Oleh : Dadang A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan Kabupaten Bandung Barat)
Saat pelaksanaan kelulusan jenjang SMA/SMK ditengarai dengan gerombolan siswa lulusan yang merayakan kelulusan mereka dengan mencorat-coret pakaian dan melakukan tindakan yang kurang baik dari sisi norma. Mereka merayakan kelulusan dengan lepas kontrol sehingga kebablasan pada perilaku yang kurang normatif. Efek yang terjadi adalah kegeraman dan kecaman akan perilaku mereka yang tidak memperhatikan situasi dan kondisi yang saat ini sedang terjadi.
Begitu banyak kalangan pendidik dan masyarakat yang menyayangkan perilaku para lulusan tersebut. Mereka masih bisa melakukan kegiatan yang dianggap sudah menyalahi norma kehidupan, terutama norma kehidupan dalam ekosistem pendidikan. Perilaku demikian selalu mendapat cibiran dan kecaman dari berbagai pihak. Cibiran dan kecaman tersebut pada akhirnya mengarah pada sekolah sebagai institusi yang selama tiga tahun ke belakang men-drill mereka dengan berbagai pemahaman tentang pendidikan, termasuk di dalamnya norma dalam berkehidupan. Bahkan cibiran tersebut menohok pula kepada para guru sebagai bagian dari ekosistem sekolah yang melakukan penguatan pemahaman terkait dengan berbagai norma dalam berkehidupan.
Setiap tahun sekolah selalu meluluskan siswa yang telah selesai melaksanakan pembelajaran selama tiga tahun. Namun, setiap tahun pula, siswa tidak terkendalilan untuk merayakan kelulusan mereka dengan cara-cara yang tidak normatif. Dalam hal ini, siswa yang melakukan perbuatan demikian tidak semuanya karena sifatnya hanya kasuistis. Namun, melihat faktanya, kejadian tersebut berulang pada setiap tahun. Perilaku tersebut seakan menjadi siklus yang harus dikondisikan terealisasi oleh beberapa gelintir siswa yang telah dinyatakan lulus dari sekolah.
Pendidikan adalah satu ranah terpenting dalam pembangunan yang dapat berperan serta dalam mewarnai sebuah bangsa. Hasil pendidikan memberi kontribusi signifikan serta merefleksikan arah perjalanan sebuah bangsa. Fenomena yang diperlihatkan oleh lulusan dari sekolah dimungkinkan merupakan refleksi dari masa depan bangsa. Sehingga, ada kehawatiran dari setiap pelaksana dan pemerhati pendidikan bahwa fenomena kelulusan yang dilakukan dengan cara hura-hura oleh setiap siswa merupakan refleksi dari masa depan bangsa. Kekhawatian terutama dialamatkan pada kekuatan bangsa ini yang harus diisi oleh generasi penerus dengan sikap dan perilaku demikian.
Akan di bawa ke mana sebuah bangsa bisa dilihat dari penerapan kebijakan pendidikan oleh pemerintahny? Kekuatan sebuah bangsa dapat terukur oleh berbagai sektor kehidupan, di antaranya melalui penerapan kebijakan pada ranah pendidikan.
Bangsa dengan tingkat pengelolaan pendidikan yang berkualitas akan menjadi bangsa yang diperhitungkan dalam kancah kehidupan dunia. Karena itu, selama beberapa tahun belakangan ini, nuansa pendidikan kita diwarnai dengan penerapan kebijakan penguatan pendidikan karakter. Langkah ini dilakukan dalam upaya mendorong seluruh lulusan agar dapat memiliki karakter positif sehingga dapat dijadikan modal oleh setiap lulusan untuk mengisi relung-relung kehidupan masa depan yang semakin berat.
Tantangan kehidupan masa depan yang akan diisi oleh generasi muda saat ini diperkirakan akan semakin berat karena diwarnai dengan persiangan ketat di antara bangsa di dunia ini. Karena itu, pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam penerapan kebijakan pendidikan, menyusun kebijakan pendidikan yang di antaranya mengarah pada penguatan karakter seluruh siswa.
Mencermati kenyataan yang diperlihatkan segelintir siswa SMA yang telah dinyatakan lulus tersebut, seluruh stakeholder pendidikan perlu melakukan kajian komprehensif terhadap keberlangsungan implementasi penguatan pendidikan karakter. Minimal, pengkajian ulang perlu dilakukan oleh sekolah yang telah meluluskan siswa dengan perilaku demikian.
Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter
Mencermati perkembangan pendidikan saat ini, kita melihat begitu banyak fenomena yang mengarah pada perubahan kebijakan dalam upaya menyempurnakan konsep yang telah ada. Fenomena tersebut tentunya memiliki sasaran yang sama yaitu sebagai sarana dalam meningkatkan performa out put sehingga menjadi out come yang memiliki kebermanfatan dalam lingkungan kehidupan mereka. Lebih jauh lagi, harapan dari perubahan kebijakan tersebut mengarah pula pada upaya untuk melahirkan performa sumber daya manusia Indonesia yang dapat di andalkan dalam kancah kehidupan global.
Kebijakan yang saat ini cukup strategis dilakukan oleh pemerintah melalui Kemendikbud adalah penerapan pendidikan karakter untuk seluruh stakeholder pada setiap sekolah. Tampilan kualitas sumber daya manusia dengan warna penguatan karakter, sebenarnya jauh-jauh hari sudah tersurat dalam regulasi pendidikan.
