Notification

×

Arsip Blog

HARIMAU ATAU KUCING

Minggu, 04 Juni 2023 | 06.32 WIB Last Updated 2023-06-18T15:22:14Z

 


Oleh: Dadang A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)


Hari-hari ini jagat informasi digital tengah diramaikan dengan fenomena pemberian ancaman dan penghinaan terhadap Sevi Ananda, istri Walikota Solo. Penghinaan dilakukan melalui sebuah akun twitter. Sebuah statement yang termasuk berani karena selain istri walikota, objek hinaan merupakan menantu Presiden. Statement seseorang yang berani karena secara tidak langsung menyentuh pula sosok dalam pusaran kekuasaan di negeri ini. Ungkapan yang garang di media sosial tersebut memaksa pihak tertentu—termasuk kepolisian atau aparat lainnya—untuk turun tangan. Akankah kegarangan ungkapkan dalam kanal twitter tersebut sepertinya kegarangan dari beberapa pihak selama ini? Sosok yang garang di media sosial, ternyata menjadi sosok yang tidak punya powerfull dalam kenyataannya. Kegarangan yang diperlihatkan laksana seekor harimau dalam kanal media sosial, ternyata hanyalah seekor kucing dalam kenyataannya.

Intensitas masyarakat dalam memanfaatkan perangkat digital untuk berkomunikasi melalui kanal media sosial dapat mengarah pada dua ranah yang paradoks. Intensitas komunkasi melalui perangkat digital telah memberi kemudahan dan keleluasaan pada sebagian besar masyarakat penggunanya untuk dapat berkomunikasi. Mereka dapat berkomunikasi di manapun dan kapanpun dengan tidak tersekat oleh ruang dan waktu.

Sejalan dengan kemudahan tersebut, ternyata pemanfaatan perangkat digital melahirkan resiko negatif terhadap masyarakat penggunanya. Masuknya anasir kurang baik bagi perkembangan kehidupan masyarakat menjadi bagian yang tidak bisa terlakkan. Berbagai konten negatif, semisal ujaran kebencian, fitnah, radikalisme, perjudian, penipuan, pornogafi, informasi hoax, dan lainnya, telah begitu mudah dapat tersebar pada berbagai kanal media sosial. Instagram, whatapps, twitter, facebook, michat, youtube, dan media sosial lainnya menjadi media ampuh untuk menyebarkan berbagai konten tersebut.

Mengacu pada laporan yang dirilis Digital Civil Index (DCI) beberapa waktu yang lalu mengungkapkan hasil survei mereka bahwa tingkat kesopanan warganet Indonesia menempati urutan paling bawah pada tingkat negara-negara di Asia Tenggara. Laporan DCI yang mengukur tingkat kesopanan masyarakat pada berbagai negara, termasuk masyarakat Indonesia dalam berselancar pada kanal media sosial tersebut menempatkan masyarakat Indonesia pada angka 76—semakin besar angka, semakin buruk tingkat kesopanan.

Hasil survei DCI menjadi indikator bahwa perubahan sikap masyarakat dalam memanfaatkan kanal media sosial melalui perangkat digital sudah sepatutnya mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan. Dengan tidak menutup mata, berbagai konten negatif telah diproduksi dan mewarnai kanal media sosial. Berbagai konten negatif berupa berita bohong, ujaran kebencian, radikalisme, perjudian, penipuan, pornogafi, hoax, dan lainnya sangat banyak bertebaran, sehingga dengan sangat mudah dikonsumsi oleh masyarakat. Bertebarannya konten negatif tersebut tentu sangat mengkhawatirkan banyak pihak karena dimungkinkan akan manjadi candu yang dapat melahirkan disharmonis masyarakat dalam ekosistem kehidupan ini.

Untuk menyikapinya, salah satu langkah yang sepatutnya dilakukan adalah memasivkan edukasi dalam pemanfaatan kanal media sosial terhadap seluruh lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, dibutuhkan keterlibatan para pemangku kepentingan yang memiliki kesadaran akan sangat berbahayanya masyarakat ketika dibiarkan dicekoki terus-menerus oleh berbagai konten negatif.

Upaya yang dapat dilakukan di antaranya secara terus menerus mengampayekan empat pilar literasi digital yang digagas dan dikembangkan oleh Kemenkominfo. Sejak beberapa tahun ke belakang. kementerian ini telah mengeluarkan program peta jalan literasi digital 2021-2024. Peta jalan tersebut memuat empat pilar yang harus dimiliki masyarakat pada era digital. Keempat pilar yang harus mengkristal pada masyarakat tersebut adalah digital skill, digital ethic, digital safety, dan digital culture.

Salah satu harapan terbangunnya kompetensi literasi digital dengan empat pilar sebagai basisnya adalah lahirnya masyarakat yang mengedepankan kesantunan dalam berkomunkasi melalui kanal media sosial. Kampanye akan hal itu harus terus dilakukan oleh berbagai pihak sehingga harapan lahirnya masyarakat yang santun saat berkomunikasi dalam kanal media sosial dapat dengan cepat terwujud.

Dengan kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan, tantangan yang dihadapi dimungkinkan akan melahirkan buah yang manis. Tentunya, kenyataan seperti yang ditimpakan pada menantu Presiden dapat berkurang, sehingga kegaduhan dalam kanal media sosial tidak akan banyak menguras energi berbagai pihak.

Bahkan lebih jauh lagi, rilis hasil survei seperti yang diungkapkan DCI akan lebih baik, sehingga tidak lagi menohok dan menampar lagi. DasARSS.






×
               
         
close