Oleh: Dadang
A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Beberapa waktu lalu sempat
membaca edaran yang ditujukan kepada berbagai pihak untuk melakukan mitigasi
bencana. Edaran demikian rutin disampaikan menjelang masuknya pada musim
penghujan. Berbagai antisipasi dari berbagai pihak dilakukan untuk melakukan
persiapan, sehingga bencana alam yang diakibatkan kerapnya intensitas hujan
tidak berdampak pada lahirnya bencana yang menelan korban harta benda, bahkan
manusia. Berbagai upaya dihimbau untuk dilakukan oleh masyarakat di bawah
komando unsur pemerintahan, sehingga masuknya musim pada musim penghujan tidak
mengakibatkan bencana.
Disadari atau tidak, perilaku
manusia dalam melakukan perusakan lingkungan hidup merupakan fenomena yang
berlangsung hingga saat ini. Bagaimana kesemena-menaan menebangi pohon di
lereng-lereng gunung dengan tanpa berpikir akan dampaknya. Fenomena lainnya
diperlihatkan oleh para pengusaha dengan dalih pembangunan dan pengembangan
ekonomi. Mereka berlomba-lomba membangun perumahan atau pabrik pada sawah atau lereng-lereng
gunung yang selama beberapa tahun kondisinya cukup rimbun dengan deretan pohon
keras penahan air. Mereka merambah pada lokasi yang selama ini tidak terjamah
oleh tangan-tangan manusia.
Gambaran tersebut merupakan
fenomena kecil dari proses perusakan lingkungan oleh tangan manusia yang
berakibat terhadap lahirnya bencana. Rambahan tangan manusia terkait dengan
pemuasan syahwat yang mengakibatkan lahirnya kerusakan lingkungan tidak
dapat dibiarkan begitu saja. Permasalahan tersebut harus dicarikan solusi dan
strategi tepat serta komprehensif sehingga kerusakan lingkungan lebih jauh
dapat segera ditekan.
Keberlangsungan kehidupan
manusia tidak terlepas dari peran budaya dan keyakinan masyarakat, pun dalam
mengelola lingkungan hidup. Bagaimana manusia dapat bertahan dalam mengarungi
kehidupan, salah satunya merupakan buah dari penerapan kearifan lokal (local
wishdom) dalam kehidupan masyarakat. Mereka dapat survive dalam
kehidupan hingga saat ini dengan peran kearifan lokal di dalamnya.
Berkaca pada kenyataan
tentang keberlangsungan kehidupan masyarakat tersebut, penumbuhkembangan budaya
masyarakat yang merupakan kearifan lokal harus mendapat perhatian serius.
Berbagai pemangku kepentingan harus terus melakukan kampanye kepada masyarakat.
Kampanye terutama kepada generasi muda, generasi yang akan menjadi pengusung
peran kearifan lokal dalam denyut nadi kehidupan masa depan.
Kearifan lokal yang
berkembang di masyarakat, tidak bisa dibiarkan terpinggirkan dalam kehidupan,
sehingga sedikit demi sedikit menguap serta hilang dalam kehidupan masa kini
dan masa depan. Kearifan lokal yang sudah lama berkembang dan mendampingi
denyut nadi kehidupan masyarakat harus terus dikembangkan dan dikenalkan kepada
masyarakat, terutama kaum muda. Pengenalan perlu dilakukan secara masiv,
sekalipun terposisikan dalam stigma 'kuno', 'kampungan', atau 'ketinggalan
jaman'.
Salah satu bagian yang
telah mewarnai kehidupan masyarakat adalah kearifan lokal dalam kaitan dengan
pelestarian lingkungan. Berbagai dampak dari perilaku manusia yang sudah
mengesampingkan kearifan lokal sebagai bagian dari kehidupannya sudah terasa.
Dalam bulan-bulan menjelang musim penghujan, berbagai pemangku kepentingan
sudah bersiap-siap mewaspadia datangnya bencana alam, longsor atau banjir.
Kesiap-siagaan ini berlangsung secara periodik dalam upaya melakukan mitigasi
bencana.
Solusi dan antisipasi yang
harus secepatnya dilakukan adalah terbangunnya kebersamaan dari setiap unsur
terkait dalam mencegah keberlangsungan proses kerusakan lingkungan. Salah satu
langkah yang dapat dilakukan di antaranya dengan menggunakan pendekatan
kearifan lokal sebagai bagian dari budaya kehidupan masyarakat. Hal itu bisa
dilakukan karena didasari oleh asumsi bahwa keberadaannya telah menjadi pranata
kehidupan masyarakat yang menopang keberlangsungan kehidupan mereka hingga saat
ini.
Kearifan lokal merupakan
warisan budaya yang memiliki nilai luhur dan bermanfaat bagi keberlangsungan
kehidupan. Kearifan lokal inilah yang harus digali dan ditumbuhkembangkan
kembali pada setiap masyarakat, termasuk generasi muda. Melalui upaya ini,
mereka dimungkinkan memiliki kebanggaan dengan kepemilikan kearifan lokal yang
bernilai positif.
Kalau dilakukan penggalian
kembali, masyarakat kita memiliki begitu banyak kearifan lokal yang terkait
dengan upaya pelestarian lingkungan, di antaranya filosifi menjaga lingkungan
dan gerakan gotong royong. Inilah yang harus dijadikan warisan bermakna bagi masyarakat
sehingga bisa dijadikan pegangan dan pranata dalam kehidupan mereka pada masa
kini dan masa depan.
Dapatkan Buku Berkualitas dari penulis Dadang A. Sapardan dengan menghubungi Redaktur Ruang Berita.
Dalam kaitan dengan
filosofi menjaga lingkungan, suku Baduy yang menjadi representasi dari suku
Sunda, masih mempertahankan pranata kehidupan tradisional. Wilayah yang didiami
mereka, jarang sekali didera oleh bencana alam yang diakibatkan oleh kerusakan
lingkungan. Kondisi demikian dilatarbelakangi oleh kuatnya masyarakat Baduy
dalam memegang teguh pranata kehidupan yang berkenaan dengan pelestarian
lingkungan. Dalam kaitan dengan mitigasi bencana lingkungan, mereka masih
memegang teguh falsafah 'gunung ulah diurug, lebak ulah diruksak, panjang ulah
dipotong, pondok ulah disambung. Gawir caian, ranca sawahan, tegal pelakan,
leuweung hejo, rahayat bisa ngejo'.
Kekuatan pada komitmen yang
telah ditunjukkan oleh suku Baduy dalam upaya melestarikan lingkungan hidup ini
harus menjadi teladan bagi kita semua. Bahkan, keteguhan terhadap komitmen
tersebut harus ditularkan pada masyarakat kita.
Kebijakan pemberian
penguatan pemahaman akan peran positif kearifan lokal terhadap masyarakat harus
dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Upaya penguatan tidak dapat
dilakukan oleh satu atau dua pemangku kepentingan, tetapi harus dilakukan
bersama-sama secara terintegrasi sehingga hasilnya akan lebih optimal. DasARSS.