Notification

×

Arsip Blog

33°

Sabtu, 18 Februari 2023 | 12.00 WIB Last Updated 2023-02-18T05:00:15Z


Oleh: Agiel Ramadhan
(SMAN 4 Cimahi)


“Tapi Meneer, ini penemuan besar saya berhasil mengukur transpor natrium dan air oleh kantong empedu” ungkap Pria Jawa itu.

“Baik, ini kesempatan terakhir Anda Tuan Thomas,” jawab Meneer Belanda yang sedari tadi Ia ajak bicara.

“Sebelumnya ketika saya mencoba mengukur voltase melintas kandung empedu, yang saya dapatkan adalah nol. Namun, hal itu ternyata karena ketika kantong empedu mentranspor ion dan air. Kantung empedu mentranspor ion positif dan negatif secara setara, hingga tidak mengalirkan muatan neto dan tidak membuat voltase transpor,” jelasnya.

“Kami tidak peduli dengan proses atau cara kerjanya. Apa manfaat pengetahuan tentang riset kantong empedu yang Anda lakukan selama tiga tahun terakhir?” tanya pria yang sedari tadi Ia ajak bicara.

“Belum  Meneer, saya hanya belum menemukannya. Tapi saya yakin ini akan jadi masa depan untuk Duniafisiologi dan kesehatan,” jawabnya dengan penuh percaya diri dan semangat sambil mengepalkan tangannya.

“Maaf  Tuan Thomas, aliran dana untuk riset mu tentang empedu apa pun itu entah monyet, tupai, cicak, burung merpati ata-,”

“Maaf Meneer, tapi burung merpati tidak punya empedu.

“Oke baik, burung merpati tidak punya empedu. Yang jelas aliran dana untuk riset anda perlu kami hentikan.

Thomas menatap bisu. Dia bertanya dalam hatinya. Apa pekerjaan ku selama ini sia-sia ? Apa waktu yang kuhabiskan untuk begak adang tidak ada gunanya? Apa aku calon ahli fisiologi yang gagal?

 “TIDAK MENEER. SAYA YAKIN RISET SAYA BISA BERGUNA JADI SAYA LAYAK MENDAPATKAN WAKTU!”  bentakan Thomas terdengar hingga ke ruangan sebelah. Ia membantah kegagalannya.

Sejenak seisi ruangan dengan meja dan lemari penuh berkas juga buku penelitIan itu hening. Bermacam jenis kantong empedu tergantung di langit-langit ruangan itu.

“Kapan riset anda akan berguna? Kami tidak bisa memberikan bantuan bagi inlander seperti Anda terus menerus,”. Mendengar jawaban itu Thomas kebingungan, Ia melihat seisi ruangan penelitIannya. Cahaya Matahari sore menembus jendela.

“Tolong Meneer, beri saya sedikit waktu lagi. Saya akan segera buktikan penelitIan saya berguna. Anda bisa kurangi aliran dana saya, tapi biarkan saya lanjutkan penelitIan ini,”

“Berapa lama lagi? Kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Besok pagi barang-barang anda akan dikeluarkan dan seluruh aliran dana dihentikan.

Segera Meneer Belanda itu ke luar meninggalkan ruangan. Meninggalkan Thomas sendirian dalam ruang  penelitIannya. Thomas  kemudian, jatuh terduduk di pojok ruangan.

Cahaya Matahari berganti dengan sinar rembulan. Siur angin malam memasuki ruangan dari jendela dan celah-celah ventilasi udara. Ruangan bercat putih itu sunyi dan tenang. Sinar mentari bersinar dari ufuk Timur. Dua orang kuli pribumi memasuki ruangan penelitIannya yang tak terkunci. Membuat Thomas yang tertidur di lantai tiba-tiba terbangun. Iabangun dengan tatapan kebingungan, dan gelisah. pakaIan dan rambutnya berantakan.

Tanpa bicara pada Thomas kedua kuli itu mulai mengangkut barang penelitIannya. Thomas berjalan sempoyongan ke luar ruangan, mendapati Meneer Belanda yang semalam bicara dengannya ada di lorong ruangan sedang membaca koran. Meneer Belanda itu sejenak menatap Thomas. Tapi kembali mengalihkan pandangannya dan lanjut membaca korannya. Thomas terus berjalan melewati lorong putih. Pintu tinggi di kiri dan jendela besar juga tak kalah tinggi di kanannya.

Setelah ke luar dari bangunan itu Ia disambut empat tIang besar berwarna putih. Lebih dari itu terik sinar Matahari menusuk matanya, segera Iamenutupinya dengan tangan. Thomas berjalan melewati jalanan ber lansekap kan pohon-pohon mahoni. Iamenuju Gedung Asrama. Sesampainya di depan Gedung Asrama Ia melihat barang-barangnya sudah berada di luar. Surat-surat yang masih tersegel dalam amplop, berserakan di tanah. Surat-surat itu dikirim oleh Adiknya.

Ting-ting-ting. Lonceng di atas  pintu masuk bergoyang. Seorang pria mengenakan blangkon masuk membuka pintu. Toko buku itu kedatangan pelanggan. Iaberusia sekitar delapan belas tahun. Pria itu berjalan pelan sambil memperhatikan sekitar. Semakin masuk ke dalam toko, suasana berubah menjadi sepia. Cahaya yang merambat melalui jendela berganti dengan lampu-lampu tua yang bergantung di langit-langit. Ia berjalan menuju kasir di antara rak-rak setinggi dua setengah meter.

