Notification

×

Arsip Blog

Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Senin, 13 Maret 2023 | 22.18 WIB Last Updated 2023-03-13T15:22:44Z

 


Oleh: U. Yayan Budiyana, M.Pd
(SMPN 4 Cipongkor Kab Bandung Barat)


Seperti yang diingatkan KHD Konsep Tri-nga. Ngerti (kognitif) Ngeroso (afektif) Nglakoni (psikomotorik) dan Teori Trikon, (kontinu tidak melupakan budaya, konsentris memanusiakan manusia, konvergen memerdekakan anak).


Pada minggu kesatu dan kedua pendidikan Calon Guru Penggerak(CGP), pembelajaran diawali dengan modul 1.1 yaitu tentang pemikiran  Ki Hadjar Dewantara. Pembelajaran di modul ini menggunakan alur MERRDEKA (Mulai dari diri, Eksplorasi konsep, Ruang kolaborasi, Refleksi terbimbing, Demonstrasi kontekstual, Elaborasi pemahaman, Koneksi antar materi dan Aksi nyata).


Dengan mempelajari modul 1.1  ini, penulis banyak berefleksi bahkan berkontemplasi bahwa konsep pendidikan yang digagas KHD (KI Hajar  Dewantara ) ini konsep pendidikan yang memanusiakan manusia, seperti menuntun (selamat dan berbahagia), kodrat anak (merdeka dan bermain), berpihak pada anak (menghamba pada anak), bukan taburasa (anak bukan kertas kosong) budi pekerti (watak dan karakter) kodrat alam dan kodrat zaman, serta menebalkan laku konteks- sosiokultural , ini sangat relevan dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia khsususnya dalam menghadapi bonus demografi atau angka usia produktif pertumbuhan penduduk menuju 2045, yaitu 100 tahun Indonesia, menuju Indonesia emas.


Hasil dari membaca serta menganalisis dari filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara ini, sekaligus melihat realitas di lapangan, khusususya di sekolah, penulis sadar bahwa implementasi pembelajaran baik yang berpihak pada murid serta menuntun masih banyak yang harus diperbaiki, khususnya untuk penulis, dalam membuat aksi nyata dalam konteks manajemen kelas yang semuanya harus betul -betul berpihak pada siswa secara holistik sesuai yang diajarkan oleh KHD, yaitu membangun watak dan karakter membentuk pribadi yang mandiri bisa berdiri sendiri tidak tergantung dengan orang lain serta dapat mengatur diri sendiri.


Ki Hadjar Dewantara, mengingatkan pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan berorientasi ganda: memahami  diri sendiri dan memahami lingkungannya. Ke dalam, pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk mengenali siapa dirinya sebagai “perwujudan istimewa” (diferensiasi) dari alam. Sedangkan,ke luar, pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk dapat menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagad besar sehingga keistimewaan pribadi itu tidak melahirkan kekacauan bagi kebersamaan.


Pendidikan kecakapan hidup, seperti dijelaskan Emile Durkheim, juga mengingatkan bahwa manusia harus bisa menempatkan diri di dua ranah: ranah profan dan ranah “sakral”. Ini juga ada kaitannya dengan pendidikan kewargaaan.  Kegotong-royongan Pancasila menghendaki sosiabilitas kebangsaan yang dapat mengatasi ekstremitas individualisme dan ultra-sosialisme” (totalitarianisme).


Di masyarakat supermajemuk, terlalu menekankan individualisme dan perbedaan menyulitkan integrasi nasional; mematikan aspirasi kedirian dan perbedaan oleh aspirasi totalitarianisme (kanan dan kiri) bisa membunuh kekayaan potensi dan kreativitas. Jalan tengah Pancasila memilih kearifan “Bhinneka Tunggal Ika”: mengakui keragaman/perbedaan seraya berusaha mencari persamaan/persatuan.


