Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun
Nuzulul Quran bukanlah hanya sekedar rutinitas seremonial belaka, tetapi mengandung makna luar biasa yang tidak lekang oleh masa. Dengan Nuzulul Quran manusia disadarkan tentang keimanan, ketakwaan, kebersihan hati, sikap syukur dan pengetahuan.
Ketika Muhammad SAW menerima wahyu pertama, surat Al Alaq (1-5), pada 17 Ramadan 13 SH (Sebelum Hijrah), saat itulah baginda diangkat menjadi Nabi, serta momen itu diperingati umat Islam sebagai hari diturunkannya Al Quran, dikenal dengan Nuzulul Quran.
Saat masih kecil, penulis menyaksikan kesibukan orang tua, terutama ibu-ibu, menyiapkan sejumlah makanan untuk kegiatan Nuzulul Quran. Dipersiapkannya sejak pagi hari. Menu utama momen tersebut adalah tumpeng dengan aneka lauk pauk. Aktivitas tersebut terus berlanjut hingga tiba acara khataman selepas salat Tarawih berjamaah. Anak-anak kecil dengan semangat meneriakan lafaz Allah setiap para pembaca Al Quran selesai membaca satu ayat. Acara pun diakhiri dengan tausiah tentang makna dan hikmah Nuzulul Quran dari sesepuh masjid.
Saat ini, ketika kesibukan beralih tempat ke mall, dan anak-anak kecil berlarian di luar masjid sambil menyalakan kembang api dan petasan, serta tumpeng berubah menjadi nasi box, acara Nuzulul Quran memang masih ada, tetapi dengan suasana yang sangat berbeda. Khataman Al Quran sudah mulai berkurang ‘peminatnya’, dan tausiah hikmah acara inipun mulai tergerus dengan maraknya acara-acara di layar kaca dan media sosial lainnya.
Namun, seperti tertera di dalam bunyi surat Al Alaq ayat 1-5 di atas, Bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu yang telah menciptakan! (yang) telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhan mu lah yang Maha Mulia. Dialah yang telah mengajarkan (manusia) dengan pena. (Dia) mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Menyadarkan manusia untuk mengetahui asal muasal dirinya. Sehingga dengan mengenal siapa yang telah menciptakan, dia tidak akan tersesat ke lembah kekufuran.
Selanjutnya, diingatkan kepada manusia untuk tidak ujub dan sombong. Hal ini dikarenakan sehebat apapun manusia pasti berasal dari segumpal darah. Satu zat yang terkadang dianggap hina di awal tetapi dibanggakan setelah berbentuk makhluk di akhir. Dengan tidak ujub dan sombong maka manusia akan terbebas dari sifat merasa diri paling berjasa dan diri paling mulia di antara makhluk lainnya.
Hal di atas menjadi kajian yang teramat penting dalam mengenal diri sebagai manusia yang semua berasal dari bahan baku yang sama, segumpal darah. Hal ini tercantum di surat Al Hujarat ayat 13, ditegaskan bahwa …yang paling mulia adalah yang paling bertakwa di antara kalian. Sehingga gelar, pangkat, jabatan dan kedudukan hanyalah ‘asesoris’ duniawi yang tidak berarti dibandingkan dengan ketakwaan kepada Allah Swt.
Kemudian, di penghujung ayat disadarkan tentang kebodohan manusia tanpa anugerah ilmu dari Allah. Hal ini menngingatkan tentang betapa seringnya manusia membangga-bagakan prestasi seakan-akan berkat jerih payah dan pengorbanannya sendiri, tanpa mau mengakui ‘campur tangan’ Nya. Dari ayat tersebut diarahkan manusia untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah dianugerahkan Tuhan, dan selalu membersihkan diri dari penyakit hati yang selalu membangga-banggakan diri dihadapan lainnya.
Akhirnya, Nuzulul Quran bukanlah hanya sekedar rutinitas seremonial belaka, tetapi mengandung makna luar biasa yang tidak lekang oleh masa. Dengan Nuzulul Quran manusia disadarkan tentang keimanan, ketakwaan, kebersihan hati, sikap syukur dan pengetahuan. Hal ini menjadi kebanggaan bagi umat Islam tentang kemuliaan agama yang mengedepankan semuanya tersebut sehingga, seharusnya, menempatkan umat ini menjadi terdepan dalam segala kebaikan. Terlebih menjadi umat yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya umat. ***