Dadang
A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Beberapa
waktu lalu sempat berdialog dengan seorang pemuda potensial yang penuh dengan
mimpi untuk berkontribusi dalam memajukan masyarakat. Berbagai pemikiran
inovatif dan kreatif selalu meluncur dari pikirannya yang terefleksikan dalam
dialog tersebut. Salah satu pemikiran yang sangat terngiang-ngiang adalah
ungkapannya tentang fenomena birokrasi masa lalu yang menurut pandangannya
masih terjadi sampai saat ini. Birokrasi menjadi sumbatan potensial bagi
masyarakat dalam berbagai hal. Menurut pandangannya, birokrasi kekinian
harusnya bertransformasi menjadi bentuk layanan optimal terhadap masyarakat.
Birokrasi tanpa nanti harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam dinamika
pelayanan elemen pemerintahan terhadap masyarakat.
Kekuasaan
birokrasi di negara ini yang dalam konsep trias politika menurut John Lock
termasuk pada ranah eksekutif merupakan pokok bahasan yang tidak akan
habis-habisnya ketika digali. Berbagai fenomena dalam dinamika ranah eksekutif
menjadi pokok bahasan seksi dari berbagai pihak tertentu yang memiliki
perhatian pada ranah ini.
Menurut John
Lock yang dikembangkan oleh Montesquieu bahwa kekuasaan negara
terdiri atas eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga kekuasaan tersebut
merupakan ‘pemerintahan’ yang bekerja seuai ranahnya masing-masing. Ketiganya
bergerak sesuai kepemilikan kapasitas yang sesuai dengan regulasi.
Pemerintah
adalah lembaga eksekutif yang bertugas mengeksekusi berbagai kebijakan yang
telah dirancang dan disahkan bersama lembaga legislatif. Berbagai tahapan untuk
sampai pada penetapan kebijakan telah dilalui oleh eksekutif bersama
legislatif. Sebagai pengeksekusi berbagai kebijakan dimaksud, salah satu core
yang menjadi tugas pokok pemerintah adalah pemberian pelayanan secara optimal
terhadap masyarakat yang berada di bawah naungannya melalui penggerakan potensi
yang dimilikinya.
Dalam kapasitas
sebagai pemberi pelayanan, setiap elemen pada birokrasi pemerintahan—terutama
sosok yang berhubungan langsung dengan masyarakat—terposisikan pada garis depan
(garda) pelayanan. Mereka menjadi refleksi dari tampilan kualitas pelayanan
yang diberikan oleh lembaga dimaksud. Melalui layanan merekalah, akan terbangun
tingkat pandangan masyarakat terkait pemberian pelayanan. Dua domain tingkat
pelayanan birokrasi yang saling paradok adalah puas atau tidaknya masyarakat
akan pemberian pelayanan oleh birokrasi pemerintahan.
Dalam pemberian
pelayanan setiap sumber daya manusia pada birokrasi pemerintahan harus dapat
menampilkan pelayanan berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
Tampilan pelayanan seperti diungkapkan di atas menjadi target yang harus
dicapai oleh birokrasi pemerintahan.
Secara umum,
setiap aparatur pada birokrasi pemerintahan dituntut untuk menjadi sosok
BerAKHLAK sebagai core value ASN. BerAKHLAK yang menjadi tuntutan
pemerintah terhadap setiap aparatur, merupakan akronim dari Berorientasi
pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, serta Kolaboratif.
Upaya melahirkan core value demikian, ditopang dengan lahirnya employer
branding, Bangga Melayani Bangsa. Core value dan employer
branding menempatkan pelayanan terhadap masyarakat menjadi ranah sangat
penting yang harus diimplementasikan oleh setiap aparatur.
Sebagai lembaga
yang menaungi setiap aparatur, pemerintah memiliki tanggung jawab moral untuk
dapat menampilkan aparatur yang sesuai dengan kebutuhan zaman, yaitu aparatur
yang mampu melayani dengan respons cepat atas kebutuhan masyarakat. Mereka
harus menjadi sosok pemberi pelayanan optimal terhadap masyarakat. Untuk merealisasikan
core value dan employer branding pada setiap aparatur birokrasi
bukanlah perkara mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan. Berbagai
langkah harus ditempuh dan diterapkan oleh para pemangku kepentingan.
Upaya melakukan
perubahan cepat dalam kaitan dengan pemberian pelayanan menjadi prioritas
setiap pemangku kepentingan. Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini, pelayanan
yang diberikan masih menyisakan pola superior-inferior dengan pemosisian
aparatur pada posisi superior dan masyarakat pada inferior. Untuk
sampai pada perubahan pola tersebut sehingga terbangun pemahaman pada setiap
aparatur agar mampu memberi pelayanan optimal, tidaklah bisa menyandarkan diri
terhadap inisiatif yang datang dari mereka. Setiap pemangku kepentingan
birokrasi harus menstimulasi perubahan pada setiap aparaturnya.
Sesuai dengan
fitrah kemanusiaan, dimungkinkan masih ada sosok yang tidak mau dan tidak mampu
berubah guna menyesuaikan dengan kebutuhan kekinian. Keengganan biasanya
dibarengi dengan berbagai argumen. Sosok inilah—selain tentunya sosok lain
pun—yang harus diintervensi dengan kebijakan setiap pimpinan melalui
penerapan treatment yang sesuai dengan kebutuhan.
Harapan untuk
dapat merealisasikan core value dan employer branding dimaksud
tidaklah dapat ditopang dengan semangat semata, tapi harus dibuat political
will dari setiap pemangku kepentingan, terutama pimpinan birokrasi
pemerintahan yang menaungi setiap aparatur, sehingga dapat tercipta birokrasi
tanpa nanti. ****DasARSS.