 “Permisi Mas, buku yang lagi populer sekarang ini apa ya?”. Muncul percakapan penjual dan pembeli di tengah lenggangnya toko itu.

“Ha, buku Nyai Permana bagus, masih populer bukunya. Atau Siti Nurbaya baru enam bulan lalu terbit,” jawab Ding. Ia menjaga toko sendirian hari itu.

Toko buku ini milik keluarganya yang berdiri sudah sejak lama. Sudah ada bahkan sebelum Ding lahir. Ia melanjutkan bisnis keluarga ini bersama kakaknya.

“Kalau Siti Nurbaya berapa?”

“Harganya enam gulden, kalau dibanding harga langganan koran setengah tahun lumayan mahal ya,” ucap pria dengan blangkon itu.

“Ha, koran mana dulu, rata-rata langganan koran empat setengah gulden buat enam bulan. Wajar lebih mahal namanya juga buku cara cetaknya beda,” .

“Ah, iya-ya beli buku Siti Nurbaya aja,” jawab pria itu dengan ketakutan dan terburu-buru. Tujuan utamanya ke toko ini bukan untuk membeli buku. Jadi Ia berusaha menghindari masalah.

Segera Ding memasukan uang pria malang itu ke mesin kasir tua milik keluarganya. Wajahnya tampak bahagia .

Asik uang. Harganya kunaikan dua kali lipat dan dia tetap beli. Haha. Orang kampung memang mudah ditipu, ungkap Ding dalam batinnya. Pria malang yang baru ditipu itu memperhatikan ke belakang. Ia melihat ada seorang gadis Belanda dengan gaun putih. Ia tampak asik berdiri membaca buku di samping rak. Pria itu kebingungan karena sebelumnya tidak ada pembeli selain dirinya. Iayakin sama-sekali tidak mendengar suara lonceng dari pintu masuk.

“Permisi Mas, emang gak apa-apa baca bukunya tapi belum beli?”

“Ya. Sebenarnya boleh-boleh aja. Mungkin? Ya dia biasa di situ dari dulu. Gak ada yang keberatan jadi mungkin boleh,” jawab Ding dengan ragu. Dan tidak mau ambil pusing.

“Emang gak bakal rugi?” tanya pria itu.

“Ha, dia cuma baca buku yang sama. Kalau kau tahu, dia pembeli setia. Tunggu apa dia pembeli setia? Dia kan gak pernah beli buku? Tapi dia selalu data-”

“Memangnya buku apa yang dibaca?” memotong kalimat Ding yang mulai bicara dengan dirinya sendiri.

“Ha, apa? Ah. Ya dia mungkin baca semacam novel” Suasana sejenak sunyi. Percakapan berhenti dan si gadis bergaun putih masih asik melanjutkan bacaannya.

“Kalau boleh tahu ada orang yang wajahnya mirip saya suka ke sini  Mas? Saya dengar Mas saya suka belanja ke sini,” tanya  pria itu. Nama pria dengan blangkon itu adalah Dimas. Ia sedang mencari kakaknya untuk mengajaknya pulang. Keluarganya mendapat kabar, aliran dana penelitIan kakaknya dihentikan dan Ia sudah dipulangkan. Namun, setelah tiga bulan kakaknya masih belum tiba di rumah.

“Ha. Dia udah gak datang sekitar dua minggu,”  Dimas menganggukan kepalanya. Dan mengeluarkan sepucuk amplop.

“Kalau Mas ku ke sini. Tolong kasihin surat ini ya Mas.

“Ah. Ya santai aja,” jawab Ding sambil menerima amplop titipan itu.

BRUK…! “Suara apa tadi?” Dimas bertanya sambil menatap meja kasir yang baru bergetar.

“Ha, bukan apa-apa. Kakiku keram aja ini,” ucap Ding sambil melambaikan tangannya.”Ya. Kalau gitu nanti kalau ketemu kakak mu suratnya ku kasih tenang aja.

“Ah ya saya titip pesan juga. Tolong bilangin kalau Bapak udah gak marah lagi. Permisi ya Mas”. Dimas pergi meninggalkan kasir menuju pintu ke luar. Dan si Gadis dengan gaun putih masih tetap asik membaca bukunya.

Ting-ting-ting…

“Oke kau sudah boleh ke luar.

Bruk. Seseorang ke luar sambil membentur meja, sosok itu ialah Thomas.

“Ha, kau bertengkar sama keluargamu ya?”

“Ya. Lumayan, Bapak ku benci aku,” jawab Thomas dengan bangga.

“Kau dengar kan tadi? Bapakmu udah gak marah lagi.

“Aku gak yakin.

Keluarga Thomas mengelola sebuah pabrik gula. Orang tuanya bermaksud mewariskan pabrik itu ke Thomas. Namun, saat berusia empat belas tahun Thomas pergi dari rumah. Sejak saat itu adiknya dipilih untuk mewarisi pabrik gula tersebut. Namun, karena faktor usIakedua orang tuanya sekarang Dimas sudah mulai mengelola pabrik itu. Dia membenciku, Thomas bergumam sambil membersihkan pakaIannya.

