Hari-hari ini jagat informasi digital
tengah diramaikan dengan fenomena pemberian ancaman dan penghinaan terhadap
Sevi Ananda, istri Walikota Solo. Penghinaan dilakukan melalui sebuah akun
twitter. Sebuah statement yang termasuk berani karena selain istri walikota,
objek hinaan merupakan menantu Presiden. Statement seseorang yang berani karena
secara tidak langsung menyentuh pula sosok dalam pusaran kekuasaan di negeri ini.
Ungkapan yang garang di media sosial tersebut memaksa pihak tertentu—termasuk
kepolisian atau aparat lainnya—untuk turun tangan. Akankah kegarangan ungkapkan
dalam kanal twitter tersebut sepertinya kegarangan dari beberapa pihak selama
ini? Sosok yang garang di media sosial, ternyata menjadi sosok yang tidak punya
powerfull dalam kenyataannya. Kegarangan yang diperlihatkan laksana seekor
harimau dalam kanal media sosial, ternyata hanyalah seekor kucing dalam
kenyataannya.
Intensitas masyarakat dalam memanfaatkan
perangkat digital untuk berkomunikasi melalui kanal media sosial dapat mengarah
pada dua ranah yang paradoks. Intensitas komunkasi melalui perangkat digital
telah memberi kemudahan dan keleluasaan pada sebagian besar masyarakat
penggunanya untuk dapat berkomunikasi. Mereka dapat berkomunikasi di manapun
dan kapanpun dengan tidak tersekat oleh ruang dan waktu.
Sejalan dengan kemudahan tersebut,
ternyata pemanfaatan perangkat digital melahirkan resiko negatif terhadap
masyarakat penggunanya. Masuknya anasir kurang baik bagi perkembangan kehidupan
masyarakat menjadi bagian yang tidak bisa terlakkan. Berbagai konten negatif,
semisal ujaran kebencian, fitnah, radikalisme, perjudian, penipuan, pornogafi,
informasi hoax, dan lainnya, telah begitu mudah dapat tersebar pada
berbagai kanal media sosial. Instagram, whatapps, twitter, facebook, michat,
youtube, dan media sosial lainnya menjadi media ampuh untuk menyebarkan
berbagai konten tersebut.
Mengacu pada laporan yang dirilis Digital
Civil Index (DCI) beberapa waktu yang lalu mengungkapkan hasil survei
mereka bahwa tingkat kesopanan warganet Indonesia menempati urutan paling bawah
pada tingkat negara-negara di Asia Tenggara. Laporan DCI yang mengukur
tingkat kesopanan masyarakat pada berbagai negara, termasuk masyarakat
Indonesia dalam berselancar pada kanal media sosial tersebut menempatkan
masyarakat Indonesia pada angka 76—semakin besar angka, semakin buruk tingkat
kesopanan.
Hasil survei DCI menjadi
indikator bahwa perubahan sikap masyarakat dalam memanfaatkan kanal media
sosial melalui perangkat digital sudah sepatutnya mendapat perhatian dari para
pemangku kepentingan. Dengan tidak menutup mata, berbagai konten negatif telah
diproduksi dan mewarnai kanal media sosial. Berbagai konten negatif berupa berita
bohong, ujaran kebencian, radikalisme, perjudian, penipuan, pornogafi, hoax,
dan lainnya sangat banyak bertebaran, sehingga dengan sangat mudah dikonsumsi
oleh masyarakat. Bertebarannya konten negatif tersebut tentu sangat
mengkhawatirkan banyak pihak karena dimungkinkan akan manjadi candu yang dapat
melahirkan disharmonis masyarakat dalam ekosistem kehidupan ini.
Untuk menyikapinya, salah satu langkah
yang sepatutnya dilakukan adalah memasivkan edukasi dalam pemanfaatan kanal
media sosial terhadap seluruh lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, dibutuhkan
keterlibatan para pemangku kepentingan yang memiliki kesadaran akan sangat
berbahayanya masyarakat ketika dibiarkan dicekoki terus-menerus oleh berbagai
konten negatif.
Upaya yang dapat dilakukan di
antaranya secara terus menerus mengampayekan empat pilar literasi digital yang
digagas dan dikembangkan oleh Kemenkominfo. Sejak beberapa tahun ke belakang.
kementerian ini telah mengeluarkan program peta jalan literasi digital
2021-2024. Peta jalan tersebut memuat empat pilar yang harus dimiliki
masyarakat pada era digital. Keempat pilar yang harus mengkristal pada
masyarakat tersebut adalah digital skill, digital ethic, digital safety, dan
digital culture.
Salah satu harapan terbangunnya
kompetensi literasi digital dengan empat pilar sebagai basisnya adalah lahirnya
masyarakat yang mengedepankan kesantunan dalam berkomunkasi melalui kanal media
sosial. Kampanye akan hal itu harus terus dilakukan oleh berbagai pihak
sehingga harapan lahirnya masyarakat yang santun saat berkomunikasi dalam kanal
media sosial dapat dengan cepat terwujud.
Dengan
kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan, tantangan yang dihadapi
dimungkinkan akan melahirkan buah yang manis. Tentunya, kenyataan seperti yang
ditimpakan pada menantu Presiden dapat berkurang, sehingga kegaduhan dalam
kanal media sosial tidak akan banyak menguras energi berbagai pihak.
Bahkan lebih
jauh lagi, rilis hasil survei seperti yang diungkapkan DCI akan lebih
baik, sehingga tidak lagi menohok dan menampar lagi. DasARSS.