“Tapi
Meneer, ini penemuan besar saya
berhasil mengukur transpor natrium dan air oleh kantong empedu” ungkap Pria
Jawa itu.
“Baik,
ini kesempatan terakhir Anda Tuan Thomas,” jawab Meneer Belanda yang sedari tadi Ia ajak bicara.
“Sebelumnya
ketika saya mencoba mengukur voltase melintas kandung empedu, yang saya
dapatkan adalah nol. Namun, hal itu ternyata karena ketika kantong empedu
mentranspor ion dan air. Kantung empedu mentranspor ion positif dan negatif
secara setara, hingga tidak mengalirkan muatan neto dan tidak membuat voltase
transpor,” jelasnya.
“Kami
tidak peduli dengan proses atau cara kerjanya. Apa manfaat pengetahuan tentang
riset kantong empedu yang Anda lakukan selama tiga tahun terakhir?” tanya pria
yang sedari tadi Ia ajak bicara.
“Belum Meneer,
saya hanya belum menemukannya. Tapi saya yakin ini akan jadi masa depan untuk Duniafisiologi
dan kesehatan,” jawabnya dengan penuh percaya diri dan semangat sambil
mengepalkan tangannya.
“Maaf
Tuan
Thomas, aliran dana untuk riset mu tentang empedu apa pun itu entah monyet,
tupai, cicak, burung merpati ata-,”
“Maaf
Meneer, tapi burung merpati tidak
punya empedu.”
“Oke
baik, burung merpati tidak punya empedu. Yang jelas aliran dana untuk riset
anda perlu kami hentikan.”
Thomas
menatap bisu. Dia bertanya dalam hatinya. Apa
pekerjaan ku selama ini sia-sia ? Apa waktu yang kuhabiskan untuk begak adang
tidak ada gunanya? Apa aku calon ahli fisiologi yang gagal?
“TIDAK MENEER.
SAYA YAKIN RISET SAYA BISA BERGUNA JADI SAYA LAYAK MENDAPATKAN WAKTU!” bentakan
Thomas terdengar hingga ke ruangan sebelah. Ia membantah kegagalannya.
Sejenak
seisi ruangan dengan meja dan lemari penuh berkas juga buku penelitIan itu
hening. Bermacam jenis kantong empedu tergantung di langit-langit ruangan itu.
“Kapan
riset anda akan berguna? Kami tidak bisa memberikan bantuan bagi inlander seperti Anda terus menerus,”. Mendengar jawaban itu Thomas kebingungan, Ia
melihat seisi ruangan penelitIannya. Cahaya Matahari sore menembus jendela.
“Tolong
Meneer, beri saya sedikit waktu lagi.
Saya akan segera buktikan penelitIan saya berguna. Anda bisa kurangi aliran
dana saya, tapi biarkan saya lanjutkan penelitIan ini,”
“Berapa
lama lagi? Kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Besok pagi barang-barang
anda akan dikeluarkan dan seluruh aliran dana dihentikan.”
Segera
Meneer Belanda itu ke luar
meninggalkan ruangan. Meninggalkan Thomas sendirian dalam ruang penelitIannya. Thomas kemudian, jatuh terduduk di pojok ruangan.
Cahaya
Matahari berganti dengan sinar rembulan. Siur angin malam memasuki ruangan dari
jendela dan celah-celah ventilasi udara. Ruangan bercat putih itu sunyi dan
tenang. Sinar mentari bersinar dari ufuk Timur. Dua orang kuli pribumi memasuki
ruangan penelitIannya yang tak terkunci. Membuat Thomas yang tertidur di lantai
tiba-tiba terbangun. Iabangun dengan tatapan kebingungan, dan gelisah. pakaIan
dan rambutnya berantakan.
Tanpa
bicara pada Thomas kedua kuli itu mulai mengangkut barang penelitIannya. Thomas
berjalan sempoyongan ke luar ruangan, mendapati Meneer Belanda yang semalam bicara dengannya ada di lorong ruangan
sedang membaca koran. Meneer Belanda
itu sejenak menatap Thomas. Tapi kembali mengalihkan pandangannya dan lanjut
membaca korannya. Thomas terus berjalan melewati lorong putih. Pintu tinggi di
kiri dan jendela besar juga tak kalah tinggi di kanannya.
Setelah
ke luar dari bangunan itu Ia disambut empat tIang besar berwarna putih. Lebih
dari itu terik sinar Matahari menusuk matanya, segera Iamenutupinya dengan
tangan. Thomas berjalan melewati jalanan ber lansekap kan pohon-pohon mahoni.
Iamenuju Gedung Asrama. Sesampainya di depan Gedung Asrama Ia melihat
barang-barangnya sudah berada di luar. Surat-surat yang masih tersegel dalam
amplop, berserakan di tanah. Surat-surat itu dikirim oleh Adiknya.
Ting-ting-ting. Lonceng
di atas pintu masuk bergoyang. Seorang
pria mengenakan blangkon masuk membuka pintu. Toko buku itu kedatangan
pelanggan. Iaberusia sekitar delapan belas tahun. Pria itu berjalan pelan
sambil memperhatikan sekitar. Semakin masuk ke dalam toko, suasana berubah
menjadi sepia. Cahaya yang merambat melalui jendela berganti dengan lampu-lampu
tua yang bergantung di langit-langit. Ia berjalan
menuju kasir di antara rak-rak setinggi dua setengah meter.