“Maksudmu?” tanya Ding kebingungan.

“Pabrik itu. Dia tidak ingin mewarisinya.

“Ha, dia kelihatannya adik yang baik. Kau tak perlu sembunyi.

“Ya dan kamu menipunya dengan harga buku yang diluar nalar. Lagi pula aku gak mau melihatnya,”

“Melihat apa?”

Wajahnya, gumam Thomas, sembari menatap pintu ke luar.

Ding menatap Thomas dengan heran.

“Jelas-jelas di wajahnya tertulis. ‘Aku terpaksa mewarisi pabrik itu karena kakakku. Andai kakakku mau kembali, aku pasti bisa bebas aku bisa mengejar mimpiku,” jelas Thomas dengan tenang.

“Ha? Aku gak yakin, aku gak lihat itu di wajahnya,” Ding menatap Thomas dengan heran.

“Jadi gimana dengan surat yang dia kasih?”

“Kamu buang aja,” jawab Thomas sambil berjalan menjauhi kasir.

“Kau mau kemana?”Sambil menyodorkan amplop berisi surat yang baru diberi Dimas.

“Aku harus bersiap. April nanti ada pameran terbuka di Stovia ,” Thomas sudah berdiri di depan pintu ke luar.

“Ha, bukannya pendanaan penelitIan kau udah berhenti?”

“Ya, pendanaan ku berhenti. Tapi tidak dengan ambisi ku. Aku akan buktikan ke mereka kalau mereka salah. Lagi pula aku gak bisa pulang dalam keadaan gagal,” Thomas lantas ke luar dari Toko.

Ting-ting-ting. Lonceng pintu berbunyi. Meninggalkan Ding sendirian di meja kasir. Dan si gadis Belanda masih terus membaca bukunya.

“Mungkin lebih baik ku simpan saja surat ini,” Ding menyakukan surat itu di kantongnya.

Dahulu beredar rumor bahwa ada sebuah tempat di kota ini yang bisa membawa kita ke masa lalu. Namun, di dalamnya terlalu banyak persyaratan, membuat orang-orang mulai meragukan rumor itu. Orang-orang mulai beranggapan bahwa itu hanya cara promosi yang dilakukan untuk mendatangkan pelanggan. Tempat itu bernama Caro-Kann. Sama seperti nama toko buku ini.

21 April 1923

Terik Matahari dan angin panas berhembus ke penjuru kota. Beberapa orang mengenakan payung untuk berlindung dari teriknya panas Matahari. Suhu siang ini sekitar tiga puluh satu deRajat. Suhu yang sangat panas itu tak lain disebabkan kedatangan sang El Nino.

Ting-ting-ting

Seorang wanita mengenakan topi memasuki toko sambil membawa bahan-bahan makanan. Namanya Liren kakak perempuan dari Ding. Suasana dalam toko ini lebih sejuk dibandingkan dengan di luar. Mungkin karena bahan bangunan dan arsitekturnya yang di desain sejuk saat menghadapi kemarau. Selain  berfungsi sebagai toko buku, lantai dua dari bangunan ini berfungsi sebagai hunIan. Hal ini membuat kedua kakak adik ini bisa dengan mudah membuka dan menutup toko mereka.

“Di luar panas,” ucap Liren sambil melepaskan topinya.

“Kita makan apa malam ini?” tanya Ding.

“Di pasar tadi ada diskon bekicot. Karena aku baru baca buku masakan Perancis. Jadi mungkin malam ini kita makan escargot,” jawab Liren sambil meletakan bahan makanan itu di atas  meja.

“Hei, kau tahu kemana Thomas pergi, udah hampir dua bulan dia gak ke sini  lagi,” tanya  Liren.

“Ha. Ini sebetulnya kabar satu bulan lalu,” jelas Ding dengan wajah yang murung.

“Ada apa?” tanya Liren menyipitkan matanya yang sipit.

“Adiknya. Kecelakaan. Dia kecelakaan di perjalanan pulang saat ke sini  mengunjungi Kakaknya,” Ding mendengus.

“Kasihan sekali dia,” Liren menggenggam topinya.

Thomas bahkan tidak terlihat di pameran sains Stovia dua minggu lalu. Mungkin alasannya adalah karena Ia harus pulang ke kampung halamannya. Dia terpaksa mengubur mimpi dan semangatnya yang menggebu-gebu. Walau diluar sangat cerah, tapi karena jendela-jendela yang kecil membuat cahaya Matahari tidak masuk ke dalam toko. Dalam suasana yang lenggang, si gadis bergaun putih masih melanjutkan bacaannya sambil disinari lampu-lampu tua yang bergantung di langit-langit. Menyisakan suara detak jarum jam.

   Ting-ting-ting. Toko kedatangan seorang pelanggan yang tak terduga. Thomas melewati pintu dengan mengenakan pakaIan yang biasa Iagunakan. Ding terkejut karena Ia tahu bahwa seharusnya saat ini Thomas masih di kampung halamannya. Dan sekarang Ia mendapati Thomas berdiri di depan pintu masuk dengan wajah yang tidak bisa Iamengerti. Ia tampak seperti tidak terjadi apa-apa. Membuat Ding dan Liren ragu untuk memberi ucapan belasungkawa.

“Thomas?” Liren menyipitkan matanya.