Tujuan atau fungsi pendidikan secara idealis tersurat pada pasal Undang-undang Sisdiknas, yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan yang dikemukakan undang-undang tersebut begitu ideal dan masih terasa abstrak, sehingga membutuhkan kajian lebih lanjut agar dapat terimplementasikan dengan mudah oleh para pelaksana di tataran teknis.
Beberapa puluh tahun yang lalu, Santoso S. Hamijoyo pernah mengemukakan karakter yang diharapkan dapat terlahir dari implementasi proses pendidikan. Pakar pendidikan ini mengungkapkan tentang kualitas sumber daya manusia yang sebenarnya diharapkan lahir dari sebuah sistem pendidikan. Menurut pakar pendidikan ini terdapat lima sifat yang merupakan karakteristik adanya kualitas pada diri manusia yang telah mengenyam pendidikan.
Pertama, termasuk terampil, sopan santun, teliti, dan hemat. Kedua, jujur, tidak menipu dan memeras. Jujur terhadap diri sendiri, rela mengakui kesalahan, jujur terhadap orang lain, dan tak perlu disumpah atau diawasi terus-menerus. Ketiga, memiliki disiplin pribadi, keteraturan asli pribadi, dan tak perlu diatur oleh orang lain. Keempat, tahu dan sadar atas kemampuan dan batas kemampuan pribadi, tidak berjanji melewati batas kemampuan pribadi. Dia bekerja atas dasar the right man in the right place. Kelima, berdasarkan sifat-sifat tersebut maka tumbuh rasa harga diri, rasa kehormatan diri, bukan berdasarkan kedudukan dalam masyarakat, kekayaan, atau jabatan.
Penguatan pendidikan karakter akan dapat terlaksanakan dengan baik ketika sekolah menyusun perencanaan program dengan sistematis dan terukur. Perencanaan program dibutuhkan sebagai acuan yang akan digunakan dalam implementasinya. Untuk itu, setiap sekolah harus memulai program dengan melakukan asesment awal. Salah satu kegiatan asesment awal diimplementasikan oleh sekolah dengan melaksanakan pemilihan nilai utama yang akan menjadi fokus dalam pengembangan pembentukan dan penguatan karakter di lingkungan mereka.
Pemilihan nilai utama ini diambil setelah sebelumnya melewati proses diskusi, musyawah, dan dialog dengan seluruh stakeholder sekolah, di antaranya kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, komite sekolah, dan siswa. Bersamaan dengan itu, perlu pula dirumuskan sejumlah nilai pendukungan yang dipilih dan relevan dengan situasi dan kondisi sekolah. Selanjutnya, dilakukan pendeskripsian bagaimana jalinan antara nilai utama yang dipilih dengan nilai pendukung. Seluruh stakeholder sekolah menyepakati nilai utama yang menjadi prioritas serta nilai pendukung sehingga dapat dituangkan dalam visi dan misi sekolah.
Nilai utama yang harus menjadi acuan setiap sekolah dalam mengimplementasikan penguatan karakter, yaitu: religioitas, nasionalisme, kemandirian, gotong royong, dan integritas dalam setiap aspek kehidupan. Kelima nilai utama tersebut yang harus menjadi bahan kajian seluruh stakeholder sekolah dan dihubungkan dengan karaktersitik sekolah, sehingga menjadi kebijakan yang diambil sekolah.
Penetapan kebijakan terkait nilai utama penguatan pendidikan karakter tersebut harus mewarnai berbagai program yang diimplementasikan sekolah. Dengan langkah ini, diharapkan dapat melahirkan siswa yang memiliki karakter baik sebagai bekal mereka dalam berkehidupan. Bahkan, diharapkan dapat membendung terjadinya niatan dari setiap lulusan sekolah untuk melakukan aktivitas tidak normatif seperti yang diperlihatkan oleh siswa dalam merayakan kelulusan mereka.
Paparan di atas secara tersurat mengungkapkan bahwa untuk dapat mencegah berulangnya perilaku siswa yang merayakan kelulusan, sekolah perlu melakukan pengkajian terhadap program yang diimplementasikannya, terutama implementasi penguatan pendidikan karakter. Dengan demikian, sekolah dimungkinkan dapat menekan keberlangsungan aktivitas siswa pasca kelulusan menjadi siklus yang berulang setiap tahunnya.
Simpulan
Alangkah baiknya bila implementasi pendidikan pada setiap sekolah menempatkan program penguatan pendidikan karakter sebagai core kebijakannya. Dengan demikian, penguatan terhadap penumbuhkembangan karakter positif dari setiap siswa dan lulusannya akan dapat terealisasi sehingga benar-benar mengkristal pada subyek pendidikan tersebut. Langkah ini perlu dilakukan dalam upaya menekan terjadinya siklus aktivitas negatif seperti yang diperlihatkan oleh para siswanya, terutama yang baru-baru ini diperlihatkan oleh para lulusan dari suatu sekolah.
Untuk mengimplementasikan penumbuhkembangan karakter tersebut tidak semata menjadi tanggung jawab warga sekolah tetapi harus mendapat dukungan optimal dari ekosistem sekolah lainnya, dalam hal ini orang tua siswa dan masyarakat. Dengan sinergitas seluruh ekosistem sekolah, diharapkan langkah untuk mentreatment siswa dapat mencapai hasil baik dan optimal, sehingga para lulusan dapat diharapkan menjadi sosok yang bisa survive dalam kehidupan masa depan yang persaingannya semakin ketat.
Realisasi dari seluruh pemikiran tersebut dikembalikan pada pihak kebijaka sekolah sebagai ujung tombak keberhasilan pengelolaan pendidikan.****DasARSS.