“Permisi Mas, buku yang lagi populer sekarang
ini apa ya?”. Muncul percakapan penjual dan
pembeli di tengah lenggangnya toko itu.
“Ha,
buku Nyai Permana bagus, masih populer bukunya. Atau Siti
Nurbaya baru enam bulan lalu terbit,” jawab Ding. Ia menjaga toko sendirian
hari itu.
Toko
buku ini milik keluarganya yang berdiri sudah sejak lama. Sudah ada bahkan
sebelum Ding lahir. Ia melanjutkan bisnis keluarga ini bersama kakaknya.
“Kalau
Siti Nurbaya berapa?”
“Harganya
enam gulden, kalau dibanding harga langganan
koran setengah tahun lumayan mahal ya,” ucap pria dengan blangkon itu.
“Ha,
koran mana dulu, rata-rata langganan koran empat setengah gulden buat enam
bulan. Wajar lebih mahal namanya juga buku cara cetaknya beda,” .
“Ah,
iya-ya beli buku Siti Nurbaya aja,” jawab pria itu dengan ketakutan dan
terburu-buru. Tujuan utamanya ke toko ini bukan untuk membeli buku. Jadi Ia
berusaha menghindari masalah.
Segera
Ding memasukan uang pria malang itu ke mesin kasir tua milik keluarganya.
Wajahnya tampak bahagia .
Asik uang. Harganya kunaikan
dua kali lipat dan dia tetap beli. Haha. Orang kampung memang mudah ditipu,
ungkap Ding dalam batinnya. Pria malang yang baru ditipu itu memperhatikan ke
belakang. Ia melihat ada seorang gadis Belanda dengan gaun putih. Ia tampak
asik berdiri membaca buku di samping rak. Pria itu kebingungan karena
sebelumnya tidak ada pembeli selain dirinya. Iayakin sama-sekali tidak
mendengar suara lonceng dari pintu masuk.
“Permisi
Mas, emang gak apa-apa baca bukunya tapi belum beli?”
“Ya.
Sebenarnya boleh-boleh aja. Mungkin? Ya dia biasa di situ dari dulu. Gak ada
yang keberatan jadi mungkin boleh,” jawab Ding dengan ragu. Dan tidak mau ambil
pusing.
“Emang
gak bakal rugi?” tanya pria itu.
“Ha,
dia cuma baca buku yang sama. Kalau kau tahu, dia pembeli setia. Tunggu apa dia
pembeli setia? Dia kan gak pernah beli buku? Tapi dia selalu data-”
“Memangnya
buku apa yang dibaca?” memotong kalimat Ding yang
mulai bicara dengan dirinya sendiri.
“Ha,
apa? Ah. Ya dia mungkin baca semacam novel” . Suasana
sejenak sunyi. Percakapan berhenti dan si gadis bergaun putih masih asik
melanjutkan bacaannya.
“Kalau
boleh tahu ada orang yang wajahnya mirip saya suka ke sini Mas? Saya dengar Mas saya suka belanja ke
sini,” tanya pria itu. Nama pria dengan
blangkon itu adalah Dimas. Ia sedang mencari kakaknya untuk mengajaknya pulang.
Keluarganya mendapat kabar, aliran dana penelitIan kakaknya dihentikan dan Ia
sudah dipulangkan. Namun, setelah tiga bulan kakaknya masih belum tiba di
rumah.
“Ha.
Dia udah gak datang sekitar dua minggu,” Dimas menganggukan kepalanya.
Dan mengeluarkan sepucuk amplop.
“Kalau
Mas ku ke sini. Tolong kasihin surat ini ya Mas.”
“Ah.
Ya santai aja,” jawab Ding sambil menerima amplop titipan itu.
BRUK…! “Suara
apa tadi?” Dimas bertanya sambil menatap
meja kasir yang baru bergetar.
“Ha,
bukan apa-apa. Kakiku keram aja ini,” ucap Ding sambil melambaikan
tangannya.”Ya. Kalau gitu nanti kalau ketemu kakak mu suratnya ku kasih tenang
aja.”
“Ah
ya saya titip pesan juga. Tolong bilangin kalau Bapak udah gak marah lagi.
Permisi ya Mas”. Dimas pergi meninggalkan kasir
menuju pintu ke luar. Dan si Gadis dengan gaun putih masih tetap asik membaca
bukunya.
Ting-ting-ting…
“Oke
kau sudah boleh ke luar.”
Bruk. Seseorang
ke luar sambil membentur meja, sosok itu ialah
Thomas.
“Ha,
kau bertengkar sama keluargamu ya?”
“Ya.
Lumayan, Bapak ku benci aku,” jawab Thomas dengan bangga.
“Kau
dengar kan tadi? Bapakmu udah gak marah lagi.”
“Aku
gak yakin.”
Keluarga
Thomas mengelola sebuah pabrik gula. Orang tuanya bermaksud mewariskan pabrik
itu ke Thomas. Namun, saat berusia empat belas tahun Thomas pergi dari rumah.
Sejak saat itu adiknya dipilih untuk mewarisi pabrik gula tersebut. Namun,
karena faktor usIakedua orang tuanya sekarang Dimas sudah mulai mengelola
pabrik itu. Dia membenciku,
Thomas bergumam sambil membersihkan pakaIannya.
“Maksudmu?”
tanya Ding kebingungan.
“Pabrik
itu. Dia tidak ingin mewarisinya.”