“Apa?”

“He. Bagaimana bilangnya ya?” Ding menggaruk-garuk kepalanya.

“Bilangnya apa?”

“Kami turut berduka,” ucap Liren sambil membawa belanjaannya.”Uh, aku mau ke dapur sebentar,” Dengan canggung Liren pergi meninggalkan Ding.

“Eh, yah rasanya terlalu cepat atau yah,” gumam Thomas.”Omong-omong kamu punya informasi soal lowongan penulisan koran atau yang semacamnya? Aku butuh uang untuk dana penelitIan ku,”

“Kau yakin gak pulang aja? Orangtua kau pasti masih terpukul karena anaknya baru meninggal,” ucap Ding

“Ya, justru karena itulah aku tidak pulang. Adik ku meninggal karena diamengunjungi ku. Jika dia tidak perlu kemari dan membawakanku surat dia pasti masih hidup”.

Adiknya baru saja meninggal. Melihat keadaan dan sikap Thomas yang tidak pantas. Ding tidak tahan dengan sikapnya. Ia sangat ingin mengatakan “Bagaimana bisa kau bersikap begitu? Bukankah itu akan membuat adikmu yang baru meninggal tidak tenang?”Sayang kata-kata itu tak pernah ke luar dari mulutnya.

“Huh, jadi apa kau yakin tidak ingin membaca isi suratnya?” tanya Ding, sambil menyodorkan surat yang dititipkan oleh Dimas.

“Buat apa? Itu surat yang isinya sama, dikirim setiap bulan. Intinya sama meminta ku untuk kembali dan mewarisi pabrik itu,” Thomas menjawab pertanyaan Ding.

Karena Thomas kabur dari rumah, tidak ada yang mengetahui alamat Iatinggal. Lantas bagaimana surat-surat yang dikirim oleh adiknya bisa sampai ke kakaknya? Hal ini tidak lain karena kesalahan Thomas sendiri. Iasendiri yang awalnya mengirimkan surat ke adiknya. Membuat mereka sering saling berbalas surat. Akan tetapi, lama kelamaan Thomas enggan membaca surat-surat yang dikirimkan oleh Adiknya. Karena adiknya mulai menyinggung kata ‘pulang’ yang mengganggunya. Walau demikian Thomas masih tetap menyimpan surat-surat yang dikirim adiknya dengan segel yang masih tertutup.

“Ha, setidaknya ambilah ini surat terakhir dari adikmu,” ucap Ding sembari menyodorkan surat itu.

“Baiklah,” Thomas menerima surat yang disodorkan oleh Ding,” bukannya aku sudah memintamu untuk membuang surat ini?” tanya Thomas.

“Aku tak mengira menyerahkan surat itu dalam keadaan seperti ini,” Ding merasa kesal dengan dirinya sendiri.

Thomas mengeluarkan surat itu dari amplop. Itu adalah surat terakhir yang diberi adiknya juga surat terakhir yang Iamiliki. Karena sejak Thomas sudah tidak tinggal di asrama Iamembuang surat-surat yang sebelumnya masih Iasimpan.

“Aku bahkan sudah sangat lama tidak bicara dengannya,” Gumam Thomas. Iamulai membuka isi amplop itu.

24 November 1922

Untuk saudaraku, Thomas.

Mas, aku udah ngurus pabrik Bapak hampir tiga tahun. Bapak sama ibu keadaannya sehat. Sejak Mas pergi suasana rumah kita lebih sepi. Mungkin itu bagus. Tapi aku harap sesekali Mas bisa pulang ke rumah. Dan mungkin membantu meneruskan bisnis keluarga kita. Mungkin Mas agak sibuk, tapi tolong balas suratnya.

Saudaramu

Dimas

“Lihat, surat itu membahas masalah yang sama,” Thomas kembali memasukan surat itu ke dalam amplop.

“Dan sekarang aku tidak perlu menerima surat-surat ini lagi,” gumam Thomas.

“Kau serius bicara begitu saat adikmu baru meninggal?” seru Ding.”Apa kau gak berduka sama sekali?”

“Tahu apa kau soal berduka?” balas Thomas.”Aku lebih tahu soal adikku. Dan begini cara aku berduka.

“Ha? Apa kau gak bisa bilang kalau dia adik yang baik dan coba menghargai usahanya,”

“Ya justru karena itu aku membencinya. Dia adik yang baik dan aku kakak yang jahat,” Thomas meremas surat yang baru Iabaca dan memasukkannya ke saku celananya.

“Sekarang semua itu gak ada artinya. Dia sudah mati dan orang mati tidak bisa kembali hidup,” Ding tidak meneruskan perdebatan mereka. Kini Ia sudah melihat wajah kakak yang sedang berduka. Sesuai harapannya, tapi itu tak membuatnya senang.

Sekarang Thomas dilema dengan dirinya sendiri. Dia sekarang merasa sangat ingin meninggalkan toko buku ini. Tapi kali ini Iaterpikir sebuah peluang.

Saat membaca surat terakhir yang diberikan adiknya, Thomas berusaha menahan air matanya. Hatinya terasa tercabik-cabik. Walau Ia sudah tahu isi dan maksud surat itu. Tetap saja itu surat terakhir yang diberi adiknya. Oleh karena itu Iaterpikir sebuah ide.