Dalam menuntun pertumbuhan kodrat anak, KHD mengibaratkan peran guru atau pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Petani hanya dapat menuntun tumbuhnya jagung, atau seorang petani sayuran, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman, menyiramnya setiap hari, memberi pupuk, membasmi hama ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman tersebut. Petani tidak dapat memaksa agar jagung tumbuh menjadi padi ataupun tanaman sayuran sawi tumbuh menjadi pepaya. Begitupun dengan guru atau pendidik. Pendidik hanya bisa menuntun dan merawat tumbuh kembangnya anak sesuai dengan kodratnya.


Kemudian, masih menurut KHD, pendidikan anak berhubungan dengan  kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam, kita sebagai pendidik harus memberikan teladan yang baik dengan harapan siswa dapat meneladaninya demi membentuk karakter siswa misalnya, bersikap mengayomi, sopan dan berintegritas  (karakter moral dan karakter kinerja) terhadap sesama baik di lingkungan  sekolah maupun di lingkungan masyarakat (social competences).


Sedangkan kodrat  zaman, pada pendidikan global, yaitu penddikan yang masuk pada era society 5.0 dan era disrupsi menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki skill dan karakter yang kuat serta mampu memecahkan masalah (complex problem solving), apalagi ditengah situasi covid -19  ini guru dan  anak dituntut untuk bisa menguasai teknologi informasi sebagai salah satu instrumen untuk mensukseskan pendidikan di Indonesia dan dalam kontek menuju digitalisasi pendidikan atau sering disebut era industri 4.0 dan masyarakat 5.0 (society 5.0).


Sebagai guru, penulis semakin sadar akan terbukanya cakrawala dan mindset dalam mengimplementasikan pendidikan sebagaimana yang dicetuskan oleh KHD dengan teori Trikonnya, yaitu:kontinu tidak melupakan budaya, konsentris memanusiakan manusia serta konvergen memerdekan anak. yang betul-betul dengan tujuan untuk mendidik, mengajar dan mendorong anak untuk mau belajar, memiliki motivasi dan imajinasi dalam merumuskan serta harapan untuk mewujudkan cita-cita mereka menjadi manusia unggul, serta bermanfaat bagi sesama


Selanjutnya, seorang juru didik memerlukan kecakapan yang lebih baik dari juru ukir. Jika pengukir kayu saja wajib mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas tentang hakekat kayu dan teknik ukir, apa lagi juru didik yang diharapkan mampu mengukir manusia secara lahir dan batin. Dengan memupuk kecakapan dasar serta guru yang bermutu, apapun disrupsi teknologi yang terjadi, dunia pendidikan akan memberikan fondasi yang kuat untuk mengantarkan anak-anak negeri menemukan “rumah” (home), bukan menyesatkannya ke tempat “pengasingan” (exile). Itulah pertaruhan kita.


Akhirnya, selama belajar modul 1.1,  semoga penulis tidak hanya berefleksi, kolaborasi, tetapi juga membangun energi positif dengan teman-teman sejawatnya secara holistik untuk membangun pendidikan yang bermutu yang dimulai dari kelasnya masing-masing dimulai dari dirinya sendiri dan semoga ilmu yang diperoleh penulis dari modul 1.1 ini bisa bermanfaat untuk pendidikan minimal di level mikro (sekolah), meso (Dinas Pendidikan), bahkan makro (Kemendikbud). ***


Profil Penulis

U. Yayan Budiyana M.Pd, lahir di Bandung 10 Maret 1983, Guru bahasa Inggris SMPN4 Cipongkor sejak 2009. Wakasek Kurikulum. Ketua Dewan Pembina Yayasan Saung santri KBB sudah berakta notaris tahun 2020 yangg bergerak di bidang sosialpreuner  dan keagamaan. Wakil ketua HKTI KBB bidang Olahraga dan kepemudaan. Pernah menjadi asisten peneliti Bank Dunia tentang PIRLS (progress of, international Reading Literacy School).

 

 

×
               
         
close