Oleh: H. Dadang
A. Sapardan, M.Pd
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Dalam minggu ini ramai
diinformasikan pada berbagai media sosial tentang penyampaian sikap seorang
guru terhadap Gubernur Jawa Barat. Sikap yang diperlihat guru dalam media
sosial tersebut dipandang banyak pihak kurang etis karena disampaikan dengan
bahasa yang tergolong bahasa loma. Padahal yang diajak dialog adalah seorang
gubernur. Bahasa yang ditampilkan memang tidak akan bermasalah ketika
disampaikan kepada teman akrab dalam pertemuan langsung (luring). Permasalahan
timbul—terlepas dari Sang Guru sudah loma dengan gubernur—karena disampaikan
kepada seorang pejabat dalam media sosial yang diakses banyak orang. Implikasi
dari permasalahan itu, guru tersebut harus rela dikeluarkan dari sekolah
tempatnya mengajar dengan alasan etika.
Sejak beberapa tahun yang
lalu, Kemendikbudristek terus-menerus mendorong setiap satuan pendidikan untuk
dapat menerapkan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Upaya ke arah itu
dilakukan dengan penerbitan regulasi tentang penguatan karakter bagi satuan
pendidikan. Dalam program kurikuler yang diterapkannya, setiap satuan
pendidikan harus mampu membentuk karakter peserta didik sehingga akan tumbuh
menjadi sosok berkualitas, yaitu memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, bermoral, berbudi pekerti luhur, berharkat dan
bermartabat.
Upaya mendorong bertumbuh
dan berkembangnya karakter terhadap setiap siswa dapat dilakukan melalui tiga
strategi implementasi, yaitu PPK berbasis kelas, PPK berbasis budaya sekolah,
serta PPK berbasis masyarakat. Ketiga strategi dimaksud harus diimplementasikan
secara sinergis oleh satuan pendididikan.
PPK berbasis kelas adalah
langkah pengintegrasian pendidikan karakter dalam mata pelajaran; pengotimalan
muatan lokal untuk menjadi elemen penguatan karakter peserta didik;
optimalisasi manajemen pengelolaan kelas dengan berbasis penguatan karakter;
serta optimalisasi bimbingan konseling ke arah penguatan pendidikan karakter peserta
didik.
PPK berbasis budaya satuan
pendidikan adalah langkah yang dilakukan untuk melakukan pembiasaan nilai-nilai
karakter dalam kehidupan keseharian di sekolah; dorongan pada sekolah untuk
melakukan branding sekolah; pemberian keteladanan dari
pendidik, tenaga kependidikan, serta stakeholder pendidikan
lainnya; penumbuhkembangan karakter pada seluruh ekosistem pendidikan; serta
penguatan dan konsistensi implementasi norma, peraturan, dan tradisi sekolah.
PPK berbasis masyarakat
dilakukan dengan melakukan sosialisasi terhadap unsur masyarakat sekitar,
termasuk di dalamnya mensinergikan program PPK, sehingga apa yang dilakukan
oleh satuan pendidikan dilakukan pula oleh masyarakat. Selain itu,
implementasinya harus pula didukung dengan pelibatan masyarakat sekitar dalam
menampilkan best practice mereka. Unsur masyarakat yang
dimaksud di antaranya orang tua siswa, komite sekolah, dunia usaha dan dunia
industri, akademisi, pegiat pendidikan, pelaku seni, budaya, bahasa, dan
sastra, serta pemerintahan setempat.
Dalam PPK berbasis budaya
satuan pendidikan secara eksplisit diungkapkan kewajiban pemberian teladan oleh
guru, tenaga kependidikan, serta stakeholder pendidikan
lainnya. Setiap warga satuan pendidikan yang menjadi penyelenggara pendidikan,
tanpa terkecuali harus mampu memberikan keteladanan terhadap siswanya. Guru
sebagai aktor utama dalam proses pendidikan harus menjadi motor penggerak
pemberian keteladanan terhadap seluruh siswa. Guru harus menjadi sosok terdepan
dalam memberi keteladanan terhadap peserta didik, termasuk terhadap setiap
warga satuan pendidikan lainnya.
Pemberian
keteladanan sangat penting diimplementasikan dalam upaya mempermudah
keterlahiran setiap peserta didik dengan karakter yang sesuai regulasi.
Keteladanan merupakan penanaman sikap dan perilaku positif melalui tampilan best
practice oleh pihak-pihak tertentu. Pemberian keteladanan melalui best
practice dalam konteks satuan pendidikan tentunya harus ditampilkan oleh
guru, tenaga kependidikan, serta warga satuan pendidikan lainnya.
Keteladanan
melalui best practice dimungkinkan menjadi strategi tepat dalam
mempengaruhi peserta didik agar mampu mengembangkan potensinya. Keteladanan
yang ditampilkan dalam ekosistem satuan pendidikan akan besar pengaruhnya
terhadap bertumbuh dan berkembangnya peserta didik. Keteladanan yang
diperlihatkan oleh warga satuan pendidikan menjadi refleksi bagi setiap peserta
didik, sehingga mereka memiliki acuan yang layak ditiru.
Pemberian keteladanan melalui best practice ini merupakan
strategi baik dalam upaya mendorong keberlangsungan program sehingga tidak
sebatas program yang harus dilaksanakan peserta didik semata. Program ini harus
mendapat dukungan dari berbagai pihak melalui kebersamaan seluruh warga satuan
pendidikan. Dukungan perlu diberikan pula oleh birokrasi yang menaungi satuan
pendidikan—dinas pendidikan dan kementerian agama. Dukungan yang diberikan di
antaranya dalam bentuk program PPK, bahkan lebih jauh lagi adalah tampilan
keteladanan dari setiap elemen lembaga birokrasi dimaksud.
Alhasil, untuk mancapai tampilan karakter peserta didik, tidak dapat
diimplementasikan pada program-program bagi peserta didik saja. Semua warga
satuan pendidikan, bahkan birokrasi yang menaunginya harus tersentuh program
dimaksud. Mereka harus mampu menampilkan best practice sebagai refleksi
keteladanan. Pemberian keteladanan inilah yang dapat menjadi bagian dari upaya
pelahiran peserta didik dengan karakter yang sesuai regulasi. DasARSS