWT selama 80 tahun, sedangkan Allah Swt telah menurunkan kepadamu sesuatu yang lebih baik dari itu. Kemudian Malaikat Jibril membaca surat Al Qadar dan berkata, Ini lebih mengagumkan bagi engkau dan ummatmu”. Rasulullah SAW pun bahagia mendengarnya.


Jika dikaji secara tekstual maka makna 1000 bulan adalah memang sesuai dengan jumlah masa yang apabila dikonversikan sebanyak 80 tahun. Hal ini sesuai dengan kisah di atas. Sebaliknya, jika dimaknai sebagai banyaknya jumlah anugerah Allah kepada orang yang beribadah pada malam tersebut maka boleh jadi ini adalah kiasan yang menunjukan kualitas kemuliaan yang diterimanya. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bangsa Arab masa lalu untuk menunjukkan sesuatu yang banyak dengan istilah 1000, seperti yang terdapat dalam Al Baqarah ayat 96: Salah seorang di antara mereka ingin agar usianya dipanjangkan hingga 1000 tahun.


Di sisi lain, Lailatul Qodar yang disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad dan Al Baihaqi dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit, menyebutkan tentang sejumlah tanda-tanda munculnya malam mulia ini, yakni Di antara tanda Lailatul Qadar, suatu malam yang cerah, bersih, tenang, tidak panas dan tidak pula dingin, seakan-akan terdapat bulan yang bersinar, tidak satu bintangpun terbit hingga Subuh.


Hal ini pun diisyatakan juga oleh Imam Ibnu Katsir yang menyatakan-Sesungguhnya tanda Lailatul Qadar adalah, suatu malam yang bersih, cerah, seakan-akan terdapat bulan purnama yang bersinar, malam yang tenang dan teduh, tidak dingin dan tidak pula panas, bintang-bintang tidak terbit muncul hingga Subuh.


Sesungguhnya banyak riwayat tentang tanda-tanda datangnya Lailatul Qodar, namun yang paling utama adalah bagaimana mempersiapkan diri dalam meraih kemuliaan malam tersebut. Kemudian, persiapan apa saja yang harus dimiliki dalam menyambut datangnya Lailatul Qodar ini, di antaranya adalah meluruskan niat semata-mata mengharap rida Allah Swt. Seperti yang dipahami bahwa segala amal tergantung dari niatnya. Oleh karena itu persiapan awal ini sangat penting dalam meraih Lailatul Qodar.


Sesungguhnya niat yang ditanamkan di dalam hati akan berbanding lurus dengan sikap ketawaduan diri dalam beribadah kepada Tuhan Yang Maha Besar. Oleh karena itu, akan tampak dalam diri yang niatnya semata-mata karena mengharap keridaan Allah memiliki air muka yang cerah, teduh, dan menyejukan bagi siapapun yang memandangnya. Sebaliknya, apabila niatnya karena hanya mencari Lailatul Qodar  dengan tanpa mengharap rida-Nya, maka yang ada di dalam pikirannya adalah bagaimana dia akan memperoleh kemuliaan tanpa bersusah payah ibadah puasa dan amalan tathawu lainnya di Ramadan ini.


Persiapan berikutnya adalah membersihkan hati dari sifat-sifat yang menjauhkan diri dari Allah, yakni sifat takabbur, sombong, kemudian ujub, merasa paling mulia, riya, pamer, dan thoma, berharap pujian dari makhluk. Hal ini sangat penting karena Lailatul Qodar hanya akan ‘singgah’ kepada yang berhati bersih dan berpikiran jernih serta selalu berbaik sangka kepada segala ketetapan Allah Swt.


Seperti diketahui, kebersihan hati merupakan syarat mutlak untuk menghadap Allah. Hal ini pun tentu berkaitan dengan salah satu anugerah kemuliaan-Nya, yakni Lailatul Qodar, seperti dijelaskan dalam Al Quran surat Asy Syu’ara ayat 88-.Pada hari di mana harta dan anak tidak berguna kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih


Selanjutnya adalah persiapan fisik. Hal ini menjadi salah satu yang perlu diperhatikan bagi orang yang ingin meraih Lailatul Qodar yang umumnya dilakukan hingga malam hari. Sehingga diperlukan energi ekstra untuk melakukannya.


Akhirnya, Lailatul Qodar adalah rahasia Allah yang tidak pernah siapapun mengetahuinya. Walaupun isyarat tentang tanda-tanda dan waktu kedatangan Lailatul Qodar dapat dijumpai dari banyak referensi. Namun, tugas terpenting yang harus dilakukan adalah mengoptimalkan kualitas ibadah. Selain itu, juga meningkatkan keyakinan serta ketakwaan kepada Allah Swt. Hal ini menjadi salah satu ciri pribadi muslim yang senantiasa fokus mencari keridaan Allah dalam segala aktivitas ibadah apapun, tanpa menggantungkan harapan akan mendapatkan imbalan yang belum didapatkan karena Allah tidak pernah menyia-nyiakan kesungguhan seorang hambanya. Wallahu’alam.***


 

×
               
         
close