Notification

×

Arsip Blog

Harsa Lara

Sabtu, 18 Februari 2023 | 11.49 WIB Last Updated 2023-02-25T02:40:05Z

Oleh: Arin
(SMAN 4 CImahi)

 


1.1 km away from me

Netranya larut menelusuri keberadaan seseorang di aplikasi tracker miliknya.  Gelapnya langit dan sendunya cahaya bulan tidak melenyapkan intensinya untuk sekedar melihat apa yang sang tambatan hati sedang lakukan. 

Atensi berlebih pada ponsel digenggamannya membuat setumpuk buku milik seseorang berhamburan ke tanah.  Ia menundukkan tubuhnya berkali-kali sebagai isyarat bahwa ia memohon maaf atas pandangannya yang hanya tertuju pada satu titik, sehingga bertabrakan dengan seseorang menjadi kesalahannya yang seutuhnya. 

“Bukannya minta maaf!” sinis sang pemilik buku sembari memunguti bukunya yang berhamburan. Rupanya, isyaratnya tidak tersampaikan. 

Ia menggerakan jari tangannya dengan lihai, membentuk sekumpulan gerakan menjadi sebuah kalimat, Saya minta maaf.

“Oh, bisu…".  Tanpa permisi, wanita itu meninggalkan dirinya yang dipenuhi rasa nelangsa. 

Lunar masih tidak bisa menerima kenyataan pahit yang menimpa dirinya.  Kemampuannya untuk sekedar mengartikulasikan sebuah kalimat tidak lagi ia miliki.  Namun walaupun begitu, ia tidak pernah menyesal atas kenekatannya pada insiden tahun lalu.   Sisa hidupnya ia habiskan dengan menonton dan membaca banyak panduan untuk lihai berbahasa isyarat.  Kesehariannya ia penuhi dengan gerakan gerakan tangan yang terasa sangat asing.  Pergerakan tangannya yang kaku dan putus asa terkadang membuat air matanya ikut berkontribusi dalam setiap pembelajaran bahasa isyarat yang ia kerjakan. 

Laranya yang menyesak berhasil dibuyarkan oleh delusinya akan sang tambatan hati.  Arash, laki-laki yang telah menjadi pusat hidupnya selama jangka waktu yang panjang.  Obsesinya terhadap Arash sudah melintasi sebuah batas yang disebut kewajaran.  Bahkan kini, raganya tanpa ragu menelusuri keberadaan global positioning system (GPS) yang telah ia pasang di salah satu benda milik Arash. 

***

15 m away from me

Aplikasi tracker di ponselnya membuat debaran jantung Lunar semakin tak terkendali.  Euforianya menguar menunggu netranya menangkap siluet seseorang yang Ia nanti.  Pandangannya menelisik setiap inci gedung sekolah yang penerangannya sudah mulai sendu. 

Alih-alih Arash yang ia temukan, seorang wanita yang belum lama ia tabrak tadi sedang terjun bebas dari lantai ke tujuh di sebuah gedung sekolah.  Pendaratannya membuat perut sang wanita tersebut menancap dan menembus tiang pembatas trotoar.  Tumpuannya melemah seraya pandangannya menangkap siluet hitam tepat di tempat wanita itu menjatuhkan diri.  Dengan tenang, siluet itu pun pergi tanpa peduli akan kondisi wanita yang baru saja berpijak ditempat yang sama dengannya. 

Debaran ritme jantungnya yang tidak beraturan akibat akan melihat Arash berubah dalam hitungan detik menjadi kegelisahan akan yang baru saja ia saksikan.  Raganya ia paksa mendekati wanita yang sudah terbaring dengan bersimbah banyak darah.  Hatinya ragu bahwa sang wanita masih bernyawa. 

***

1 m away from me

“Telfon ambulan!” ucap seseorang di belakangnya dengan gusar.  Lunar berbalik dan mendapatkan sosok yang ia cari ternyata sudah menghampiri.  Jiwanya dipenuhi rasa cemas, ia menutup aplikasi trackernya dan menghubungi nomor darurat. "

Public Safety Center 119. Ada yang bisa kami bantu? Lunar menyerahkan ponselnya kepada Arash.  Ia kembali menggerakkan tangannya dan memberi isyarat bahwa ia memiliki keterbatasan untuk berbicara. 