“Ha,
dia kelihatannya adik yang baik. Kau tak perlu sembunyi.”
“Ya
dan kamu menipunya dengan harga buku yang diluar nalar. Lagi pula aku gak mau
melihatnya,”
“Melihat
apa?”
Wajahnya, gumam Thomas, sembari menatap pintu ke luar.
Ding
menatap Thomas dengan heran.
“Jelas-jelas
di wajahnya tertulis. ‘Aku terpaksa mewarisi pabrik itu karena kakakku. Andai
kakakku mau kembali, aku pasti bisa bebas aku bisa mengejar mimpiku,” jelas
Thomas dengan tenang.
“Ha?
Aku gak yakin, aku gak lihat itu di wajahnya,” Ding menatap Thomas dengan
heran.
“Jadi
gimana dengan surat yang dia kasih?”
“Kamu
buang aja,” jawab Thomas sambil berjalan menjauhi kasir.
“Kau
mau kemana?”Sambil menyodorkan amplop berisi surat yang baru diberi Dimas.
“Aku
harus bersiap. April nanti ada pameran terbuka di Stovia ,” Thomas sudah
berdiri di depan pintu ke luar.
“Ha,
bukannya pendanaan penelitIan kau udah berhenti?”
“Ya,
pendanaan ku berhenti. Tapi tidak dengan ambisi ku. Aku akan buktikan ke mereka
kalau mereka salah. Lagi pula aku gak bisa pulang dalam keadaan gagal,” Thomas
lantas ke luar dari Toko.
Ting-ting-ting. Lonceng
pintu berbunyi. Meninggalkan Ding sendirian di meja kasir. Dan si gadis Belanda
masih terus membaca bukunya.
“Mungkin
lebih baik ku simpan saja surat ini,” Ding menyakukan surat itu di kantongnya.
Dahulu
beredar rumor bahwa ada sebuah tempat di kota ini yang bisa membawa kita ke
masa lalu. Namun, di dalamnya terlalu banyak persyaratan, membuat orang-orang
mulai meragukan rumor itu. Orang-orang mulai beranggapan bahwa itu hanya cara
promosi yang dilakukan untuk mendatangkan pelanggan. Tempat itu bernama
Caro-Kann. Sama seperti nama toko buku ini.
21 April 1923
Terik
Matahari dan angin panas berhembus ke penjuru kota. Beberapa orang mengenakan
payung untuk berlindung dari teriknya panas Matahari. Suhu siang ini sekitar
tiga puluh satu deRajat. Suhu yang sangat panas itu tak lain disebabkan
kedatangan sang El Nino.
Ting-ting-ting…
Seorang
wanita mengenakan topi memasuki toko sambil membawa bahan-bahan makanan.
Namanya Liren kakak perempuan dari Ding. Suasana dalam toko ini lebih sejuk
dibandingkan dengan di luar. Mungkin karena bahan bangunan dan arsitekturnya
yang di desain sejuk saat menghadapi kemarau. Selain berfungsi sebagai toko buku, lantai dua dari
bangunan ini berfungsi sebagai hunIan. Hal ini membuat kedua kakak adik ini
bisa dengan mudah membuka dan menutup toko mereka.
“Di luar panas,” ucap Liren sambil melepaskan topinya.
“Kita
makan apa malam ini?” tanya Ding.
“Di
pasar tadi ada diskon bekicot. Karena aku baru baca buku masakan Perancis. Jadi
mungkin malam ini kita makan escargot,”
jawab Liren sambil meletakan bahan makanan itu di atas meja.
“Hei,
kau tahu kemana Thomas pergi, udah hampir dua bulan dia gak ke sini lagi,” tanya
Liren.
“Ha.
Ini sebetulnya kabar satu bulan lalu,” jelas Ding dengan wajah yang murung.
“Ada
apa?” tanya Liren menyipitkan matanya yang sipit.
“Adiknya.
Kecelakaan. Dia kecelakaan di perjalanan pulang saat ke sini mengunjungi Kakaknya,” Ding mendengus.
“Kasihan
sekali dia,” Liren menggenggam topinya.
Thomas
bahkan tidak terlihat di pameran sains Stovia dua minggu lalu. Mungkin alasannya adalah karena
Ia harus pulang ke kampung halamannya. Dia terpaksa mengubur mimpi dan
semangatnya yang menggebu-gebu. Walau diluar sangat cerah, tapi karena
jendela-jendela yang kecil membuat cahaya Matahari tidak masuk ke dalam toko.
Dalam suasana yang lenggang, si gadis bergaun putih masih melanjutkan bacaannya
sambil disinari lampu-lampu tua yang bergantung di langit-langit. Menyisakan
suara detak jarum jam.
Ting-ting-ting. Toko
kedatangan seorang pelanggan yang tak terduga. Thomas melewati pintu dengan
mengenakan pakaIan yang biasa Iagunakan. Ding terkejut karena Ia tahu bahwa
seharusnya saat ini Thomas masih di kampung halamannya. Dan sekarang Ia
mendapati Thomas berdiri di depan pintu masuk dengan wajah yang tidak bisa
Iamengerti. Ia tampak seperti tidak terjadi apa-apa. Membuat Ding dan Liren
ragu untuk memberi ucapan belasungkawa.
“Thomas?” Liren menyipitkan matanya.
“Apa?”
“He.
Bagaimana bilangnya ya?” Ding
menggaruk-garuk kepalanya.
“Bilangnya
apa?”
