Oleh: H. Dadang A. Sapardan, M.Pd
(Camat Cikalongwetan Kab. Bandung Barat)
Mencermati banyak tulisan pada media sosial kadang cukup menggelitik dan melahirkan kepenasaran. Banyak sekali tulisan yang bertaburan mengarah pada ketidakpuasan atas layanan dan pendidikan yang bermuara pada ketidakpuasan atas kualitas dari hasil pendidikan. Ungkapan ketidakpuasan tersebut dimungkinkan terjadi karena sampai saat ini, hasil penerapan kebijakan pendidikan bangsa ini masih berada pada peringkat bawah. Bukti empirik atas kenyataan tersebut adalah capaian prestasi pada ajang PISA (Programme for International Student Asessment) yang menguji siswa kemampuan membaca, matematika, dan sains.
Heterogenitas atas pandangan setiap anggota orang merupakan hal wajar dan sah-sah saja terjadi karena lahirnya heterogenitas pandangan merupakan refleksi dari perbedaan cara pandang masing-masing orang. Sekalipun demikian, heterogenitas pandangan tersebut menjadi pemicu lahirnya dinamika dan riak gelombang sehingga kehidupan ini benar-benar penuh dengan warna keberagaman.
Akan halnya dengan begitu banyak dan beragamnya pandangan atas fenomena implementasi pendidikan, merupakan sebuah kewajaran. Beranjak dari keberagaman pandangan tersebut, yang harus dilakukan adalah melakukan perbaikan dan pembenahan atas penerapan kebijakan yang dianggap belum efektif dalam berkontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
Mengacu pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan dimaknai sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengambangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Mencermati pemaknaan pendidikan tersebut, beban yang dipikul oleh para stakeholder pendidikan cukuplah berat karena mengarah pada capaian ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara utuh-menyeluruh (holistic/integrative). Sekalipun demikian, konsep yang dipaparkan merupakan tampilan ideal yang harus dicapai dari penyelenggaraan pendidikan. Untuk mengarah pada capaian tersebut, dibutuhkan dukungan optimal dari berbagai pihak yang memiliki keterkaitan di dalamnya.
Berdasarkan fenomena yang terlihat secara kasat mata, kebijakan penyelenggaraan pendidikan menggunakan pendekatan education production fungcion. Sampai saat ini, penerapan pendekatan ini masih terus disempurnakan, terutama terkait dengan berbagai kelemahan yang terjadi. Pendekatan ini menganut cara pandang bahwa pendidikan sebagai system linier. Keterpenuhan aspek pendukung akan berkontribusi terhadap aspek pendukung lainnya. Pendekatan ini mengarah pada pendidikan sebagai pusat produksi. Apabila seluruh input yang dibutuhkan dalam proses dapat terpenuhi secara maksimal, akan berimbas pada capaian output yang sesuai dengan ekspektasi.
Dalam konteks regulasi pendidikan yang menjadi unsur pendukung keberlangsungan pendekatan education production fungcion sebagaimana terungkap dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP). Sebagai acuan utama pengelolaan pendidikan, SNP menjadi standar minimal yang harus dipenuhi oleh setiap sekolah. SNP yang dimaksud, yaitu: 1) standar kompetensi lulusan, 2) standar isi, 3) standar proses, 4) standar penilaian, 5) standar pendidik dan tenaga kependidikan, 6) standar pengelolaan, 7) standar sarana dan prasarana, dan 8) standar pembiayaan.
Kedelapan standar dalam SNP tersebut membentuk rangkaian input, proses, dan output sebagai implementasi pendekatan education production fungcion. Standar isi, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan, serta pembiayaan merupakan unsur input. Sedangkan yang termasuk unsur proses adalah standar proses dan standar penilaian. Dari SNP tersebut standar kompetensi lulusan merupakan output atau muara dari input dan proses.
Dengan demikian, dalam upaya mendorong keberhasilan pendidikan sesuai dengan ekspektasi yang ditetapkan sehingga mencapai tampilan yang utuh-menyeluruh (holistic/integrative), dibutuhkan ketersediaan dan kesiapan dari seluruh unsur yang menjadi standar pengelolaannya. Untuk melahirkan kesiapan dan ketersediaan tersebut tidak dapat dipenuhi dan diupayakan oleh sekolah semata, tatapi harus didukung dan dipenuhi oleh seluruh stakeholder pendidikan. DasARSS.