"Halo? Pak? Saya mau melapor, di SMA Bhintara Jaya bagian kiri Gedung D baru aja ada yang bunuh diri!".  Darahnya berdesir, Lunar yakin yang baru saja ia saksikan bukan lah bunuh diri, melainkan sebuah pembunuhan.  Baik. Dimohon untuk tetap tenang. Dengan siapa saya berbicara?

“Saya Arash". 

Arash mengembalikan ponsel milik Lunar.  Ia menyadari bahwa tangan Lunar gemetar dan matanya memerah.  Ia menajamkan pandangannya mencari seseorang yang bisa diandalkan untuk mengamankan lokasi kejadian di saat ia akan menenangkan Lunar. 

“Tolong semuanya mundur! Saya udah telfon Ambulan,” Arash memerintah kepada kerumunan yang terus bertambah dan mulai berdiri melingkari mayat.  Kondisinya naas, tubuh telungkup dengan kaki kanan yang patah, darah yang tidak berhenti mengalir dari kepalanya, serta bagian tengah perutnya yang menembus tiang pembatas trotoar. 

Arash menyadari tingkah laku Lunar yang hanya terduduk lemas di permukaan.  Ia membawa Lunar menjauhi tempat kejadian untuk menenangkannya.  Arash tahu, Lunar menyaksikan dengan jelas seseorang jatuh tepat dihadapannya. 

"Minum dulu, Lunar!” Arash berucap seraya memberikan sebotol air miliknya kepada Lunar.  Bukan sebuah terima kasih yang Arash terima, melainkan kedua mata Lunar yang terbelalak akibat Arash menyebutkan namanya. 

Sudut bibirnya terangkat saat melihat respon Lunar yang buru buru menutup name tag nya dengan telapak tangan.  "Udah liat, Lunar Ashaira,” .  Bibirnya yang masih membentuk garis senyuman juga matanya yang kini menyipit membuat Lunar tidak percaya akan yang baru saja ia lihat di hadapannya.  Pandangannya ia alihkan dari netra Arash.  Ia bergelut dengan hatinya yang enggak n percaya bahwa lelaki di hadapannya adalah seseorang yang kehadirannya selalu ia nantikan. Lunar mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia sedang berhadapan dengan Arash, lelaki yang selama ini selalu membuat deru pacu jantung Lunar menjadi riuh. 

“Arash Devandra,” ucap Arash sambil menjulurkan tangannya.  Udah tahu! Apa daya Lunar yang hanya bisa menjawab dalam hati karena nyalinya belum berani untuk berinteraksi.  Lunar menerima jabatan tangan Arash, sebagai tanda mereka resmi berkenalan. 

Suara riuh sirine ambulan berhasil mendistraksi pertemuan awal Lunar dan Arash.  Keduanya tanpa ragu menghampiri kerumunan dan melihat korban yang mulai dievakuasi.  “Apa ada seseorang yang menyaksikan langsung kejadian ini?”Salah satu tim medis mengajukan pertanyaan.  Tanpa pertimbangan, Lunar mengangkat  tangannya tinggi tinggi berharap eksistensinya disadari ditengah kerumunan.  Ia berniat untuk menyampaikan sesuatu yang menurutnya harus disuarakan. 

Tubuhnya menerobos barisan orang orang untuk sampai di hadapan si pengaju pertanyaan.  Tak lupa dengan Arash yang mengekorinya dari belakang. 

"Perkenalkan… saya Raina selaku perwakilan dari tim medis.  Dengan Kak?"

"Lunar,” Arash membantu menjawab pertanyaan Raina. 

"Jadi, gimana Kak Lunar? Bisa saya mintai keterangan?".  Lunar dengan cepat mengetikkan untaian kalimat di catatan ponselnya dan menyerahkannya kepada Raina. 

Saya lihat ada siluet orang di atas gedung dan berdiri tepat sejajar sama lokasi jatuhnya korban. Dan waktu korbannya jatuh tepat di atas permukaan tanah, siluetnya pergi. Saya ga yakin kalau ini kasus bunuh diri, melainkan sebuah kasus pembunuhan.