“Kami
turut berduka,” ucap Liren sambil membawa belanjaannya.”Uh, aku mau ke dapur
sebentar,” Dengan canggung Liren pergi meninggalkan Ding.
“Eh,
yah rasanya terlalu cepat atau yah,” gumam Thomas.”Omong-omong kamu punya
informasi soal lowongan penulisan koran atau yang semacamnya? Aku butuh uang
untuk dana penelitIan ku,”
“Kau
yakin gak pulang aja? Orangtua kau pasti masih terpukul karena anaknya baru
meninggal,” ucap Ding
“Ya,
justru karena itulah aku tidak pulang. Adik ku meninggal karena diamengunjungi
ku. Jika dia tidak perlu kemari dan membawakanku surat dia pasti masih hidup”.
Adiknya
baru saja meninggal. Melihat keadaan dan sikap Thomas yang tidak pantas. Ding
tidak tahan dengan sikapnya. Ia sangat ingin mengatakan “Bagaimana bisa kau
bersikap begitu? Bukankah itu akan membuat adikmu yang baru meninggal tidak
tenang?”Sayang kata-kata itu tak pernah ke luar dari mulutnya.
“Huh,
jadi apa kau yakin tidak ingin membaca isi suratnya?” tanya Ding, sambil
menyodorkan surat yang dititipkan oleh Dimas.
“Buat
apa? Itu surat yang isinya sama, dikirim setiap bulan. Intinya sama meminta ku
untuk kembali dan mewarisi pabrik itu,” Thomas menjawab pertanyaan Ding.
Karena
Thomas kabur dari rumah, tidak ada yang mengetahui alamat Iatinggal. Lantas
bagaimana surat-surat yang dikirim oleh adiknya bisa sampai ke kakaknya? Hal
ini tidak lain karena kesalahan Thomas sendiri. Iasendiri yang awalnya
mengirimkan surat ke adiknya. Membuat mereka sering saling berbalas surat. Akan
tetapi, lama kelamaan Thomas enggan membaca surat-surat
yang dikirimkan oleh Adiknya. Karena adiknya mulai menyinggung kata ‘pulang’
yang mengganggunya. Walau demikian Thomas masih tetap menyimpan surat-surat
yang dikirim adiknya dengan segel yang masih tertutup.
“Ha,
setidaknya ambilah ini surat terakhir dari adikmu,” ucap Ding sembari
menyodorkan surat itu.
“Baiklah,”
Thomas menerima surat yang disodorkan oleh Ding,” bukannya aku sudah memintamu
untuk membuang surat ini?” tanya Thomas.
“Aku
tak mengira menyerahkan surat itu dalam keadaan seperti ini,” Ding merasa kesal
dengan dirinya sendiri.
Thomas
mengeluarkan surat itu dari amplop. Itu adalah surat terakhir yang diberi
adiknya juga surat terakhir yang Iamiliki. Karena sejak Thomas sudah tidak
tinggal di asrama Iamembuang surat-surat yang sebelumnya masih Iasimpan.
“Aku
bahkan sudah sangat lama tidak bicara dengannya,” Gumam Thomas. Iamulai membuka
isi amplop itu.
24 November 1922
Untuk saudaraku, Thomas.
Mas, aku udah ngurus pabrik
Bapak hampir tiga tahun. Bapak sama ibu keadaannya sehat. Sejak Mas pergi
suasana rumah kita lebih sepi. Mungkin itu bagus. Tapi aku harap sesekali Mas
bisa pulang ke rumah. Dan mungkin membantu meneruskan bisnis keluarga kita.
Mungkin Mas agak sibuk, tapi tolong balas suratnya.
Saudaramu
Dimas
“Lihat,
surat itu membahas masalah yang sama,” Thomas kembali memasukan surat itu ke
dalam amplop.
“Dan
sekarang aku tidak perlu menerima surat-surat ini lagi,” gumam Thomas.
“Kau
serius bicara begitu saat adikmu baru meninggal?” seru
Ding.”Apa kau gak berduka sama sekali?”
“Tahu
apa kau soal berduka?” balas Thomas.”Aku lebih tahu soal adikku. Dan begini
cara aku berduka.”
“Ha?
Apa kau gak bisa bilang kalau dia adik yang baik dan coba menghargai usahanya,”
“Ya
justru karena itu aku membencinya. Dia adik yang baik dan aku kakak yang
jahat,” Thomas meremas surat yang baru Iabaca dan memasukkannya ke saku
celananya.
“Sekarang
semua itu gak ada artinya. Dia sudah mati dan orang mati tidak bisa kembali
hidup,” Ding tidak meneruskan perdebatan mereka. Kini Ia sudah melihat wajah
kakak yang sedang berduka. Sesuai harapannya, tapi itu tak membuatnya senang.
Sekarang
Thomas dilema dengan dirinya sendiri. Dia sekarang merasa sangat ingin
meninggalkan toko buku ini. Tapi kali ini Iaterpikir sebuah peluang.
Saat
membaca surat terakhir yang diberikan adiknya, Thomas berusaha menahan air
matanya. Hatinya terasa tercabik-cabik. Walau Ia sudah tahu isi dan maksud
surat itu. Tetap saja itu surat terakhir yang diberi adiknya. Oleh karena itu
Iaterpikir sebuah ide.
“Hei,
Ding apa kau bisa membantuku ke masa lalu?”Ungkap Thomas.
