Oleh: Dadang A. Sapardan
(Camat
Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Dalam beberapa minggu ini, pada
berbagai media ramai diberitakan tentang seorang anak sekolah jenjang SMA yang
marah-marah karena tidak terima dibelikan motor matic oleh ayahnya. Padahal,
keinginannya dibelikan motor jenis trail. Dalam tayangan, diperlihatkan
bagaimana Sang anak merusak motor matic yang dihadiahkan Sang ayah untuk
anaknya. Setelah ditelisik, ternyata tayangan itu bukanlah kejadian sebenarnya.
Menurut pengakuan pembuatnya, tayangan itu merupakan produk film pendek yang
disiapkan oleh pemiliki showroom motor sebagai bagian dari promosinya. Fenomena
menambah daftar panjang orang-orang yang pansos (panjat sosial) memalui kanal
media sosial. Sebelumnya, masih dalam kanal media sosial diungkapkan seorang
siswa yang hampir pingsan karena berjalan sejauh belasan kilo meter dari
sekolah menuju rumah. Setelah ditelusuri, ternyata merupakan tayangan bohong
pula.
Kanal media
sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat
kekinian. Dinamika kehidupan keseharian masyarakat sudah tidak bisa terlepas
dari pergumulan dengan berbagai kanal media sosial—instagram, whatapps,
twitter, tiktok, michat, facebook, dan media sosial lainnya. Kanal media
sosial telah menjadi sarana efektif dan efisien bagi setiap orang untuk
berkomunikasi dan berburu informasi. Pergumulan mereka dalam kanal media sosial
telah menghiasi hari-hari yang dijalani.
Pergumulan
mereka melahirkan keberagaman asupan informasi dari berbagai sumber dengan heterogenitas
kadar faktual, aktual, dan orisinalitasnya. Karena asupan informasi yang
diperoleh tanpa batasan yang jelas, masyarakat pengonsumsinya harus mampu meng-assessment
setiap masukan informasi yang singgah. Berbagai informasi dengan nuansa positif
dan negatif sangat banyak berseliweran pada kanal media sosial.
Layaknya
makanan siap saji, masyarakat diberi pilihan untuk mengonsumsinya. Untuk
menetapkan pilihan tersebut, masyarakat harus mampu meng-assessment-nya.
Diperlukan kepiawaian masyarakat dalam meng-assessment sehingga
informasi yang diendapkan adalah informasi positif, bukanlah informasi negatif—ujaran
kebencian, fitnah, radikalisme, perjudian, penipuan, pornogafi, informasi hoax,
dan lainnya.
Pada sisi lain,
kanal media sosial telah menjadi arena yang cukup efektif bagi setiap orang
untuk memuaskan syahwatnya ke-manusia-annya. Salah satu yang dilakukan adalah
memuaskan syahwat keterkenalan. Kanal ini telah menjadi sarana untuk melakukan
pansos (panjat sosial) dari segelintir orang. Pansos yang menjadi refleksi
peng-eksis-an diri di tengah kehidupan masyarakat.
Keinginan
setiap orang untuk melakukan pansos, merupakan upaya yang sah-sah saja
dilakukan. Namun cara yang ditempuh harus dilandasi oleh kepemilikan dasar yang
jelas dan layak dijadikan pijakan. Kenyataan telah memperlihatkan bahwa
cara-cara yang dilakukan segelintir orang sangatlah tidak etis, di luar nalar
normal. Pansos yang dilakukannya tanpa dasar yang jelas sehingga yang terjadi
bukanlah lahirnya kekaguman dari masyarakat, melainkan nyinyiran dan cemoohan
semata. Bahkan lebih luas lagi, upaya pansos yang dilakukan berdampak pada
kerugian bagi orang lain.
Sesuai dengan
fitrah yang dimilikinya, setiap manusia diberi kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Fitrah yang paradoks tersebut akan selalu ada pada setiap
manusia. Tidak sedikit manusia yang lebih cenderung untuk suntuk bergumul dalam
kepemilikan kekurangan, sehingga mereka lupa akan kepemilikan kelebihannya.
Kesuntukan akan kepemilikan kekurangan akan berdampak pada ketidakpercayaan
diri dalam kehidupan. Kesadaran untuk mengoptimalkan kepemilikan kelebihan
inilah yang harus diangkat sehingga menjadi potensi yang dapat dinikmati dan
dimanfaatkan oleh orang banyak.
Berkait dengan
kepemilikan kelebihan, ketika hal itu diasah dengan baik atau dikelola dengan
optimal akan terbentuk menjadi sebuah kompetensi diri yang sangat bermanfaat
bagi dirinya, maupun orang lain. Selanjutnya, kepemilikan kompetensi tersebut
harus diupayakan didorong menjadi branding tersendiri, sehingga branding
diri tersebut akan melekat kuat.
Kelebihan yang
terbentuk menjadi branding diri, merupakan kompetensi diri yang tidak
sepatutnya disembunyikan tetapi harus dimaklumatkan kepada banyak orang.
Melalui pemaklumatan ini setiap orang akan mengetahui dan memanfaatkan
kompetensi yang dimilikinya. Melalui pemaklumatan setiap orang lain akan tahu
lebih banyak dan lebih dalam tentang kompetensi yang dimiliki. Kalau mau,
pemaklumatan branding diri inilah yang dapat dijadikan pijakan dalam
melakukan pansos.
Alhasil, pansos
yang dilakukan setiap orang pada berbagai kanal media sosial harus didasari
kepemilikan kompetensi sebagai pijakannya, bukan pansos yang didasari pemaksaan
diri, apalagi yang didasari kekurangan orang lain. DasARSS.