Berkenaan dengan kebijakan pendidikan
yang diterapkan oleh pemerintah, Kemendikbud sebagai pemegang otoritas
kebijakan pendidikan terus mendorong setiap sekolah untuk dapat
mengimplementasikan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Langkah tersebut
dilandasi dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter dan implementasi teknisnya diperkuat dengan
lahirnya regulasi turunan yaitu Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal.
Mengacu pada Permendikbud
seperti disampaikan di atas, Penguatan Pendidikan Karakter adalah gerakan
pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan, dalam hal ini sekolah
untuk memperkuat karakter siswa melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah
pikir, dan olah raga dengan peibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan,
keluarga, dan masyarakatsebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental
(RNRM).
Salah satu langkah implementasi
PPK yang harus dilakukan oleh setiap sekolah adalah memberi ruang dan kesempatan
dengan seluas-luasnya kepada seluruh siswa untuk dapat memilki kompetensi
literasi sehingga dengan kepemilikan kompetensi yang mumpuni tersebut, para
siswa diharapkan dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Kemampuan
literasi seluruh siswa sebagai subjek pendidikan, harus mendapat perhatian
serius dalam bentuk program sekolah dengan nuansa pengembangan literasi. Hal
itu perlu disadari dan dilakukan oleh sekolah karena kemampuan literasi dari
setiap siswa dapat menjadi pemicu pengembangan wawasan ilmu pengetahuan yang
dimiliki siswa.
Dilihat dari maknanya, literasi
merupakan istilah yang merujuk pada seperangkat kemampuan dan keterampilan
individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah
pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari pengertian tersebut, literasi tidak dimaknai secara sempit yang mengarah
pada kemampuan reseptif semata, tetapi mengarah pula pada kemampuan produktif.
Dengan demikian, individu yang tergolong literat dimungkinkan memiliki wawasan
luas dan memiliki kemampuan untuk memproduksi berbagai pemahamannya dalam
bentuk karya.
Dalam kebijakan pendidikan di
Indonesia, implementasi literasi oleh setiap sekolah dikemas melalui Gerakan
Literasi Sekolah (GLS). Berkenaan dengan GLS ini, terdapat enam kemampuan
literasi dasar yang harus dimiliki oleh setiap siswa, yaitu literasi baca
tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial,
serta literasi budaya dan kewarganegaraan. Keenam literasi tersebut harus dapat
dimiliki oleh setiap siswa malalui fasititasi yang diberikan oleh sekolah
melalui berbagai kegiatan kurikuler. Karena itu, setiap sekolah harus mampu
memformulasi implementasi keenam kemampuan literasi tersebut sehingga menjadi
program yang efektif dan efisien dalam rangka mendorong seluruh literasi
tersebut menjadi kompetensi yang dimiliki setiap siswa.
Salah satu dari keenam
kompetensi literasi tersebut adalah literasi digital. Literasi ini merupakan
salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Kebijakan tersebut
didorong untuk dapat diimplementasikan oleh sekolah karena masuknya kehidupan
pada era revolusi industri 4.0. Dengan demikian, ranah pendidikan—mau tidak mau
dan siap tidak siap—harus merespons dengan kebijakan yang abai akan fenomena
era kehidupan ini. Sebagai salah satu domain kehidupan yang harus menyiapkan
generasi penerus pada masa depan, pendidikan harus berada pada garis terdepan
dan menjadi ujung tombaknya. Pendidikan harus merespon secara proaktif akan fenomena
yang terjadi, termasuk menyikapi perubahan pada era kehidupan ini.
Literasi Digital dalam Konteks Persekolahan
Seiring dengan perjalanan waktu,
pranata dan pola kehidupan masyarakat selalu mengalami perubahan. Perubahan
dalam kehidupan merupakan fenomena yang tidak dapat disangkal dan dihindari,
tetapi harus direspons dengan penyikapan bijak dari seluruh masyarakat.
Penyikapan yang dimaksud di antaranya dengan mengikuti dan merespons setiap
dinamika perubahan tersebut.
Sedikitnya sampai saat ini
terdapat empat titik tolak yang menjadi pemicu perubahan dalam kehidupan di
muka bumi ini. Keempatnya merupakan titik radikal yang serta merta mengubah
budaya kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut berangkat dari fenomena
kehidupan industri. Keempat perubahan yang berdampak pada perubahan budaya
kehidupan masyarakat tersebut adalah revolusi industri 1.0 (mekanik), revolusi
industri 2.0 (listrik), revolusi industri 3.0 (computer/internet of human), serta revolusi industri 4.0 (computer/internet of things).
Sampai saat ini kehidupan
manusia sudah berada pada era revolusi industri 4.0 dengan diwarnai oleh
fenomena pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi yang mampu
memobilisasikan entitas pengetahuan secara cepat, murah, dan masiv. Era ini
melahirkan fenomena disrupsi pada sebagian besar tata kehidupan masyarakat.
Pada revolusi industri 4.0 terjadi lompatan besar teknologi dengan adanya
symptom pemanfatan teknologi informasi dan komunikasi secara masiv dan optimal
di kalangan masyarakat.
Sejalan dengan itu, ranah
pendidikan—dengan memosisikan sekolah sebagai ujung tombaknya—harus meresponnya
melalui penerapan strategi kebijakan yang tepat, sehingga langkah yang diambil
tidak menihilkan fenomena perkembangan kehidupan yang terjadi pada saat ini dan
masa datang. Sebagai salah satu ranah kebijakan yang harus mempersiapkan
generasi pada masa depan, kebijakan pendidikan harus berada pada garis terdepan
dan ujung tombak yang respons atas perubahan tersebut.