Sejak
awal Thomas tahu rumor soal toko buku ini. Saat pertama Iadatang kemari
tujuannya adalah kembali ke masa lalu dan mengubah kejadian dimana aliran dana
pendidikannya dihentikan.
Akan
sangat tabu bila ada seorang akademisi yang biasa berpikir ilmIah justru
mempercayai sebuah rumor ghaib. Pikiran Thomas hari itu sangat kacau. Mungkin
sampai terbesit di pikirannya menjual jiwanya pada iblis demi menggapai
impiannya.
Ketika
Ia ingin menghentikan penelitIannya Iabertanya Apa waktu yang sudah ku habiskan selama ini sia-sia ? Apa semua usaha
dan tenaga ku tidak ada hasilnya? Tapi pada akhirnya Ia berpikir. Semua itu akan benar-benar sia-sia
justru ketika Ia berhenti. Hal itu membuat sebuah rumor kembali ke masa lalu
pun layak untuk dicoba.
Awalnya
Ia tidak terlalu berharap. Tetapi ketika Iabenar-benar mencobanya semua rumor
itu benar. Iaberhasil kembali ke masa lalu. Tapi dalam aturannya Thomas tidak
bisa meninggalkan toko buku itu. Membuatnya tidak bisa mengubah masa lalu yang
Ia inginkan.
Aturan
mutlak lainnya adalah setiap orang yang kembali ke masa lalu hanya punya waktu
lima menit tiga puluh detik. Dan apapun yang terjadi takdir tetap tidak bisa
berubah. Kebanyakan orang ketika mendengar itu akan membatalkan rencana mereka.
Terlebih untuk kembali ke masa lalu mereka harus menunggu hingga jarum jam
menunjuk pukul tiga tiga puluh.
Alasan
itu juga yang membuat rumor ini perlahan pudar. Karena aturan yang terlalu
rumit. Terlebih pada akhirnya apapun yang dilakukan saat kembali ke masa lalu,
takdir tetaplah tak bisa diubah. Saat kembali ke masa lalu untuk mencoba
mengubah takdir tentang penelitIannya, Thomas tidak tahu harus berbuat apa. Ia
tidak bisa ke luar dari toko. Dan apapun yang Ialakukan tidak mengubah
takdirnya.
Tapi
kali ini berbeda. Dimas adiknya pernah ke sini. Itu memberinya alasan kuat
untuk kembali ke masa lalu. Walau tidak bisa mengubah takdir, paling tidak
untuk terakhir kalinya Iabisa bicara dengan adiknya.
“Jadi itu alasan kau ke sini ?” ucap Liren
yang baru kembali dari dapur.”Ha? Kau tahu kan adikmu tidak akan bisa kembali?”
Apapun
yang dilakukan saat kembali ke masa lalu. Tidak ada yang bisa mengubah masa
depan. Thomas paham akan hal itu, Ia tidak bisa membuat adiknya kembali hidup.
Kali ini Iahanya ingin bicara dengan adiknya, untuk yang terakhir kalinya.
“Ya,
aku tahu,” jawabnya dengan singkat,” bisa kah sekali lagi kalian membantuku?”
“Kembalikan aku ke hari itu!” .
“Tolong,”
Suasana
dalam toko lenggang. Jam dinding menunjukkan pukul dua tepat. Dan si gadis
bergaun putih masih saja asyik membaca bukunya.
“Kali
ini agak beresiko. Kalau kau terbawa suasana dan lupa dengan batasan waktunya
kau bisa terjebak di ketidakadaan,” ucap Liren.”Apa kau yakin ingin kembali ke
masa lalu?”
“Ya.
Aku yakin,”
“Kau
masih ingat peraturannya kan?” tanya Liren.
“Ya,
aku masih ingat. Aku perlu membaca buku yang dibaca gadis itu kan?”
Thomas
berjalan menuju si gadis bergaun putih. Tinggi mereka sepantar. Ia menatap
gadis itu.
“Apa
aku bisa ambil buku itu secara paksa?” tanya Thomas.
“Ha,
gak kau harus tunggu sampai jam menunjuk pukul tiga tiga puluh,” balas Liren. ”Jika kau ambil secara paksa, kau akan dibawa ke
alam lain. Dan keberadaan mu seolah tak pernah ada di Dunia ini,”
“Kau
ingat aturannya kan? Kalau kau ke masa lalu kau cuma punya waktu lima setengah
menit. Kau harus kembali sebelum waktu habis, atau kau terjebak di sana selamanya,” Ding memperingati Thomas.
Ding
berjalan ke ruangan di belakang kasir. Tak lama Ia kembali sambil membawa
sebuah jam genggam,” bawa ini, berikan itu padaku saat tiba di masa lalu. Ku
ingatkan kau kalau waktunya mau habis”.
Orang
yang kembali ke masa lalu untuk bertemu orang yang sudah meninggal cenderung
terbawa suasana. Membuat mereka lalai dengan aturan batas waktunya. Itulah yang
membuat tindakan ini sangat beresiko. Thomas menyakukan jam genggam yang
diterimanya. Sekarang dia tinggal menunggu hingga jam dinding menunjuk pukul
tiga tiga puluh. Saat itu Thomas bisa mengambil buku yang dibaca oleh si gadis
bergaun putih. Detik demi detik. Menit demi menit berlalu. Sebentar lagi jam
menunjukkan pukul tiga tiga puluh. Thomas bersiap untuk mengambil buku.
