Dadang A. Sapardan
Sekali waktu berkesempatan mengunjungi
daerah yang dinamai oleh masyarakat Cikalongwetan dengan Pangheotan. Sebuah
daerah yang berada di tengah-tengah hamparan perkebunan teh. Perkebunan teh
yang berada di bawah pengelolaan PTPN I, perusahaan negara yang bergerak di
bidang perkebunan, termasuk perkebunan teh dan sawit. Pangheotan dalam peta administratif berada di
wilayah Desa Cipada, Cikalongwetan. Sekalipun demikian, Pangheotan merupakan
daerah yang terletak di perbatasan antara Desa Cipada dengan Desa Ganjarsari.
Perjalanan ke Pangheotan memang tidak
dapat dilalui dengan kenyamanan berkendara seperti layaknya di jalan perkotaan
karena kendaraan harus melewati jalan berliku dan berbatu dengan kontur
bergelombang. Jalan menuju Pangheotan terlihat belum pernah sekalipun tersentuh
hamparan aspal atau timbunan beton. Jalan yang dibangun pada masa kejayaan
Belanda di Indonesia ini masih bernuansa jalan perkebunan semasa penjajahan.
Sekalipun demikian, suasana sekeliling dapat melupakan goyangan dan hentakan
akibat jalan bebatuan yang sudah tidak rata dan berlubang. Di kiri dan kanan
jalan terhampar hijaunya dedaunan teh. Pohon teh terbentang luas mengelilingi
jalan yang dilalui kendaraan.
Pangheotan pernah menjadi episentrum
kehidupan masyarakat pada masa Belanda masih berkuasa. Daerah ini pernah
mengalami masa kejayaan dan keemasan, saat masih menjadi pusat pengolahan teh
yang dikuasi oleh orang-orang Belanda. Di Pangheotan terdapat pabrik teh cukup
besar. Pabrik teh yang dibangun pada zaman kejayaan Belanda itu ternyata tidak
dapat dipertahankan, sehingga saat ini yang tersisa di sana adalah puing-puing
bangunan pabrik yang sudah tidak terurus dan sudah mengalami pelapukan karena
dimakan usia.
Perjalanan ke Pangheotan bukanlah
tanpa sebab. Perjalan ke sana karena mendapat undangan dari PT. Indonesia Power
untuk menyaksikan ekspose program kerja sama mereka dengan BRIN. Ekspose
dilakukan di sebuah rumah peninggalan zaman Belanda dengan dihadri puluhan
undangan dari berbagai elemen masyarakat. Rumah yang dijadikan tempat ekspose
pada beberapa bagian sudah mengalami pelapukan karena sudah dimakan usia.
Kondisi demikian mungkin diperparah dengan kurangnya perawatan oleh pengelola.
Rumah yang dijadikan tempat pertemuan
merupakan rumah yang pada zaman Belanda ditinggali oleh pemilik perkebunan.
Rumah itu ditinggalkan oleh pemiliknya, sejalan dengan kemerdekaan Republik Indonesia. Rumah yang masih
menyisakan kejayaan zaman Belanda itu sudah tidak berpenghuni. Rumah itu baru
digunakan bila ada kegiatan perusahaan di daerah Pangheotan.
Di sela-sela pertemuan sempat ngobrol
banyak dengan beberapa orang yang kelihatannya merupakan orang perkebunan.
Dalam obrolan itu, terdapat seorang pekerja kebun yang sangat paham sekali
dengan Pangheotan. Menurut pengakuannya, dia adalah generasi ketiga yang
bekerja di perkebunan itu. Kakek dan bapaknya merupakan pekerja perkebunan
Pangheotan.
Dari pembicaraan dengan pekerja di
perkebunan tersebut diketahui bahwa rumah itu menjadi tempat kediaman pemilik
perkebunan teh. Salah satu nama pemiliknya adalah van Houten. Sebagai
penguasa perkebunan, van Houten sangat terkenal di kalangan masyarakat.
Namun, saat itu kebanyakan masyarakat yang menggunakan bahasa Sunda sebagai
bahasa perhubungan, tidak mampu melafal nama ‘van houten’. Masyarakat
melafalkan ‘van houten’ dengan menggunakan bunyi bahasa Sunda, sehingga
menjadi ‘pangheotan’.
Perkebunan yang sempat dikuasai oleh van
Houten inilah yang sampai saat ini terkenal dengan nama Pangheotan. Sebuah
perkampungan yang masa kejayaannya sudah sirna karena episentrum aktivitas
pengolahan teh sudah tidak dilaksanakan di sana. Sekalipun demikian, sisa-sisa
masa kejayaan Pangheotan sampai saat ini masih bisa ditemukan.****DasARSS.