Oleh: Dadang
A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Hari ini mendapat share video dari dua
orang yang menayangkan keresahan ibu-ibu di perkampungan dalam menghadapi
perilaku para penagihan dari bank emok. Mereka yang sudah terlanjur terjerat
pinjaman dengan fasilitas bank emok merasa mendapat tekanan terus-menerus
karena tidak mampu memenuhi pembeyaran yang sudah disepakati sebelumnya. Para
ibu mengeluh karena pola penagihannya sudah tidak mengenal tempat dan waktu.
Para petugas melakukan penagihan di mana saja dan kapan saja. Bahkan, penagihan
tidak jarang dilakukan pada malam hari saat para ibu dan keluarganya sedang
persiapan istirahat malam hari. Sebuah fenomena kehidupan keseharian yang harus
dihadapi ibu-ibu yang menjadi nasabah bank emok, sebuah lembaga keuangan yang
menyasar kaum marginal di perkampungan pedesaan.
Dalam kurun waktu beberapa tahun ini, istilah bank emok menjadi diksi masyarakat di perkampungan pedesaan, terutama kaum ibu. Bank emok telah menjadi solusi pemenuhan kebutuhan keuangan dengan cara instan bagi masyarakat di perkampungan. Pemberian pinjaman dilakukan dengan mudah dan cepat karena tanpa agunan sama sekali. Masyarakat yang membutuhkan cukup memberikan KTP dan KK kepada petugas bank emok, pinjaman bisa segera diproses dan uang langsung diterima oleh para nasabah.
Kemudahan yang diberikan para pengelola bank emok seakan menjadi sihir bagi masyarakat untuk bertransaksi peminjaman uang. Kemudahan yang diberikan berbanding terbalik dengan bank resmi yang bertebaran di pusat-pusat kota kecamatan. Bertransaksi dengan bank demikian, dibutuhkan energi lebih dan waktu ekstra untuk memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan. Berbekal kemudahan yang diberikan pengelola bank emok inilah, banyak masyarakat, terutama kaum ibu yang tergiur untuk melakukan transaksi peminjaman uang.
Waktu proses peminjam adalah saat yang sangat menyenangkan karena, masyarakat mendapat solusi dan terbebas atas ketertekanan ekonomi akibat kebutuhan keuangan untuk membiayai sesuatu yang mendesak. Keberadaan petugas bank emok seakan menjadi malaikat penolong bagi mereka yang tengah ditekan oleh kebutuhan mendesak. Para petugas bank emok menjadi juru selamat dari keterpurukan ekonomi masyarakat yang tengah dililit masalah keuangan.
Secara psikologis, dimungkinkan bahwa saat proses pinjaman masyarakat tidak berpikir panjang tentang berbagai ketentuan yang harus dipenuhi saat proses pelunasan pinjaman. Pertimbangan atas jumlah bunga yang harus dipikul dan rentang waktu yang harus dipenuhi dalam proses cicilan, seakan tersingkirkan jauh. Pada benak mereka adalah bagaimana kebutuhan keuangan dapat tertutupi dengan segera.
Permasalahan timbul saat tahapan pelunasan utang kepada bank emok. Masyarakat yang saat melakukan proses peminjaman memiliki prediksi bahwa tahapan pelunasan akan dapat dilakukan dengan baik, ternyata menghadapi kenyataan sebaliknya. Saat harus mengikuti alur yang sudah disepakati bersama, ternyata kenyataan tidak sesuai dengan prediksi yang dipancangkan. Dari sinilah awal mula timbulnya permasalahan.
Teror psikologis menjadi bagian yang bisa terlepas dari fenomena maraknya bank emok di kalangan masyarakat. Teror diterima para ibu dari para petugas penagihan pinjaman, manakala proses pelunasan mengalami kemacetan. Teror ini menjadi permasalahan yang harus dihadapi oleh masyarakat sebagai kreditur dari bank emok.
Menyikapi fenomena yang menjerat kaum ibu ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai pemangku kepentingan harus membangun kebersamaan atau bergotong royong terlibat di dalamnya. Keterlibatan harus pula dilakukan oleh masyarakat yang selama ini terjerat dalam jaringan bank emok.
Pembangunan kesadaran bahwa bank emok bukan solusi bagi para ibu yang tengah mengalami kesulitan keuangan harus terus dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Upaya tersebut tidak akan berlangsung efektif ketika tidak ada alternatif yang baik dalam memenuhi kebutuhan mendesak tersebut. Berbagai alternatif dapat disodorkan untuk menyikapi fenomena ini.
Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah mendorong pengelola Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) untuk melakukan intervensi. Sebagai lembaga usaha desa yang dipayungi dengan keberadaan regulasi, Bumdes yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintahan desa merupakan upaya nyata untuk memperkuat perekonomian desa. Lembaga usaha resmi yang dimiliki setiap desa ini dimungkinkan dapat merambah melalui diversifikasi pada usaha simpan pinjam. Bumdes dimungkinkan menjadi solusi keterjeratan masyarakat oleh bank emok dalam upaya merealisasikan tujuan yang diembannya, yaitu meningkatkan perekonomian desa, meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan ekonomi desa.
Dalam praktiknya, pengelolaan simpan pinjam, terutama penagihan pinjaman dari masyarakat, dapat menggunakan jaringan yang dimiliki pemerintah desa, dalam hal ini Ketua RW atau RT. Melalui pemanfaatan dan pemeranan para Ketua RW atau RT, Bumdes bisa menjadi lembaga simpan pinjam dengan menggunakan proses peminjaman cepat seperti yang dilakukan bank emok. Hal itu dimungkinkan karena para Ketua RW atau RW merupakan sosok yang mengenal benar karakter dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dipimpinnya.
Dengan melakukan diversifikasi pada usaha simpan pinjam, Bumdes dapat menjadi kompetitor para pengelola bank emok. Karena merupakan lembaga pemerintahan desa, misi yang diemban Bumdes dalam menyelamatkan masyarakat dari keterjeratan oleh bank emok, bukanlah misi ekonomi semata, tetapi misi kemanusiaan untuk mengurai benang kusut keterjeratan masyarakat oleh bank emok. Dengan demikian, penetapan bunga yang dikenakan tidak setinggi bunga yang dipatok para pengelola bank emok. Bahkan untuk kasus tertentu, bukan tidak mungkin pinjaman yang diberikan menjadi pinjaman lunak tanpa bunga, sekalipun Bumdes merupakan lembaga di bawah pemerintahan desa dengan core bisnis.
Memang, permasalahan yang akan dihadapi oleh Bumdes tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang dihadapi oleh bank emok, yaitu terjadinya kredit macet karena masyarakat yang menjadi kreditur tidak mampu melunasi pinjaman seperti yang tersurat dalam kesepakatan. Lahirnya kredit macet menjadi satu permasalahan yang akan dihadapi oleh Bumdes penyedia jasa pinjaman. Untuk menyikapinya perlu dicarikan formulasi yang tepat sehingga dapat menekan lahirnya kredit macet.
Dengan pemeranan Bumdes dalam kegiatan simpan pinjaman dari masyarakat desa, dimungkinkan akan melahirkan ketenangan dari masyarakat yang menjadi nasabahnya. Dalam konteks ini, ketanangan yang dimaksud adalah mereka yang menjadi kreditur tidak mengalami kepanikan karena tidak diintimidasi atau diteror saat penagihan cicilan. Hal ini terjadi karena penagihan dilakukan oleh sesama warga, sehingga dimungkinkan akan ada tepo seliro atau tenggang rasa. ****DasARSS.