“Hei, Ding apa kau bisa membantuku ke masa lalu?”Ungkap Thomas.

Sejak awal Thomas tahu rumor soal toko buku ini. Saat pertama Iadatang kemari tujuannya adalah kembali ke masa lalu dan mengubah kejadian dimana aliran dana pendidikannya dihentikan.

Akan sangat tabu bila ada seorang akademisi yang biasa berpikir ilmIah justru mempercayai sebuah rumor ghaib. Pikiran Thomas hari itu sangat kacau. Mungkin sampai terbesit di pikirannya menjual jiwanya pada iblis demi menggapai impiannya.

Ketika Ia ingin menghentikan penelitIannya Iabertanya Apa waktu yang sudah ku habiskan selama ini sia-sia ? Apa semua usaha dan tenaga ku tidak ada hasilnya? Tapi pada akhirnya Ia berpikir. Semua itu akan benar-benar sia-sia justru ketika Ia berhenti. Hal itu membuat sebuah rumor kembali ke masa lalu pun layak untuk dicoba.

Awalnya Ia tidak terlalu berharap. Tetapi ketika Iabenar-benar mencobanya semua rumor itu benar. Iaberhasil kembali ke masa lalu. Tapi dalam aturannya Thomas tidak bisa meninggalkan toko buku itu. Membuatnya tidak bisa mengubah masa lalu yang Ia inginkan.

Aturan mutlak lainnya adalah setiap orang yang kembali ke masa lalu hanya punya waktu lima menit tiga puluh detik. Dan apapun yang terjadi takdir tetap tidak bisa berubah. Kebanyakan orang ketika mendengar itu akan membatalkan rencana mereka. Terlebih untuk kembali ke masa lalu mereka harus menunggu hingga jarum jam menunjuk pukul tiga tiga puluh.

Alasan itu juga yang membuat rumor ini perlahan pudar. Karena aturan yang terlalu rumit. Terlebih pada akhirnya apapun yang dilakukan saat kembali ke masa lalu, takdir tetaplah tak bisa diubah. Saat kembali ke masa lalu untuk mencoba mengubah takdir tentang penelitIannya, Thomas tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak bisa ke luar dari toko. Dan apapun yang Ialakukan tidak mengubah takdirnya.

Tapi kali ini berbeda. Dimas adiknya pernah ke sini. Itu memberinya alasan kuat untuk kembali ke masa lalu. Walau tidak bisa mengubah takdir, paling tidak untuk terakhir kalinya Iabisa bicara dengan adiknya.

 “Jadi itu alasan kau ke sini ?” ucap Liren yang baru kembali dari dapur.”Ha? Kau tahu kan adikmu tidak akan bisa kembali?”

Apapun yang dilakukan saat kembali ke masa lalu. Tidak ada yang bisa mengubah masa depan. Thomas paham akan hal itu, Ia tidak bisa membuat adiknya kembali hidup. Kali ini Iahanya ingin bicara dengan adiknya, untuk yang terakhir kalinya.

“Ya, aku tahu,” jawabnya dengan singkat,” bisa kah sekali lagi kalian membantuku?”

 “Kembalikan aku ke hari itu!.

 “Tolong,”

Suasana dalam toko lenggang. Jam dinding menunjukkan pukul dua tepat. Dan si gadis bergaun putih masih saja asyik membaca bukunya.

“Kali ini agak beresiko. Kalau kau terbawa suasana dan lupa dengan batasan waktunya kau bisa terjebak di ketidakadaan,” ucap Liren.”Apa kau yakin ingin kembali ke masa lalu?”

“Ya. Aku yakin,”

“Kau masih ingat peraturannya kan?” tanya Liren.

“Ya, aku masih ingat. Aku perlu membaca buku yang dibaca gadis itu kan?”

Thomas berjalan menuju si gadis bergaun putih. Tinggi mereka sepantar. Ia menatap gadis itu.

“Apa aku bisa ambil buku itu secara paksa?” tanya Thomas.

“Ha, gak kau harus tunggu sampai jam menunjuk pukul tiga tiga puluh,”  balas Liren. ”Jika kau ambil secara paksa, kau akan dibawa ke alam lain. Dan keberadaan mu seolah tak pernah ada di Dunia ini,”

“Kau ingat aturannya kan? Kalau kau ke masa lalu kau cuma punya waktu lima setengah menit. Kau harus kembali sebelum waktu habis, atau kau terjebak di sana  selamanya,” Ding memperingati Thomas.

Ding berjalan ke ruangan di belakang kasir. Tak lama Ia kembali sambil membawa sebuah jam genggam,” bawa ini, berikan itu padaku saat tiba di masa lalu. Ku ingatkan kau kalau waktunya mau habis”.

Orang yang kembali ke masa lalu untuk bertemu orang yang sudah meninggal cenderung terbawa suasana. Membuat mereka lalai dengan aturan batas waktunya. Itulah yang membuat tindakan ini sangat beresiko. Thomas menyakukan jam genggam yang diterimanya. Sekarang dia tinggal menunggu hingga jam dinding menunjuk pukul tiga tiga puluh. Saat itu Thomas bisa mengambil buku yang dibaca oleh si gadis bergaun putih. Detik demi detik. Menit demi menit berlalu. Sebentar lagi jam menunjukkan pukul tiga tiga puluh. Thomas bersiap untuk mengambil buku.