“Ingat
kau cuma punya waktu lima menit tiga puluh detik,”
Liren kembali mengingatkan.
“Ya,
aku tahu,” si gadis bergaun putih sudah menutup buku
bacaannya. kemudian, Ia meletakkannya di
rak buku berdampingan dengan buku-buku lainnya. Lalu gadis bergaun putih
berjalan lurus menuju salah satu sisi tembok. Dan Iamenembusnya seperti tidak
terjadi apa-apa dan menghilang. Thomas yang sedari tadi memperhatikan kini
bergegas untuk mengambil buku yang diletakan gadis itu. Menghiraukan apa yang
sebenarnya terjadi pada gadis itu.
“Ingat,
apapun yang kau lakukan takdir tak bisa berubah,” Liren sekali lagi
mengingatkan Thomas.
Saat
kembali ke masa lalu Thomas hanya bisa berada di dalam toko. Iahanya memiliki
waktu lima menit tiga puluh detik. Dan orang yang Iatemui pun hanya orang-orang
yang pernah mengunjungi tempat ini.
“Apa
enam menit waktu yang cukup untuk bicara dengan orang yang sudah meninggal?”
Thomas kemudian, membuka buku yang baru
Iaambil.
Buku
yang selalu dibaca oleh si gadis bergaun putih itu setiap halamannya tampak
kosong. Tak satu kata tertulis dalam buku itu. Tapi memang begitu cara
kerjanya. Kata-kata dalam buku itu perlahan akan ke luar sesuai masa lalu mana
yang ingin dituju pembacanya.
“Tolong
bawa aku ke hari itu,”
Tiba-tiba
buku itu membuka halamannya sendiri. Lambat laun semakin cepat dan cepat.
Kata-kata yang tak bisa dimengerti mulai ke luar dari buku itu, lantas
mengeLili ngi Thomas dengan cepat. Thomas mulai mendengar suara-suara.
“Ulud anam narok.”
“Aynukub relupop hisam.”
“Relupop igal.”
“Ayas sam.”
Suara-suara
aneh itu kemudian, berhenti. Thomas
melihat sekeliling. Ia melihat Ding yang sedang menjaga toko. Tampaknya Ia
sudah berhasil kembali ke masa lalu. Tapi apakah Ia kembali ke masa yang benar?
Thomas lantas berjalan menuju meja kasir.
“Ding? Apa aku bisa titipkan jam genggam ini
padamu?” tanya Thomas sambil menyodorkan jam genggam itu.
“Ha?
Kau dari masa depan? Untuk apa kau ke masa lalu?”
“Untuk
bicara dengan adikku,” ucap Thomas.
“Memangnya
adikmu akan datang kemari? Bukannya kau benci adikmu?” tanya Ding.
“Tidak.
Hari ini aku akan menemuinya,” Thomas berusaha tertawa tapi tawa itu tak pernah
bisa ke luar dari mulutnya.
Ding
menyipitkan matanya, Ia merasa penasaran. Jika seseorang memberikan jam tangan
itu padanya, maka itu pertanda apa yang Thomas lakukan adalah hal yang
berbahaya. Thomas beranjak ke rak koran untuk memeriksa tanggal. Ia ingin
memastikan apa Ia kembali ke waktu yang tepat atau tidak. Saat Iamengecek rak
koran tiba-tiba terdengar bunyi lonceng. Detak jantungnya berdegup kencang. Ia
akan menemui adiknya yang seharusnya tidak bisa Iatemui lagi. Thomas berusaha
menenangkan dirinya dengan mengambil napas panjang.
Ting-ting-ting…Terdengar
suara lonceng dari pintu masuk. Iabergegas memeriksa siapa tamu yang datang.
Waktu yang Iamiliki hanya lima menit tiga puluh detik. Ia tidak boleh
menyIanyIakan waktu singkat itu.
Mas…? Suara itu tidak asing di kupingnya. Thomas segera
membalikan badannya dan melihat sosok yang wajahnya Iakenali. Ia tampak lebih
tinggi dibanding pertemuan terakhir mereka. Hari itu Thomas memilih untuk bersembunyi di kolong meja
kasir. Tapi hari ini Iamemilih untuk menghadapinya. Karena ini kesempatan
terakhir Ia dapat berbicara dengan adiknya.
“Ha-halo,”
Thomas menyapanya dengan canggung. Thomas menatap adiknya dengan seksama.
Iamasih tidak terbiasa berbicara dengan orang yang sudah tidak ada.
“Kenapa
Mas gak pernah balas surat kirimanku?”
“Yah,
agak sibuk di sini.”
Dimas
membalas dengan anggukan.
“Jadi
gimana hasil penelitIannya?”
“Ya
soal empedunya ternyata waktu kantong empedu itu mentranspor air dan ion ya.
Kantong empedu mentranspor ion positif dan negatifnya itu setara. Jadi gak
mengalirkan neto atau ngebuat voltase transpor,” jawab Thomas dengan antusias.
Jarang ada yang bertanya soal itu kepadanya. Bahkan, saat Iamasih aktif meneliti di perguruan
tinggi. Tidak menyangka adiknya akan menanyakan hal itu.
“Wah,
aku gak ngerti. Tapi kelihatannya menarik,” jawab Dimas.”Rasanya ada yang
aneh,” Tambahnya.
“Apa
yang aneh?”
“Kita
udah lama gak bicara langsung kaya gini,”
“Yah,
sudah beberapa tahun,” balas Thomas.
