Dadang A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Dalam sebuah obrolan santai dengan salah seseorang yang biasa menjadi teman diskusi, diungkapkan bahwa sampai saat ini masyarakat masih memiliki keengganan untuk dapat berkomunikasi dan berkoordinasi dengan unsur pemerintah. Keengganan mereka bukan saja pada pemerintah level atas tetapi terjadi pada pemerintah level bawah. Keengganan tersebut dimungkinkan terjadi karena dilatarbelakangi sejarah masa lalu bahwa unsur pemerintah adalah entitas yang ‘kaku’ dan tidak familiar dengan masyarakat. Kekakuan unsur pemerintah sangat terasa pada zaman feodal, saat Belanda masih bercokol menguasai Indonesia. Pemerintah menjadi entitas yang sulit untuk dijangkau dan disentuh oleh kalangan masyarakat, terlebih kalangan masyarakat bawah.
Kata ‘pemerintahan’ adalah bentuk kompleks yang dibangun oleh kata dasar ‘perintah’ dengan awalan ‘peN-‘ dan akhiran ‘-an’. Dalam kajian morfologi, dilihat berdasarkan urutannya, kata ‘pemerintahan’ dibangun oleh kata dasar ‘perintah’ dengan awalan ‘peN-‘ terlebih dahulu, sehingga terbentuk menjadi kata jadian ‘pemerintah’. Selanjutnya kata jadian ‘pemerintah’ diberi akhiran ‘-an’ sehingga menjadi kata ‘pemerintahan’.
Berdasarkan konstruksi demikian, kata ‘pemerintahan’ bisa dimaknai secara harfiah sebagai lembaga atau organ yang melakukan atau memberi perintah terhadap elemen terperintah. Sedangkan makna harfiah kata ‘pemerintah’ merupakan unsur atau komponen yang ‘memberi perintah’ terhadap elemen ‘terperintah’ atau ‘yang diberi perintah’.
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘perintah’ merupakan bentuk nomina dengan salah satu makna ‘perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu; suruhan’. Akan halnya dengan kata ‘pemerintah’ merupakan bentuk nomina dengan salah satu makna ‘sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan yang mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya’. Sedangkan, kata ‘pemerintahan’ merupakan nomina yang bermakna ‘proses, cara, perbuatan memerintah serta bermakna segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara’.
Kata ‘pemerintah’ sangatlah familiar di telinga setiap orang Indonesia. Kata dimaksud menjadi kata yang merepresentasikan birokrasi kekuasaan di negara ini yang dalam konsep trias politika menurut John Lock merupakan ranah eksekutif. Menurut John Lock yang dikembangkan oleh Montesquieu bahwa kekuasaan negara terdiri atas eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga kekuasaan tersebut merupakan ‘pemerintahan’ yang bekerja seuai ranahnya masing-masing.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kedua kata tersebut merupakan warisan dari masa kolonialisme yang cukup lama mencengkram bangsa Indonesia. Pada zaman kolonial, kata ‘pemerintah’ dan ‘pemerintahan’ memang menjadi kata yang yang merepresentasikan peran pelaku kolonialisme terhadap bangsa ini. Mereka menjadi organ pemberi perintah terhadap setiap bangsa pribumi dengan pola-pola represif (menekan, mengekang, atau menindas). Mereka memosisikan diri sebagai entitas superior atas bangsa pribumi yang diposisikan sebagai inferior. Berbagai kebijakan yang diterapkan oleh penguasa kolonial adalah titah yang tidak boleh ditolak. Sekali terjadi penolakan atas ‘titahnya’, para penolaknya harus sanggup mengambil konsekwensi untuk berhadapan dengan berbagai tindak kekerasan. Bahkan mereka dapat dicap sebagai pembangkang yang harus berhadapan dengan kekuatan penguasa.
Dalam konteks kekinian, pemerintahan dan pemerintah menjadi jejaring yang hierarki mulai dari pusat sampai daerah, dengan pemerintah desa/kelurahan sebagai organ paling bawah. Berbagai kebijakan diterapkan oleh organ pusat sampai daerah dengan harapan untuk mendorong lahirnya cita-cita pendirian negara Indonesia, yaitu melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Sejatinya setiap elemen yang menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan tidak terjebak dengan makna harfiah yang terkandung dalam konstruksi kata ‘pemerintah’ dan ‘pemerintahan’. Setiap elemen tersebut harus mampu melepaskan diri dari keterkungkungan dan keterbelengguan oleh pemaknaan harfiah yang terbangun oleh kedua kata dimaksud.
Dalam konteks kekinian, setiap unsur yang menjadi bagian dari pemerintah harus mampu mengubah paradigma dari pemaknaan harfiah kata ‘pemerintah’ dan ‘pemerintahan’. Sebagai eksekutor berbagai kebijakan yang akan selalu bersinggungan langsung dengan masyarakat, setiap elemen pemerintah harus dapat memosisikan diri menjadi pemberian pelayanan terhadap setiap masyarakat. Mereka harus mampu mengeksekusi atau merealiasikan berbagai kebijakan yang telah dirancang dan disahkan bersama dengan lembaga legislatif. Berbagai kebijakan diterapkan dalam upaya mengukuhkan peran pemerintah sebagai organ yang mengarahkan pada ketercapaian cita-cita bangsa dan negara Indonesia.
Upaya melakukan perubahan paradigma terus dilakukan oleh para pemangku kepentingan, terutama pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tidak kurang dari penerbitan kebijakan tentang profil Smart ASN 2024 dengan indikator kepemilikan integritas, nasionalisme, profesionalisme, wawasan global, kemampuan dalam IT dan bahasa asing, hospitality, networking, serta entrepreneurship. Kemudian dorongan melalui kewajiban untuk menerapkan core value ASN BerAKHLAK. Sebagai sebuah akronim, BerAKHLAK merupakan kependekan dari Berorientasi pelayanan, akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, serta Kolaboratif. Ditopang pula dengan lahirnya employer branding, Bangga Melayani Bangsa.
Seluruh kebijakan pemerintah tersebut menjadi tuntutan yang harus diimplementasikan oleh setiap ASN serta seluruh elemen yang menjadi bagian dalam pemerintahan. Secara kasat mata, arah yang diharapkan dari lahirnya kebijakan tersebut adalah pemosisian seluruh elemen pemerintah sebagai pemberi pelayanan terhadap masyarakat. Sebagai pemegang kedaulatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat memiliki hak untuk mendapat pelayanan optimal. Demikian pula dengan pemerintah, memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan optimal terhadap masyarakat. Pemerintah harus menempatkan masyarakat sebagai subjek dalam tata kelolanya.
Perubahan paradigma sebagai pelayan masyarakat bukanlah perkara mudah. Sekalipun demikian, seluruh pemangku kepentingan harus terus berupaya optimal sehingga terjadi perubahan paradigma pelayanan, sekalipun masih dalam konteks kata ‘pemerintah’ dan ‘pemerintahan’. ****DasARSS