Usai membaca kalimat terakhir dari apa yang Lunar sampaikan, Raina memasang mimik wajah yang tidak percaya.  Namun berbeda dengan Arash.  Tanpa mengeluarkan satu patah kata pun, ia menarik Lunar menjauh dari tempat itu tanpa permisi. 

Arash mencengkram tangan Lunar dengan sangat kuat dan melangkahkan kakinya menuju tempat yang sunyi.  “Tahu dari mana?”Intonasinya yang dingin membuat atmosfer menjadi penuh ketegangan.  Lunar menatap mata Arash dalam dalam dan tidak menemukan bahwa ini adalah Arash yang memberikannya senyuman beberapa menit lalu. 

Lunar dengan penuh keheranan mulai menggerakan tangannya untuk menyampaikan isyarat bahwa ia melihat itu semua dengan mata kepalanya sendiri. 

"Liat dari mana kalau dia ngebunuh cewek itu?”Lag-lagi pertanyaan yang Arash lontarkan bukan terasa seperti keingintahuan karena kepeduliannya terhadap korban.  Melainkan desakan untuk mengetahui seberapa banyak yang Lunar saksikan.  Lunar bergeming.  Ia mengakui bahwa kedua netranya tidak menangkap jika siluet itu mendorong seseorang.  Tapi entah apa yang meyakinkannya bahwa perempuan itu tidaklah bunuh diri.  Tangannya kembali ia gerakan untuk memberikan Arash pertanyaan yang mengganggu pikirannya. 

Kenapa panik? Tingkah laku Arash membuat Lunar berpikir bahwa ada sesuatu yang janggal  baru saja terjadi.  Kini bagian Arash yang bergeming.  Ia menyadari bahwa kepanikannya telah membuahkan hasil yang buruk di pikiran Lunar. 

“Siapa yang panik?” Arash mengelak sembari megalihkan kontak matanya dengan Lunar.  Lunar mencurigai bahwa sesuatu telah terjadi kepada Arash.  Namun kecurigaannya tersisihkan, karena mana mungkin ia mencurigai seseorang yang ia cintai.

Atmosfer yang terasa semakin tidak enak membuat Lunar memutuskan untuk melangkahkan kakinya pergi menjauh dari hadapan Arash.  Ia berniat untuk menghampiri Raina kembali dan memberikan lebih banyak pernyataan yang memungkinkan dapat membantu penyelidikan mengenai kasus ini.  Sekali lagi, hati dan pikirannya dipenuhi Keyakinan bahwa yang baru saja terjadi adalah sebuah kasus pembunuhan.  Karena, orang gila macam apa yang melihat seseorang terjatuh dan hanya pergi dalam diam tanpa meminta pertolongan. 

Sebelum niatnya untuk menemui Raina terlaksana, Arash terlebih dahulu menahan tangan Lunar.  Bibirnya bergerak ragu seolah takut menyuarakan sesuatu.  Namun  akhirnya,  Arash memberanikan kedua netranya menatap Lunar dan mengatakan, “Ayo kita selidiki kasus ini bareng bareng,”

***

"CCTV yang berfungsi cuma di bagian kanan gedung, Lunar.  Dan di jam itu, gak ada tanda-tanda orang mencurigakan lewat, kecuali cewek itu,” Arash menjabarkan hasil penyelidikannya sore ini kepada Lunar.  Ruang penyiaran di salah satu gedung sekolah sudah menjadi titik kumpul mereka setiap akan membahas kasus ini. 

“Tim Forensik juga gak ada kabar.  Terakhir mereka cuma bilang kalau gak ada tanda tanda perlawanan atau pertahanan diri di badan korban.  Bahkan, gak ada DNA lain yang kerekam di badan korban,”Lunar menyampaikan penjelasannya dengan bahasa isyaratnya yang semakin mahir.  Begitu pula dengan kemampuan Arash yang kini sudah mulai bisa memahami bahasa isyarat akibat puluhan video yang ia tonton di youtube demi bisa berkomunikasi dengan Lunar. 