Baginya ini bukan sekedar pembicaraan pertama mereka sejak beberapa tahun. Tapi
juga menjadi yang terakhir.
Thomas
tidak tahan ingin mencoba mengubah takdir kematIan adiknya. Tapi Ia tahu
setelah berkali-kali mencoba takdir tentang penelitIannya Iaselalu gagal.
Karena memang begitu aturannya. Keduanya
saling terdiam, terasa sulit untuk melanjutkan percakapan. Sadar karena
waktunya terbatas Thomas berusaha melontArkan kata-katanya.
“Gimana
keadaanmu di rumah?”
“Lumayan
baik. Aku mulai lebih mengurusi manajemen pabrik dibanding Bapak. Kita mulai
mempekerjakan lebih banyak orang,”
“Yah
itu bagus,” Thomas menganggukan kepalanya.
Kembali
mereka saling diam. Thomas memperhatikan tingkah adiknya. Dimas seolah ingin
mengatakan sesuatu, Ia tampak menoleh ke arah sekitar. Walau begitu Thomas tahu
apa yang ingin dikatakan adiknya. Ia ingin mengajaknya pulang. Memikirkan apa
yang dirasakan Dimas batinnya merasa tercekik. Dimas enggan mengatakannya. Kali
ini pun Ia takut mendapat penolakan dari
kakaknya. Ia takut justru kakaknya akan lebih menjauh darinya. Sambil menggenggam
buku Thomas mendongak ke arah jam. Iamenyadari waktunya terbatas. Kalau ada
yang perlu dikatakan sekarang, maka harus dikatakan sekarang. Biarpun itu
sebuah kebohongan.
“Sepertinya
aku akan pulang,” Dimas kebingungan mendengarnya. Iabelum mengatakan sepatah
kata pun.
“Apa?”
tanya Dimas.
“Ya
aku akan pulang. Ke rumah,” balas
Thomas,” tapi kamu tahu, mungkin aku tidak bisa banyak membantu,”
“Gak
apa-apa. Nanti bisa belajar, Mas kan jenius pasti bisa. Bahkan mungkin lebih
dari aku. Bapak sama Ibu pasti bakal senang,” Kalimat itu seperti
mengisyaratkan Dimas ingin kakaknya menggantikannya. Itu membuat Thomas semakin
yakin adiknya punya mimpi yang ingin Iakejar.
“Aku
ragu soal itu,” jawab Thomas.
“Tentu
saja mereka senang,” Dimas berusaha meyakinkan kakaknya.
“Aku
memimpikan ini sejak lama,” Dimas bergumam sendirian Ia sangat senang.
Rupanya
apa yang selama ini Thomas pikirkan benar. Dimas ingin mendapat kebebasannya. Ia
juga ingin mengejar mimpinya. Namun, karenanya Iaberakhir menjadi pengurus
pabrik gula yang tidak Ia inginkan. Jantung Thomas berdetak tak karuan.
Thomas
tidak tahu apa yang Ia rasakan. Apa Ia merasa bersalah atau merasa benar. Ia
merasa lebih yakin dengan pikirannya selama ini. Tapi kini Ia berusaha lebih
tenang. Ia berusaha untuk lebih ramah di percakapan terakhir dengan adiknya.
“Mimpi
apa?” tanya Thomas.
“Kita
menjalankan pabrik itu bersama,” jawab Dimas dengan singkat.
Thomas
berpikir itu pasti bohong. Bagaimana mungkin ada seseorang yang memimpikan hal
semacam itu. Baginya itu terasa seperti mimpi karangan anak-anak. Tapi ketika
Ia melihat wajah Dimas Ia ragu dengan pernyataannya.
Tidak dia pasti bohong. Dia
tidak mau mewarisi pabrik itu. Tertulis di wajahnya. ‘aku tidak ingin mewarisi
pabrik itu’. Jadi apa impianmu sebenarnya. Apa kamu mau pergi ke Jerman untuk
sekolah seni? Thomas mengatakan semua itu dalam pikirannya.
Namun, ketika Ia melihat wajah adiknya Ia ragu dengan keyakinannya sendiri.
Seolah mengatakan memang dia lah yang paling jahat selama ini.
Ia
tak tahu harus berkata apa sekarang. Apapun yang Ia katakan tak bisa mengubah
masa depan. Ini tetap percakapan terakhir bagi keduanya. Ini terakhir kalinya Ia
dapat melihat dan bicara dengan adiknya. Ada banyak yang ingin Thomas
sampaikan.
“Hei
Thom, kau tinggal punya waktu dua menit,” Ding mulai memperingatkan Thomas.
Jika
Thomas tidak kembali sebelum lima setengah menit maka Ia akan terjebak di sini
selamanya. Keberadaanya akan dia nggap lenyap, dan tidak pernah ada.
Bagaimana ini? Apa sekarang
aku harus menyanggupi ucapan ku untuk pulang. Bodohnya aku mengatakan
kebohongan pada orang yang akan pergi selamanya. Kini aku tak bisa bohong.
Terutama pada adikku yang sekarang masih hidup. Apa yang harus ku lakukan?Thomas
menatap buku yang sedari tadi Ia genggam. Jika Ia kembali meletakkan buku itu
ke dalam rak. Dia akan kembali ke masa depan. Tapi sebelum itu biarlah dia
menghabiskan dua menit terakhir bersama adiknya.