“Ingat kau cuma punya waktu lima menit tiga puluh detik,” Liren kembali mengingatkan.

“Ya, aku tahu, si gadis bergaun putih sudah menutup buku bacaannya.  kemudian, Ia meletakkannya di rak buku berdampingan dengan buku-buku lainnya. Lalu gadis bergaun putih berjalan lurus menuju salah satu sisi tembok. Dan Iamenembusnya seperti tidak terjadi apa-apa dan menghilang. Thomas yang sedari tadi memperhatikan kini bergegas untuk mengambil buku yang diletakan gadis itu. Menghiraukan apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu.

“Ingat, apapun yang kau lakukan takdir tak bisa berubah,” Liren sekali lagi mengingatkan Thomas.

Saat kembali ke masa lalu Thomas hanya bisa berada di dalam toko. Iahanya memiliki waktu lima menit tiga puluh detik. Dan orang yang Iatemui pun hanya orang-orang yang pernah mengunjungi tempat ini.

“Apa enam menit waktu yang cukup untuk bicara dengan orang yang sudah meninggal?” Thomas  kemudian, membuka buku yang baru Iaambil.

Buku yang selalu dibaca oleh si gadis bergaun putih itu setiap halamannya tampak kosong. Tak satu kata tertulis dalam buku itu. Tapi memang begitu cara kerjanya. Kata-kata dalam buku itu perlahan akan ke luar sesuai masa lalu mana yang ingin dituju pembacanya.

“Tolong bawa aku ke hari itu,”

Tiba-tiba buku itu membuka halamannya sendiri. Lambat laun semakin cepat dan cepat. Kata-kata yang tak bisa dimengerti mulai ke luar dari buku itu, lantas mengeLili ngi Thomas dengan cepat. Thomas mulai mendengar suara-suara.

Ulud anam narok.

“Aynukub relupop hisam.

 “Relupop igal.

“Ayas sam.

Suara-suara aneh itu  kemudian, berhenti. Thomas melihat sekeliling. Ia melihat Ding yang sedang menjaga toko. Tampaknya Ia sudah berhasil kembali ke masa lalu. Tapi apakah Ia kembali ke masa yang benar? Thomas lantas berjalan menuju meja kasir.

 “Ding? Apa aku bisa titipkan jam genggam ini padamu?” tanya Thomas sambil menyodorkan jam genggam itu.

“Ha? Kau dari masa depan? Untuk apa kau ke masa lalu?”

“Untuk bicara dengan adikku,” ucap Thomas.

“Memangnya adikmu akan datang kemari? Bukannya kau benci adikmu?” tanya Ding.

“Tidak. Hari ini aku akan menemuinya,” Thomas berusaha tertawa tapi tawa itu tak pernah bisa ke luar dari mulutnya.

Ding menyipitkan matanya, Ia merasa penasaran. Jika seseorang memberikan jam tangan itu padanya, maka itu pertanda apa yang Thomas lakukan adalah hal yang berbahaya. Thomas beranjak ke rak koran untuk memeriksa tanggal. Ia ingin memastikan apa Ia kembali ke waktu yang tepat atau tidak. Saat Iamengecek rak koran tiba-tiba terdengar bunyi lonceng. Detak jantungnya berdegup kencang. Ia akan menemui adiknya yang seharusnya tidak bisa Iatemui lagi. Thomas berusaha menenangkan dirinya dengan mengambil napas panjang.

Ting-ting-tingTerdengar suara lonceng dari pintu masuk. Iabergegas memeriksa siapa tamu yang datang. Waktu yang Iamiliki hanya lima menit tiga puluh detik. Ia tidak boleh menyIanyIakan waktu singkat itu.

Mas? Suara itu tidak asing di kupingnya. Thomas segera membalikan badannya dan melihat sosok yang wajahnya Iakenali. Ia tampak lebih tinggi dibanding pertemuan terakhir mereka. Hari itu Thomas memilih untuk bersembunyi di kolong meja kasir. Tapi hari ini Iamemilih untuk menghadapinya. Karena ini kesempatan terakhir Ia dapat berbicara dengan adiknya.

“Ha-halo,” Thomas menyapanya dengan canggung. Thomas menatap adiknya dengan seksama. Iamasih tidak terbiasa berbicara dengan orang yang sudah tidak ada.

“Kenapa Mas gak pernah balas surat kirimanku?”

“Yah, agak sibuk di sini.

Dimas membalas dengan anggukan.

“Jadi gimana hasil penelitIannya?”

“Ya soal empedunya ternyata waktu kantong empedu itu mentranspor air dan ion ya. Kantong empedu mentranspor ion positif dan negatifnya itu setara. Jadi gak mengalirkan neto atau ngebuat voltase transpor,” jawab Thomas dengan antusias. Jarang ada yang bertanya soal itu kepadanya. Bahkan,  saat Iamasih aktif meneliti di perguruan tinggi. Tidak menyangka adiknya akan menanyakan hal itu.

“Wah, aku gak ngerti. Tapi kelihatannya menarik,” jawab Dimas.”Rasanya ada yang aneh,” Tambahnya.

“Apa yang aneh?”

