Oleh: Dadang
A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Dalam
beberapa bulan belakangan ini, berita tentang penganiayaan oleh anak seorang
pejabat terhadap anak petinggi organisasi keagamaan, selalu menjadi konsumsi
harian. Dalam perjalanan mengikuti perkembangan penanganan kejadian tersebut,
sempat menemukan fakta yang terungkap pada persidangan. Dalam proses
persidangan diungkapkan bagaimana perilaku mereka. Ternyata, apa yang
dilakukan, sudah di luar perkiraan semula. Dalam kapasitas sebagai siswa,
perilakunya telah di luar norma yang berlaku. Sebuah perilaku yang tidak pantas
dilakukan dalam kapasitas sebagai siswa. Sebuah potret miris yang harus
mendapat perhatian ekstra. Kenyataan yang harus disikapi dengan bijak oleh para
pemangku kepentingan.
Adakah yang salah dengan
penerapan kebijakan pendidikan kita, sehingga kenyataan seperti diungkapkan di
atas bisa terjadi? Tentunya pertanyaan itu patut dilontarkan karena fenomena
degradasi karakter telah tersaji di depan mata. Sekalipun demikian,
penggeneralisasian adanya kesalahan penerapan kebijakan pendidikan tidak dapat
serta-merta disimpulkan sebagai penyebabnya. Pendidikan tidak dapat
dipersalahkan karena banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya fenomena
demikian. Penyimpangan tersebut masih bersifat kasuistis. Penyimpangan tersebut
merupakan segelintir kecil dari berbagai keberhasilan yang diperlihatkan para
siswa lainnya.
Sekalipun demikian,
terjadinya fenomena demikian harus menjadi dasar pemicu penerapan kebijakan
yang mengarah pada upaya perbaikan ke depan. Sebagai salah satu ranah yang
berperan dalam membentuk dan menyiapkan para generasi penerus bangsa,
pendidikan harus aware dengan fenomena yang tengah berlangsung.
Pendidikan harus menjadi ranah terdepan dalam memosisikan mereka menjadi
menjadi sosok tangguh dalam menghadapi dinamika kehidupan masa kini dan masa
depan.
Langkah yang harus
dilakukan dalam tataran mikro adalah meninjau dan memperkuat kebijakan
pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Berbagai regulasi yang menjadi acuan
pelaksanaannya telah mewarnai ranah pendidikan. Penerjemahan atas regulasi
dimaksud harus dapat dilakukan oleh setiap pengelola satuan pendidikan.
Demikian juga dengan penerapannya secara konsisten dalam bentuk kebijakan
satuan pendidikan. Hal itu dimungkinkan menjadi alternatif dalam pelaksanaan
pendidikan, termasuk di dalamnya pembelajaran pada setiap satuan pendidikan.
Kenyataan memperlihatkan bahwa pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan masih lebih menitikberatkan pada penguatan ranah kognitif, sehingga ranah lainnya tidak mendapat sentuhan secara proporsional. Padahal, pelaksanaan pembelajaran mengarah pada upaya penguatan ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan). Kedua ranah terakhir dipandang masih kurang mendapat sentuhan secara optimal.
Karena itu, salah satu
langkah yang perlu dilakukan adalah mencari formulasi dalam upaya melakukan pemasivan
penguatan ketiga ranah secara proporsional. Salah satunya adalah penguatan
ranah afektif. Dalam upaya melakukan penguatan ranah afektif, Kemendikbudristek
sudah merilis regulasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sejak beberapa tahun
lalu. Langkah mengoptimalkan PPK ini dimungkinkan dapat menjadi solusi dalam mengurangi
merebaknya penyimpangan karakter siswa.
Sedikitnya ditemukan dua
tipikal outcomes pendidikan yang dapat diimplementasikan oleh
setiap satuan pendidikan. Pertama, tipikal yang mendidik siswa untuk menjadi
insan ‘knowing’. Kedua, tipikal yang mendidik siswa untuk menjadi
insan ‘being’. Pendidikan dengan tipikal insan ‘knowing’, mentreatment siswa
untuk sekedar tahu pengetahuan tanpa menekankan lebih jauh tentang kebermaknaan
dan keterpakaian pengetahuannya oleh setiap siswa. Dengan demikian, saat siswa
sudah memahami pengetahuan yang diberikan, maka siswa sudah dianggap selesai
mengenyam pendidikan. Pendidikan dengan tipikal pelahiran insan ‘being’,
memberi perlakuan yang lebih jauh. Pengetahuan yang diberikan tidak sebatas
menjadi pengetahuan milik siswa, tetapi harus pula diimplementasikan dalam kehidupan
keseharian mereka. Dengan demikian, pasca penerimaan pengetahuan oleh siswa,
mereka memiliki kewajiban untuk mengimplemantasikan pengetahuan tersebut dalam
kehidupannya.
Seperti dipaparan di atas, penerapan pola pendidikan yang selama ini berlangsung, terlalu berat pada
penguatan ranah kognitif, sedangkan ranah afektif, dan psikomotor seakan
terabaikan begitu saja. Padahal, mengacu pada regulasi pembelajaran yang harus
diterapkan setiap pendidik, mereka dituntut untuk melakukan pembelajaran dengan
menyentuh ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dengan demikian, satuan
pendidikan sebagai bagian dari sistem pendidikan dituntut untuk melahirkan
siswanya agar menjadi insan ‘being’ bukan menjadikan insan ‘knowing’
semata.
Siswa yang dititipkan orang
tuanya pada setiap satuan pendidikan adalah karunia Allah SWT yang tak
terhingga dan tak ternilai harganya. Mereka dititipkan dengan harapan menjadi
sosok tanggung sehingga dapat survife dalam menghadapi dinamika
kehidupan masa depan. Kepercayaan yang diberikan pada satuan pendidikan, sudah
sepantasnya dimaknai sebagai kewajiban yang harus dijalankan melalui cara
mendidik sebaik-baiknya. Kewajiban untuk menyiapkan mereka sehingga dapat
bertumbuh dan berkembang menjadi generasi tangguh yang akan dapat berkiprah
pada masa depan.
Penyadaran akan pentingnya
perhatian optimal kepada siswa dari setiap sekolah perlu terus didorong dan
diyakinan kepada seluruh ekosistem satuan pendidikan. Kesadaran akan pentingnya
perhatian terhadap siswa yang tengah berada pada masa bertumbuh dan berkembang
itu harus menjadi core berbagai kebijakan yang diterapkan satuan
pendidikan. Mereka sedang berada pada moment terbaik dalam upaya membangun
pondasi guna menghadapi dinamika kehidupan masa depannya. Melalui keterbangunan
pondasi yang kuat, mereka diharapkan akan bertumbuh menjadi generasi harapan
masa depan, sehingga dapat berkontribusi dalam membangun bangsa dan negara ini.
Dengan demikian, alangkah baiknya
bila warna pendidikan yang diterapkan oleh satuan pendidikan lebih ditekankan pada
upaya memberi penguatan terhadap bertumbuh dan berkembangnya karakter setiap
siswa. Lewat upaya tersebut karakter yang dibangun diharapkan mengkristal pada
diri setiap siswa. DasARSS.