“Kamu
kelihatannya agak aneh? Apa ini sejenis pengaruh budaya kota?” tanya Dimas.
Thomas mendongak mengalihkan fokusnya dari buku yang Ia genggam, matanya
sekarang fokus menatap Dimas.
“Ya,
ini sejenis efek budaya modern,”
“Karena
itu aku akan pulang,” ucap Thomas.”kita
akan menjalankan pabrik itu bersama.”
Walau saat itu terjadi mungkin
kamu sudah tidak ada.
“Nanti
kita bisa buat bisnis keluarga kita sampai ke negeri seberang,”
Tidak ada salahnya aku
berbohong.
“Aku
yakin dimasa tua nanti kita bakal jadi orang kaya raya,”
Jika aku bisa buat adikku
senang. Maka itu gak ada ruginya.
“Gula
keluarga kita bakal jadi gula terbaik.”
Maaf.
“Kamu
sangat aneh hari ini? Atau memang biasanya gitu?”
“Ya
aku memang sangat aneh hari ini,” Thomas menjawab dengan ramah. Matanya mulai
memerah menahan air mata. Thomas kemudian, berjalan menuju rak buku. Ia
menggenggam buku itu. Sambil menahan tangis Ia kembali menghadap ke melihat
adiknya untuk terakhir kalinya.
“Oh
ya harga asli buku Siti Nurbaya itu cuma tiga Gulden”. Setidaknya
biar ku coba mengubah satu hal. Dimas menatap kebingungan. Apa
yang sedang dibicarakan kakaknya. Tapi Ia juga senang kakaknya akan segera
pulang ke rumah. Perlahan Thomas kemudian, meletakan buku itu kembali ke rak
tempat Ia mengambil buku itu sebelumnya.
Wuush
Saat
Ia kembali melihat ke belakang Ia disambut Ding dan Liren. Ia menatap jam dinding, itu menunjukan pukul tiga tiga
puluh. Satu menit pun tak terlewat. kemudian, Thomas menatap ke posisi adiknya
berdiri sebelumnya, Ia sudah tidak ada di sana. Sekarang Ia sudah kembali ke
masa depan.
4
Juli 1923
Ting-ting-ting…
Seorang
tukang surat datang ke toko hari itu. Ia berjalan menemui Ding dan Liren yang
sedang berjaga di meja kasir.
“Permisi,
ada surat dan paket,”
“Oh
ya terima kasih,” Liren menerima surat dan paket itu.
“Ah,
ya sama-sama,” ucapnya. “Tolong
tanda tangan di sini!” Tukang pos itu menyodorkan
sebuah kertas dan pulpen untuk tanda tangan. Liren kemudian, menandatangani surat itu, dan
memberikannya kembali ke si tukang pos.
Setelah
mengecek hasil tanda tangannya. Tukang pos itu kemudian, segera pergi. Ia sangat sibuk karena
harus pergi ke banyak tempat.
“Surat
dari siapa itu?” tanya Ding.
“Ya
biar ku lihat,” Liren melihat amplop surat itu.”Surat ini dikirim Thomas.”
“Ha,
udah lama ya sejak dia pulang ke kampung halamannya,” ucap Ding.
Liren
membuka isi amplop itu. Ia kemudian,
membacakan isi suratnya.
21 Juni 1923
Untuk Ding, Liren.
Sudah
ampir satu bulan aku berada di sini.
Rasanya masih agak canggung dengan keluarga ku. Aku mulai kembali bicara dengan
orangtua ku. Walau tidak sering, tapi itu sebuah perkembangan. Aku mulai
belajar mengurusi pabrik ini. Saat di rumah aku kembali teringat bagaimana aku
dan adikku tumbuh bersama. Kami sering berkelahi tapi itu masa yang
menyenangkan, Ya aku cuma mau menyampaikan terima kasih. Ah ya tolong dibuka
juga isi paketnya.
Thomas.
“Ha,
baik kita lihat isi paketnya apa,” Liren mengambil paket itu,
kemudian
membuka bungkusannya.
“Wah
isinya gula. Aku baru tahu kau bisa kirimkan makanan,” ucap Ding mengamati.
“Kelihatannya
ini gula buatan keluarganya,” Liren mengangkat kantong berisi gula itu.
Rumor-rumor tentang toko ini bisa membawa
pengunjungnya ke masa lalu mungkin benar, tapi orang-orang bertanya-tanya. ”Apa artinya kembali ke masa lalu jika tidak
bisa mengubah masa depan?”. Tapi
kedua bersaudara itu tahu. Setiap orang yang berkunjung kemari dan kembali ke
masa lalu mungkin tidak bisa mengubah takdir mereka. Karena yang akan berubah
adalah diri mereka.
Setiap
orang pasti mempunyai mimpi, untuk beberapa orang mimpi mereka begitu ambisius.
Dan lainya mungkin akan memimpikan hal yang sederhana, seperti kehidupan yang
damai dan sejahtera bersama orang-orang terkasih. Tapi bagi orang yang ambisius
mereka sering kali lupa kehidupan bukan sekedar mengejar cita-cita. Dan ketika mereka
menyadarinya mereka mengalami krisis. Di momen krisis itu lah kehidupan mereka
akan berubah.
Apa
mereka akan jatuh seperti halnya Uni Soviet di tahun 1991 yang kukuh dengan
kebijakannya. Atau bangkit,
seperti tetangganya Finlandia yang sudah luluh lantah akibat perang Dunia
ke-dua.