“Kita udah lama gak bicara langsung kaya gini,”

“Yah, sudah beberapa tahun,”  balas Thomas. Baginya ini bukan sekedar pembicaraan pertama mereka sejak beberapa tahun. Tapi juga menjadi yang terakhir.

Thomas tidak tahan ingin mencoba mengubah takdir kematIan adiknya. Tapi Ia tahu setelah berkali-kali mencoba takdir tentang penelitIannya Iaselalu gagal. Karena memang begitu aturannya. Keduanya saling terdiam, terasa sulit untuk melanjutkan percakapan. Sadar karena waktunya terbatas Thomas berusaha melontArkan kata-katanya.

“Gimana keadaanmu di rumah?”

“Lumayan baik. Aku mulai lebih mengurusi manajemen pabrik dibanding Bapak. Kita mulai mempekerjakan lebih banyak orang,”

“Yah itu bagus,” Thomas menganggukan kepalanya.

Kembali mereka saling diam. Thomas memperhatikan tingkah adiknya. Dimas seolah ingin mengatakan sesuatu, Ia tampak menoleh ke arah sekitar. Walau begitu Thomas tahu apa yang ingin dikatakan adiknya. Ia ingin mengajaknya pulang. Memikirkan apa yang dirasakan Dimas batinnya merasa tercekik. Dimas enggan mengatakannya. Kali ini pun Ia takut mendapat penolakan dari kakaknya. Ia takut justru kakaknya akan lebih menjauh darinya. Sambil menggenggam buku Thomas mendongak ke arah jam. Iamenyadari waktunya terbatas. Kalau ada yang perlu dikatakan sekarang, maka harus dikatakan sekarang. Biarpun itu sebuah kebohongan.

“Sepertinya aku akan pulang,” Dimas kebingungan mendengarnya. Iabelum mengatakan sepatah kata pun.

“Apa?” tanya Dimas.

“Ya aku akan pulang. Ke rumah,”  balas Thomas,” tapi kamu tahu, mungkin aku tidak bisa banyak membantu,”

“Gak apa-apa. Nanti bisa belajar, Mas kan jenius pasti bisa. Bahkan mungkin lebih dari aku. Bapak sama Ibu pasti bakal senang,” Kalimat itu seperti mengisyaratkan Dimas ingin kakaknya menggantikannya. Itu membuat Thomas semakin yakin adiknya punya mimpi yang ingin Iakejar.

“Aku ragu soal itu,” jawab Thomas.

“Tentu saja mereka senang,” Dimas berusaha meyakinkan kakaknya.

“Aku memimpikan ini sejak lama,” Dimas bergumam sendirian Ia sangat senang.

Rupanya apa yang selama ini Thomas pikirkan benar. Dimas ingin mendapat kebebasannya. Ia juga ingin mengejar mimpinya. Namun, karenanya Iaberakhir menjadi pengurus pabrik gula yang tidak Ia inginkan. Jantung Thomas berdetak tak karuan.

Thomas tidak tahu apa yang Ia rasakan. Apa Ia merasa bersalah atau merasa benar. Ia merasa lebih yakin dengan pikirannya selama ini. Tapi kini Ia berusaha lebih tenang. Ia berusaha untuk lebih ramah di percakapan terakhir dengan adiknya.

“Mimpi apa?” tanya Thomas.

“Kita menjalankan pabrik itu bersama,” jawab Dimas dengan singkat.

Thomas berpikir itu pasti bohong. Bagaimana mungkin ada seseorang yang memimpikan hal semacam itu. Baginya itu terasa seperti mimpi karangan anak-anak. Tapi ketika Ia melihat wajah Dimas Ia ragu dengan pernyataannya.

Tidak dia pasti bohong. Dia tidak mau mewarisi pabrik itu. Tertulis di wajahnya. ‘aku tidak ingin mewarisi pabrik itu’. Jadi apa impianmu sebenarnya. Apa kamu mau pergi ke Jerman untuk sekolah seni? Thomas mengatakan semua itu dalam pikirannya. Namun, ketika Ia melihat wajah adiknya Ia ragu dengan keyakinannya sendiri. Seolah mengatakan memang dia lah yang paling jahat selama ini.

Ia tak tahu harus berkata apa sekarang. Apapun yang Ia katakan tak bisa mengubah masa depan. Ini tetap percakapan terakhir bagi keduanya. Ini terakhir kalinya Ia dapat melihat dan bicara dengan adiknya. Ada banyak yang ingin Thomas sampaikan.

“Hei Thom, kau tinggal punya waktu dua menit,” Ding mulai memperingatkan Thomas.

Jika Thomas tidak kembali sebelum lima setengah menit maka Ia akan terjebak di sini selamanya. Keberadaanya akan dia nggap lenyap, dan tidak pernah ada.

Bagaimana ini? Apa sekarang aku harus menyanggupi ucapan ku untuk pulang. Bodohnya aku mengatakan kebohongan pada orang yang akan pergi selamanya. Kini aku tak bisa bohong. Terutama pada adikku yang sekarang masih hidup. Apa yang harus ku lakukan?Thomas menatap buku yang sedari tadi Ia genggam. Jika Ia kembali meletakkan buku itu ke dalam rak. Dia akan kembali ke masa depan. Tapi sebelum itu biarlah dia menghabiskan dua menit terakhir bersama adiknya.