Dua minggu berlalu tanpa membuahkan sebuah hasil yang diharapkan.  Pihak Sekolah, pihak Medis dan bahkan pihak Kepolisian merasa kesaksian Lunar mengenai Siluet itu tidak bisa sepenuhnya dipercayai, karena satu bukti pun tidak ia kantongi.  Mencari rekaman CCTV, mencari saksi lain di sekitar lokasi kejadian, menyelidiki sidik jari atau bahkan DNA yang berpotensi tertinggal di tubuh korban, sampai mencari sebesar apa relasi pertemanan korban untuk mencari pelaku- tidak pernah membuahkan hasil yang mereka harapkan.  Usahanya selama dua minggu terasa sia-sia.  Karena Lunar merasa, apa yang mereka lakukan sekarang hanyalah membuang waktu berharga yang mereka miliki. 

Namun hasil lain berhasil ia dapatkan.  Bukan hasil mengenai penyelidikan kasus pembunuhan, melainkan hasil mengenai usahanya selama ini untuk mendekatkan dirinya dengan Arash.  Jarak diantara dirinya dan Arash semakin terkikis.  Walaupun yang menjadi topik utama obrolan mereka setiap hari adalah selalu mengenai kasus ini, Lunar tetap menikmatinya.  Ia menikmati setiap detik yang ia lewati bersama dengan Arash. 

Begitu pula dengan Arash.  Ia mendedikasikan banyak waktunya untuk belajar bahasa isyarat.  Tugas tugasnya terlewatkan untuk menonton puluhan video pembelajaran bahasa isyarat agar komunikasinya dengan Lunar berjalan lancar.  Mereka selalu menghabiskan waktunya bersama.  Berpegang teguh dan bertekad bahwa mereka bisa menyelesaikan dan mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dibalik kasus ini. 

Namun berbeda dengan sore ini.  Keduanya merasa cukup muak dengan penyelidikannya yang tidak pernah membuahkan hasil.  Alhasil, Arash memulai topik pembicaraan yang sebelumnya tidak pernah mereka bicarakan. 

"Lunar tuh artinya Matahari,ya?” Arash melontarkan pertanyaan yang ia sendiri pun sudah tahu jawabannya. 

"Ngaco banget! Lunar tuh bulan!"  Jawaban Lunar yang dipenuhi kesengitan berhasil membuat sudut bibir Arash kembali naik.  Entah kenapa, wanita di hadapannya ini sangat mudah terpancing emosi akan masalah masalah kecil.  Alisnya mengerut dan matanya mendelik tajam ke arah Arash.  Hal ini yang membuat Arash sangat senang mengusili Lunar.  Tapi walaupun begitu, Arash tahu pasti kapan saat Lunar benar benar marah.  Tidak seperti biasanya, ia akan lebih banyak diam dan memandangi sebuah objek dengan muka yang datar.  Siapapun yang berdiri di samping Lunar akan menyadari bahwa atmosfer yang tersebar saat ia marah akan berbeda. 

“Oh, pasti mama kamu suka bulan? tanya Arash benar benar penasaran.  Seumur hidupnya, ia tidak pernah bertemu dengan seseorang bernama Lunar.  Namanya asing di telinganya.  Untuk sekedar mengartikulasikannya pun terasa sulit karena saking tidak pernahnya ia mendengar nama Lunar. 

“Iya, makannya waktu aku lahir dan mama pergi duluan.  Papa kasih aku nama Lunar yang artinya Bulan.  Karena mama suka Bulan.  Dan kebetulan, waktu itu lagi bulan purnama.  99,67%  wujud Bulan keliatan jelas dari Bumi .  Aku lahir dan mama pergi dengan keadaan Bulan yang cantic,"  jelas Lunar panjang lebar sambil memfokuskan netranya pada langit sore yang mulai jinggak. 

"Mama kamu…pergi?” Arash bertanya dengan penuh kehati-hatian. 

“Iya, pergi ke Bulan.  Dulu, tiap aku tanya papa, kemana sosok mama di hidup aku, papa selalu bilang kalau Mama pergi duluan ke Bulan.  Padahal seiring berjalannya waktu, ya aku tahu mama udah meninggal…"  Arash menyimak penjelasan Lunar dengan penuh sendu.  Ia tahu persis apa yang Lunar rasakan saat ditinggal sang Ibu. 

