Dadang A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Saat melaksanakan perjalanan haji beberapa tahun yang lalu, saya beserta rombongan menginap di sebuah hotel di Madinah. Perjalanan dimulai dari Madinah karena rombongan merupakan kloter pertama yang diagendakan singgah dulu di Madinah. Hotel yang ditempati layaknya hotel jemaah haji dengan isi 4 orang per kamar. Dinding kamar di atas tempat tidur dihiasi dengan lukisan alam rindang penuh pepohonan dan hijaunya dedaunan. Setelah beberapa hari di Madinah, dilanjutkan menuju Mekkah. Di sana ditempatkan di hotel seputaran Mekkah. Ternyata, apa yang dilihat di hotel Madinah, sama pula dengan hotel di Mekah. Di dinding atas tempat tidur dihiasi pula dengan pemandangan alam, hijaunya dedauan dan aliran air sungai.
Gambaran pada hotel-hotel di Madinah dan Mekah, mungkin bukan sebuah kebetulan yang dilakukan oleh setiap pengelolanya, tetapi sebuah harapan dari mereka termasuk harapan masyarakat Arab Saudi untuk dapat menikmati suasana demikian.
Kalaupun tidak dapat memiliki lahan subur dengan menjulang tingginya pepohonan dan gemericik air sungai yang bening karena pada umumnya tanah Arab Saudi terdiri atas hamparan padang pasir yang suhunya menyengat panas, mereka berharap dapat menikmati suasana penuh kesejukan itu, melalui gambar atau lukisan yang menempel di dinding.
Kalaupun dalam waktu sangat lama mereka menikmati kesejukan lewat tampilan gambar dan lukisan, tentunya sekali waktu mereka berharap dapat merasakan sensasi suasana nyata dengan berkunjung ke wilayah dengan suasana demikian.
Kondisi alam kita, memang jauh berbeda dengan kondisi alam Arab Saudi. Kondisi alam yang digambarkan dalam setiap kamar di Mekah dan Madinah tersebut merupakan kondisi alam yang bisa dengan mudah ditemukan di sini. Bahkan bagi masyarakat pedesaan, suasana demikian merupakan bagian dari keseharian yang dapat ditemukan.
Kalaupun para penduduk kota yang terbiasa dengan kondisi pohon beton di kiri-kanan dan depan-belakang, untuk dapat menikmati kedamaian dengan suasana yang menyejukkan tidak harus meluangkan waktu lama dan biaya mahal. Tinggal berangkat ke luar kota yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, suasana yang diharapkan akan dapat dinikmati sepuasnya.
Berdirinya pepohonan yang dihiasi hijau dedaunan dengan dipadu gemericik air sungai yang bening dipicu oleh kesuburan tanah di bawahnya. Kondisi ini menjadi sebuah anugrah tak terhingga yang diberikan Sang Penguasa Alam kepada kita.
Suasana demikian, menjadi sebuah hal biasa bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya. Apalagi masyarakat Bandung yang tinggal di pinggiran kota. Alam Bandung dan sekitarnya yang sering disebut dengan alam Pasundan atau Parahyangan, menjadi alam yang sangat didambakan oleh banyak orang. Termasuk alam yang didambakan oleh orang-orang Arab Saudi yang terefleksikan oleh tampilan lukisan dinding di kamar-kamar hotel.
ALAM, ANUGERAH TUHAN
Dalam memandang alam Pasundan yang sangat indah dan eksotis, MAW Brouwer, seorang kolomnis yang sangat tajam, sarkatis, dan humoris pada berbagai media massa Indonesia mengungkapkan bahwa 'Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum'. Tulisan yang merupakan pandangan dan kekaguman MAW Brouwer terhadap suasana alam Pasundan tersebut diabadikan pada tembok jalan di Kota Bandung. Tembok dan tulisannya menjadi latar belakang untuk berfoto bagi setiap pengunjung Bandung
Tulisan MAW Brouwer bisa dimaknai sebagai kekaguman dan kecintaannya terhadap suasana alam Pasundan yang sangat eksotis karena diwarnai dataran tinggi dengan keindahan alam dan suhunya yang tiada tanding. Suasana alam yang sulit ditemukan kesamaannya dengan wilayah atau negara lain. Sebuah wilayah yang ditempati orang Sunda sebagai masyarakat asli.
Tanah Pasundan, secara sederhana bisa dimaknai sebagai tanah yang ditempati masyarakat dari suku Sunda, tanah orang-orang dengan bahasa dan budaya Sunda. Alam yang lekat dengan keindahan dan ke-eksotis-annya menjadi tempat hidup dan berpenghidupan masyarakat suku Sunda dari waktu ke waktu.
Selain disebut tanah Pasundan, Bandung dan sekitarnya disebut pula tanah Parahyangan.
Kata tanah Parahyangan mengarah pada tempat tinggal paraHyang (Dewa). Kalau mengarah pada tempat yang ditempati Hyang atau Dewa, tentunya wilayah ini memiliki kekhasan senagai wilayah yang layak ditinggali oleh makhluk-makhluk istimewa. Parahyangan mengarah pada wilayah dengan tingkat kenyamanan tinggi untuk ditinggali, sehingga makhluk istimewa sangat nyaman berdiam di tempat ini.
Bisa jadi, banyak orang yang mengistilahkan tanah Parahyangan untuk tanah Pasundan ini dilatarbelakangi dengan referensi bacaan terkait gambaran surga, nirwana, heaven, atau sejenisnya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa gambarannya lebih dekat ke suasana yang dimiliki oleh tanah Pasundan. Suasana rindangnya pepohonan dan gemericik air bening yang dipadu dengan suhu sejuk menjadi suasana keseharian yang dapat dinikmati oleh masyarakat Bandung dan sekitarnya, terutama masyarakat pinggiran kota.
Adalah kewajiban setiap penghuni tanah Pasundan untuk bersyukur atas anugerah Tuhan yang diberikan. Sebuah anugerah yang dihadiahkan kepada kita dan bukan kepada orang lain.
Sebagai bentuk syukur atas limpahan anugerah tersebut tentunya dilakukan melalui upaya keras untuk mempertahankan suasan alam Pasundan agar tidak tergerus oleh intervensi pembangunan, terutama pembangunan yang abai dengan pemertahanan keindahan dan keeksotikan alam. Pembangunan yang dilatarbelakangi 'kerakusan' manusia.
Kesadaran akan limpahan anugerah ini menjadi tugas besar dan tugas berat kita. Kesadaran akan kepemilikan anugerah yang tak terkira ini harus terus dibangun di kalangan masyarakat dan didiseminasikan pada generasi muda. Mereka harus disadarkan bahwa di sekitar mereka banyak yang bisa dibanggakan sekaligus dipertahankan, yaitu keindahan dan ke-eksotis-an alam yang mereka tinggali saat ini, alam Pasundan.**DasARSS