H. Dadang A. Sapardan, M.Pd., Kp
(Camat Cikalongwetan Kab. Bandung Barat)
Saat libur kantor sempat berkomunikasi intens dengan seorang teman sewaktu masih bersekolah di SMA. Sang teman saat ini berkiprah di dunia pendidikan dengan mengelola satuan pendidikan TK. Dalam komunikasi tulisan Whatsapp disampaikan bahwa dirinya merasa miris dengan berbagai informasi pada media sosial. Guru yang menerapkan aturan harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena siswa dan orang tuanya tidak mau menerima perlakuan yang diberikan oleh gurunya. Dengan fenomena demikian, Sang teman merasa terkendala karena untuk bertindak dalam koridor mendidik sekalipun, harus berpikir seribu kali agar tidak menjadi bumerang bagi dirinya. Karena adanya fenomena demikian, bukan tidak mungkin upaya mendidik siswa akan mengalami pembiasan, terutama mendidik karakternya.
Sebagai lembaga pendidikan, setiap satuan pendidikan harus mengondisikan ekosistem pendidikan dengan nuansa pembelajaran yang nyaman bagi semua pihak. Kenyamanan tidak semata dirasakan oleh pendidik dan tenaga kependidikan, tetapi paling utama harus dirasakan oleh seluruh siswa. Satuan pendidikan harus menjadi ekosistem efektif dan strategis sehingga dapat menyiapkan seluruh siswanya agar mampu survive dalam mengarungi kehidupannya.
Dalam pandangan awam, pendidikan lebih identik pada penguatan ranah kognitif dan psikomotor siswa. Siswa dianggap telah berhasil ketika nilai akademik pada kedua ranah tersebut menunjukkan angka yang sangat tinggi. Dengan demikian, tingkat kepuasan masyarakat awam, terutama orang tua adalah capaian nilai akademik dari ranah kognitif (pengetahuan) dan psikomotor (keterampilan). Sedangkan ranah afektif (sikap) masih kurang mendapat porsi yang proporsional.
Berkenaan dengan kenyataan demikian, penguatan kebijakan pendidikan yang diterapkan pemerintah terus dilakukan. Dengan kewenangan yang dimilikinya, pemerintah mendorong setiap satuan pendidikan untuk dapat mengimplementasikan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Upaya tersebut dilandasi dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter dan pelaksanaan teknisnya diperkuat dengan lahirnya Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal.
Mengacu pada Permendikbud seperti disampaikan di atas, Penguatan Pendidikan Karakter adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan. Setiap satuan pendidikan harus memperkuat karakter siswa melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat.
Berbagai permasalahan dalam dinamika kehidupan persekolah terus menyeruak. Kemendikbud pernah menyampaikan tentang tiga dosa besar pendidikan, yaitu: perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Fenomena berbagai penyimpangan lainnya pun terjadi, seperti tawuran, penyalahgunaan narkoba, pernikahan dini, kecemasan dan depresi, serta motivasi belajar yang rendah.
Berbagai fenomena yang terjadi tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja, tetapi harus diambil tindakan untuk dapat menguranginya, banhkan menghilangkannya. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melahirkan regulasi berkenaan dengan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Regulasi ini diharapkan dapat dijadikan pijakan para pemangku kepentingan di bidang pendidikan, terutama pengelola satuan pendidikan. Adanya regulasi tersebut mengingatkan pula kepada setiap pengelola satuan pendidikan untuk memberi porsi yang proporsional terhadap ranah afektif (sikap) dalam proses pembelajaran, selain porsi ranah kognitif (pengetahuan) dan psikomotor (keterampilan.
Pembelajaran Sosial dan Emosional
Upaya penumbuhkembangan karakter terhadap setiap siswa melalui program PPK harus terus dikuatkan. Pelaksanaannya dilakukan dengan menerapkan tiga strategi implementasi. Ketiga strategi dimaksud adalah PPK berbasis kelas, PPK berbasis budaya sekolah, serta PPK berbasis masyarakat.
PPK berbasis kelas mencakup beberapa langkah. Langkah pengintegrasian pendidikan karakter dalam mata pelajaran. Pengotimalan muatan lokal untuk menjadi elemen penguatan karakter siswa. Optimalisasi manajemen pengelolaan kelas dengan berbasis penguatan karakter. Optimalisasi bimbingan konseling ke arah penguatan pendidikan karakter siswa.
PPK berbasis budaya sekolah diterapkan dengan beberapa langkah. Melakukan pembiasaan nilai-nilai karakter dalam kehidupan keseharian di sekolah. Dorongan pada sekolah untuk melakukan branding sekolah. Pemberian keteladanan dari pendidik, tenaga kependidikan, serta stakeholder pendidikan lainnya. Penumbuhkembangan karakter pada seluruh ekosistem pendidikan. Penguatan dan konsistensi implementasi norma, peraturan, dan tradisi sekolah.
PPK berbasis masyarakat dilakukan meluarkan cakupan program. Melakukan sosialisasi terhadap unsur masyarakat sekitar, termasuk di dalamnya mensinergikan program PPK, sehingga apa yang dilakukan di sekolah dilakukan pula di luar sekolah. Pelibatan masyarakat sekitar dalam menampilkan best practice mereka. Dalam konteks ini, unsur masyarakat yang dimaksud di antaranya orang tua siswa, komite sekolah, dunia usaha dan dunia industri, akademisi, pegiat pendidikan, pelaku seni, budaya, bahasa, dan sastra, serta pemerintahan setempat.
Salah satu upaya implementasi PPK yang mungkin dilakukan oleh setiap satuan pendidikan adalah menerapkan pola Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) atau dikenal pula dengan Social and Emotional Learning (SEL). Pola pembelajaran ini dapat diterapkan dan disinergikan dengan PPK berbasis kelas, berbasis budaya sekolah, serta berbasis masyarakat. Dengan demikian, pola ini dilakukan secara holistik dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan satuan pendidikan.
PSE adalah sebuah pola yang membantu siswa untuk dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya dalam mengelola emosi, membangun hubungan yang sehat, menetapkan tujuan, serta mengambil keputusan dalam hidupnya. PSE menjadi sebuah metode yang dapat membantu siswa dalam mengembangkan kesadaran diri, pengendalian diri, dan keterampilan interpersonalnya. Pola ini sangat penting diimplementasikan oleh satuan pendidikan karena dimungkinkan dapat berkontribusi terhadap kesuksesan siswa di sekolah, pekerjaan, dan kehidupan sosial.
Menurut Collaborative for Academic, Sosial, and Emotional Learning (CASEL), terdapat lima kompetensi inti dalam penerapan pembelajaran sosial dan emosional, yaitu: kesadaran diri (self-awareness), manajemen diri (self-management), kesadaran sosial (social-awareness), kemampuan berinteraksi sosial (relationship skill), serta pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (responsible decision-making).
Menerapkan pola PSE tidak dapat dilakukan dengan serampangan, tanpa pondasi perencanaan yang matang. Satuan pendidikan harus menyusun formulasi yang tepat sehingga penerapannya benar-benar efektif dan mengarah pada tujuannya. Selain itu, dalam implementasi PSE yang disinergikan dengan program PPK, dibutuhkan kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan satuan pendidikan sehingga program ini benar-benar efektif melahirkan siswa yang mampu survive dalam kehidupannya.****DasARSS.