“Aku juga, Lunar.  Mama aku dan Mama kamu kayaknya lagi ngobrol ya di Bulan.  Kaya kita sekarang, ngobrol di Bumi ,”Lunar memberikan mimik wajah yang tidak bisa dibaca.  Ia bertemu seseorang yang keadaannya sama.  Sama-sama tumbuh tanpa sosok ibu.  Keduanya tertawa karena perkataan Arash.  Mereka sudah berdamai dengan masa lalu.  Mengikhlaskan kepergiannya adalah hal yang memakan waktu bertahun tahun.  Tapi kini, rasanya keluh kesah di lubuk hati terasa terbayarkan karena seluruh kesedihannya tersalurkan kepada seseorang yang bernasib sama. 

“Kalau Arash, artinya apa?” Lunar melemparkan pertanyaan yang sama pada Arash. 

“Katanya sih Pahlawan.  Papa namain anak-anaknya dengan arti Pahlawan, karena mau kita jadi pahlawan untuk diri sendiri dan orang lain.  Pahlawan tanpa ibu gitu katanya.  Jadi di keluarga aku isinya cowok semua, dan arti nama kakakku juga Pahlawan,” Arash terlarut dalam ceritanya, membayangkan masa masa emas dimana keluarganya belum terpecah belah. 

“Kamu punya kakak? Kakakmu namanya Arash juga gitu?”Lunar penasaraan.  Lunar mulai larut dalam percakapan sederhananya dengan Arash. Sudut bibirnya tidak berhenti terangkat, menandakan bahwa kini Lunar benar benar dipenuhi Euforia akibat kedekatannya dengan Arash. 

“Iya, kakak aku cowok.  Dia kerja jadi pengacara sekarang, namanya Arashya,” .  Darah Lunar berdesir.  Tanpa sepengetahuan Arash, ia baru saja membongkar sebuah rahasia yang besar kepada Lunar. 

Bunga tak selamanya bermekaran. Kupu-kupu tak selamanya berterbangan. Tujuh warna cantik pelangi, Arash ubah menjadi monokrom dalam milidetik. Seperti sudut bibir Lunar yang kini menurun, matanya tak lagi menyipit menandakan seberapa lebarnya ia tersenyum. Deru pacu jantungnya kembali riuh karena pernyataan Arash. Spekulasi aneh mulai memenuhi pikiran Lunar.

Satu tahun lalu.

"Pak, mau sampe kapan bapak tutup mulut?” ucap Lunar penuh penekanan. 

"Udah lah.  Kesalahan Ayahmu ini udah keterlaluan….!" 

“Selain tutup mulut, bapak juga tutup telinga sama keadaan ya!”. Emosinya memuncak, suaranya semakin merendah tanda kemarahannya ia pendam. 

“Anak kecil tahu apa? Gak usah ikut ikutan masalah orang dewasa kamu, Lunar.  Merepotkan!"

“Saya tahu apa? Saya tahu satu hal, kalau pengacara di depan saya ini tidak kompeten.  Bapak lebih cocok disebut penipu daripada pengacara!”  Lunar melangkahkan kakinya keluar.  Ia tidak habis pikir, Papanya dijebak atas kasus pelecehan seksual. 

Pelaku yang sebenarnya adalah atasan Papa Lunar di pekerjaan.  Ia mengirimkan pengacara hanya untuk sekedar membantu meringankan masa hukuman.  Bukan benar-benar untuk membela kebenaran. 

Seiring berjalannya waktu, saat Lunar sudah mengumpulkan berbagai bukti kuat untuk membuktikan bahwa Papanya tidak bersalah, tiba-tiba rumahnya didatangi segelintir orang orang berjas.  Mereka menggeledah rumah Lunar dan menghancurkan berbagai bukti yang Lunar simpan rapi di kamarnya.  sebagian dari mereka mencoba mengikat Lunar di sebuah kursi dengan tali.