Salah satu respons yang harus
dilakukan oleh penentu kebijakan pendidikan adalah memberi ruang dan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada seluruh siswa untuk mengembangkan potensi melalui
kegiatan literasi. Dalam konteks Revolusi Industri 4.0 ini, literasi yang harus
didorong adalah salah satu dari keenam kompetensi literasi yang harus dimiliki
siswa, yaitu literasi digital.
Melalui formulasi kebijakan
pendidikan yang salah satunya mendorong implementasi literasi digital, seluruh
siswa dimungkinkan untuk dapat melakukan akselerasi percepatan kepemilikan wawasan
ilmu pengetahuan. Hal itu dimungkinkan karena berbagai pengetahuan dan
informasi dapat secara cepat dan mudah diperoleh mereka dari internet dengan
perangkat digital yang dimilikinya. Melalui upaya tersebut, setiap siswa
diharapkan dapat mengimbangi persaingan kehidupan masa kini dan masa depan yang
diwarnai dengan fenomena maraknya digitalisasi pada hampir semua sektor
kehidupan.
Mengacu pada Wikipedia, literasi
digital dimaknai sebagai pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media
digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi,
menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkan secara sehat, bijak, cerdas,
cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi
dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, seluruh siswa
harus dipandu dan diberi pemahaman oleh sekolah untuk menjadi sosok yang
memiliki kompetensi seperti diungkapkan di atas. Langkah yang harus dilakukan
adalah menyusun program literasi digital yang terintegrasi dengan litarasi
lainnya dalam GLS.
Pengenalan siswa oleh sekolah
terhadap kompetensi digital ini tidak bisa ditawar-tawar lagi karena kehidupan
masa depan siswa akan banyak diwarnai dengan berbagai aktivitas berbau digital.
Karena itu, kewajiban sekolah adalah menyiapkan siswa agar dapat survive dalam
kehidupan masa kini dan masa depan. Langkah yang memungkinkan dapat dilakukan
sekolah adalah melakukan digitalisasi manajemen pengelolaan sekolah dan
manajeman pembelajaran. Dengan kedua langkah tersebut, siswa akan dapat intens
dengan perangkat digital dalam mengikuti pembelajaran. Bahkan bukan itu saja,
langkah tersebut akan pula berimbas pada orang tua siswa dan masyarakat
sekitar.
Namun, yang harus catat oleh
setiap pemangku kebijakan sekolah adalah melakukan pengontrolan yang ketat
terhadap siswa sehingga mereka dapat memanfaatkan perangkat digital. Melalui
langkah tersebut, siswa dapat memanfaatkan perangkat digital hanya untuk
hal-hal positif semata, terutama dalam upaya menambah wawasan pengetahuannya.
Upaya ini harus ditekankankan karena perangkat digital yang telah berada pada
genggaman siswa bisa berdampak negatif ketika dimanfaatkan oleh mereka untuk kegiatan
negatif. Kesalahan pemanfatan perangkat digital tidak menutup kemungkinan akan
berdampak negatif bagi pengguna serta lingkungan sekitarnya. Kebermanfaatan
perangkat digital akan tergantung pada siswa itu sendiri dalam menyikapi dan
memanfaatkannya. Karena itu para pemangku kebijakan satuan pendidikan harus
bersinergi dengan orang tua siswa dan masyarakat guna mendorong siswa agar
dapat memanfaatkan perangkat digital dalam upaya implementasi literasi digital.
Baca juga: Ruang Digital
Simpulan
Perubahan era kehidupan harus disikapi
dengan bijak oleh setiap pemangku kepentingan dengan penerapan berbagai
kebijakan yang respons atas perubahan tersebut. Mengacu pada tahapan-tahan era
kehidupan dengan revolusi industri sebagai tonggaknya, saat ini sudah masuk
pada era revolusi industri 4.0 (computer/internet of things). Kehidupan era ini
diwarnai dengan fenomena pemanfaatan teknologi digital yang mampu
memobilisasikan entitas pengetahuan secara cepat, murah, dan masiv sehingga
melahirkan fenomena disrupsi pada sebagian besar tata kehidupan masyarakat.
Fenomena tersebut tidak saja menyentuh pada satu ranah kehidupan semata, tetapi
menyentuh pada hampir sebagian besar ranah kehidupan.
Sebagai ujung tombak dari
implementasi kebijakan pendidikan, sekolah harus berada pada barisan paling
depan untuk merespons perubahan tersebut. Respon yang dilakukan adalah
menerapkan berbagai kebijakan yang mengarah pada mendorong kompetensi literasi
digital pada setiap siswanya. Dengan demikian, para siswa tidak akan memiliki
kesiapan untuk memanfaatkan perangkat digital dalam kehidupan masa kini dan
masa depan.
Langkah strategis yang dapat
dilakukan oleh sekolah adalah dengan menyusun formulasi program. Penyusunannya
paling sedikit mengarah pada dua hal yaitu melakukan digitalisasi manajemen
pengelolaan sekolah dan manajeman pembelajaran. Kedua program tersebut
dimungkinkan menjadi stimulus bagi siswa untuk aware terhadap fenomena
kehidupan yang berbau digital. Bahkan bukan untuk siswa saja, kebijakan
demikian dapat pula menyentuh sebagian besar warga sekolah, dalam hal ini orang
tua siswa dan masyarakat sekitar.****DasARSS.