“Kamu kelihatannya agak aneh? Apa ini sejenis pengaruh budaya kota?” tanya Dimas. Thomas mendongak mengalihkan fokusnya dari buku yang Ia genggam, matanya sekarang fokus menatap Dimas.

“Ya, ini sejenis efek budaya modern,”

“Karena itu aku akan pulang,” ucap Thomas.”kita akan menjalankan pabrik itu bersama.

Walau saat itu terjadi mungkin kamu sudah tidak ada.

“Nanti kita bisa buat bisnis keluarga kita sampai ke negeri seberang,”

Tidak ada salahnya aku berbohong.

“Aku yakin dimasa tua nanti kita bakal jadi orang kaya raya,”

Jika aku bisa buat adikku senang. Maka itu gak ada ruginya.

“Gula keluarga kita bakal jadi gula terbaik.

Maaf.

“Kamu sangat aneh hari ini? Atau memang biasanya gitu?”

“Ya aku memang sangat aneh hari ini,” Thomas menjawab dengan ramah. Matanya mulai memerah menahan air mata. Thomas  kemudian, berjalan menuju rak buku. Ia menggenggam buku itu. Sambil menahan tangis Ia kembali menghadap ke melihat adiknya untuk terakhir kalinya.

“Oh ya harga asli buku Siti Nurbaya itu cuma tiga Gulden”. Setidaknya biar ku coba mengubah satu hal. Dimas menatap kebingungan. Apa yang sedang dibicarakan kakaknya. Tapi Ia juga senang kakaknya akan segera pulang ke rumah. Perlahan Thomas  kemudian, meletakan buku itu kembali ke rak tempat Ia mengambil buku itu sebelumnya.

Wuush

Saat Ia kembali melihat ke belakang Ia disambut Ding dan Liren. Ia menatap jam  dinding, itu menunjukan pukul tiga tiga puluh. Satu menit pun tak terlewat.  kemudian, Thomas menatap ke posisi adiknya berdiri sebelumnya, Ia sudah tidak ada di sana. Sekarang Ia sudah kembali ke masa depan.

4 Juli 1923

Ting-ting-ting

Seorang tukang surat datang ke toko hari itu. Ia berjalan menemui Ding dan Liren yang sedang berjaga di meja kasir.

“Permisi, ada surat dan paket,”

“Oh ya terima kasih,” Liren menerima surat dan paket itu.

“Ah, ya sama-sama,” ucapnya.  “Tolong tanda tangan di sini!” Tukang pos itu menyodorkan sebuah kertas dan pulpen untuk tanda tangan. Liren  kemudian, menandatangani surat itu, dan memberikannya kembali ke si tukang pos.

Setelah mengecek hasil tanda tangannya. Tukang pos itu  kemudian, segera pergi. Ia sangat sibuk karena harus pergi ke banyak tempat.

“Surat dari siapa itu?” tanya Ding.

“Ya biar ku lihat,” Liren melihat amplop surat itu.”Surat ini dikirim Thomas.

“Ha, udah lama ya sejak dia pulang ke kampung halamannya,” ucap Ding.

Liren membuka isi amplop itu. Ia  kemudian, membacakan isi suratnya.

21 Juni 1923

Untuk Ding, Liren.

Sudah ampir satu bulan aku berada di sini. Rasanya masih agak canggung dengan keluarga ku. Aku mulai kembali bicara dengan orangtua ku. Walau tidak sering, tapi itu sebuah perkembangan. Aku mulai belajar mengurusi pabrik ini. Saat di rumah aku kembali teringat bagaimana aku dan adikku tumbuh bersama. Kami sering berkelahi tapi itu masa yang menyenangkan, Ya aku cuma mau menyampaikan terima kasih. Ah ya tolong dibuka juga isi paketnya.

Thomas.

“Ha, baik kita lihat isi paketnya apa,” Liren mengambil paket itu,  kemudian membuka bungkusannya.

“Wah isinya gula. Aku baru tahu kau bisa kirimkan makanan,” ucap Ding mengamati.

“Kelihatannya ini gula buatan keluarganya,” Liren mengangkat kantong berisi gula itu.

Rumor-rumor tentang toko ini bisa membawa pengunjungnya ke masa lalu mungkin benar, tapi orang-orang bertanya-tanya. ”Apa artinya kembali ke masa lalu jika tidak bisa mengubah masa depan?”. Tapi kedua bersaudara itu tahu. Setiap orang yang berkunjung kemari dan kembali ke masa lalu mungkin tidak bisa mengubah takdir mereka. Karena yang akan berubah adalah diri mereka.

Setiap orang pasti mempunyai mimpi, untuk beberapa orang mimpi mereka begitu ambisius. Dan lainya mungkin akan memimpikan hal yang sederhana, seperti kehidupan yang damai dan sejahtera bersama orang-orang terkasih. Tapi bagi orang yang ambisius mereka sering kali lupa kehidupan bukan sekedar mengejar cita-cita. Dan ketika mereka menyadarinya mereka mengalami krisis. Di momen krisis itu lah kehidupan mereka akan berubah.

Apa mereka akan jatuh seperti halnya Uni Soviet di tahun 1991 yang kukuh dengan kebijakannya. Atau bangkit, seperti tetangganya Finlandia yang sudah luluh lantah akibat perang Dunia ke-dua.


×
               
         
close