“Sudah saya peringatkan, anak kecil jangan menghalangi pekerjaan saya!”Lunar hanya mampu mendelikkan matanya, karena kedua tangan dan kakinya telah diikat rapat oleh sekumpulan orang tersebut. 

“Anak kecil kaya kamu ini ga usah sok sok an bantuin kasus besar kaya gini.  Kamu bukan tandingan saya!” ucapnya angkuh. 

“Terus, kalau bapak merasa saya bukan tandingan bapak, kenapa harus berlaku sejauh ini? Bukannya malah kelihatan kalau bapak takut sama apa yang bakal saya lakuin ke depannya? Sampe bapak berani ngelakuin hal curang dan menjijikan kaya gini.  Se takut itu pak buat bertanding secara sehat sama anak kecil?"  Lunar berucap penuh Keyakinan. 

"Lunar, saya selalu benci sama semua yang keluar dari mulut kamu.  Gimana kamu membela papamu, gimana kamu menghina saya.  Saya berharap apa yang bakal saya lakuin kali ini bakal mengobati rasa kesal saya pada kamu,”Lelaki itu mengeluarkan sebuah koper hitam kecil.  Ia membukanya perlahan dan menemukan sebuah suntikan dan sebuah tabung kecil berisi cairan. 

Tangannya mengambil benda tersebut dan menyodorkannya tepat di hadapan muka Lunar, “Ini zat pelumpuh saraf.  Saya menghabiskan banyak sekali uang cuma buat beli barang ini!".  Jantung Lunar berubah menjadi riuh.  Ia khawatir dengan kehidupannya dalam beberapa menit ke depan. 

“Oh, tenang, saya gak akan buat kamu mati cuma karena zat ini.  Saya cuma mau liat kamu tersiksa di dunia ini dengan kemampuan bicara kamu yang menghilang.  Saya mau liat kamu berhenti melontarkan kata kata jahat yang tertuju pada saya.  Saya mau buat kamu bungkam.  Selamanya!”.  Lunar berontak.  Pundaknya di tahan oleh sekumpulan orang.  Ia tidak terima jika kemampuan bicara nya akan hilang. 

"Pak Arashya, bapak adalah manusia terburuk yang pernah saya temui.  Bumi  gak pantas menampung manusia kotor seperti Bapak!". Kalimat terakhir yang bisa Lunar ucapkan sebelum  akhirnya,  pita suaranya benar benar rusak. 

***

"Lunar? Ngelamunin apa? Hey!". 

Lintas baliknya terputus begitu saja akibat gerakan tangan Arash yang melambai-lambai di depan mukanya.  Kakak Arash bukanlah orang yang baik.  Pak Arashya bukan seorang pengacara yang kompeten.  Lunar enggak n percaya bahwa yang melumpuhkan pita suaranya adalah kakak dari seseorang yang ia cintai.

Lunar ingin memastikan sesuatu, pikirannya liar dan bercabang memikiran serangkaian kejadian janģgal yang terjadi dari hari pembunuhan.  Tanpa pertimbangan, ia melontarkan sebuah pertanyaan yang malah menjadi bumerang balik baginya, "Malam itu, kamu Ngapain masih di sekolah? Bukannya udah ga ada jadwal ekskul?".

Mimik wajah Arash kembali berubah.  Arash kembali menjadi sosok dingin bermuka datar yang Lunar temui malam itu.  “Tahu dari mana gak ada jadwal ekskul?" Lunar panik, ia tidak mungkin berkata jujur bahwa selama ini ia telah membuntuti dan mengawasi Arash kemanapun ia pergi.  "Nebak,” jawab Lunar asal karena kepanikan memenuhi dirinya. 

“Kamu? Ngapain kamu masih ada di sekolah malem-malem?” Arash melontarkan pertanyaan yang tidak Lunar duga akan membuatnya menyesal telah mengangkat  topik ini.  Lunar bergeming.  Memikirkan seribu satu alasan untuk menjawab pertanyaan Arash.  "Ngapain, Lunar?”Ulang Arash menekankan pada Lunar. 

“Arash, maaf" Jawab Lunar tanpa menatap netra Arash.  "Maaf apa?”Intonasi Arash semakin mengintimidasi Lunar.  Ia bergelut dengan pikirannya, haruskah ia jujur atau berbohong?

“Aku pasang GPS di dalem casing airpods kamu.  Aku tahu kamu selalu dengerin lagu pake airpods. Dan aku tahu, kamu selalu bawa airpods kamu kemana mana,”  .  Arash diam.  Responnya tidak meledak seperti yang Lunar pikirkan.  Ia kira, Arash akan marah dan memaki dirinya, namun kesunyian dengan atmosfer menegangkan memenuhi ruangan. 

Stalker, tanpa permisi, Arash mengambil tasnya dan meninggalkan Lunar yang dipenuhi rasa bersalah sendirian. 

***

Lima hari tanpa kehadiran Arash membuat Lunar menemukan berbagai bukti temuan baru mengenai kasus pembunuhan lalu.  Tak lupa, ia juga mencari keberadaan Arash untuk mengatakan bahwa ia menyesal atas perilakunya.  Namun eksistensi yang ia cati tak kunjung menghampiri.  Langkahnya putus asa menyusuri jalanan setapak dengan latar langit yang mulai jinggak.  Netranya menangkap seseorang yang eksistensinya hampir ia cari seharian.  Langkahnya melaju cepat menuju seseorang di hadapannya, dengan harapan ia dapat menggapai orang tersebut sebelum kehilangan jejaknya. 

Tangannya menggapai pundak Arash.  “Arash, maaf,”.  Permohonan maaf Lunar tidak dihiraukan oleh Arash.  Lelaki itu mematikan rokoknya dan segera memakai helmnya, berniat menjauhkan diri dari Lunar. 

“Arash!".  Tangannya berulang membentuk isyarat permohonan maaf pada Arash.  Namun, Arash tetap pada tujuannya untuk pergi menjauh dari Lunar.  Ia bahkan kini memutar kunci motornya.  Lunar berlutut, mengisyaratkan bahwa ia benar benar menyesal atas apa yang telah ia perbuat.  Kedua lututnya mendarat tepat di atas permukaan tanah, tangannya tidak berhenti mengisyaratkan bahwa ia meminta maaf.  Hati Arash melunak, dengan berat hati ia beranjak dari motornya dan menghampiri Lunar. 

"Naik!” ucap Arash dingin sembari mengajak Lunar menuju motornya.  Tanpa ragu, Lunar berdiri dan mengikuti arahan Arash. 

Jalanan yang sepi menjadi peluang besar untuk Arash mempercepat laju motornya.  Ia membawa Lunar menuju rumahnya untuk dimintai rangkaian penjelasan atas apa yang selama ini Lunar lakukan pada Arash.  Motornya berhenti dihadapan sebuah Rumah Putih besar yang terasa dingin dan sunyi.  “Turun,”Perintah Arash kepada Lunar yang masih duduk di motornya.  Tanpa perlu penjelasan, Lunar sudah menyadari bahwa rumah dihadapannya ini adalah milik Arash. 

Mereka memasuki rumah Arash.  Seperti prediksi, sunyi, dingin, dan menegangkan.  “Duduk! Aku butuh banyak penjelasan!” ucap Arash memecah lamunan Lunar.  Netranya menelisik ke seluruh penjuru rumah.  Tidak ada jajaran foto keluarga.  Dinding rumahnya kosong.  Hanya dihiasi oleh jam dinding besar yang suara detiknya terasa mengintimidasi. 

"Lancang banget taro GPS?” Arash mulai mengajukan pertanyaan.  Matanya tajam menatap Lunar.  Arash selalu memiliki sisi mengintimidasi yang kuat.  Siapapun yang berhadapan dengan dirinya akan merasa ragu untuk sekedar bersuara. 

“Sorry, I admire you so much"jawab Lunar tanpa berani mengangkat  pandangannya menuju Arash.  “That's not admire. That's obsession,” Arash jelas kontra dengan pernyataan Lunar.  Namun, mimik wajah Lunar berganti dalam hitungan detik.  Sudut kiri bibirnya naik, ia menyeringai.  "Ralat.  I was obsessed. Iya aku terobsesi sama kamu.  Dulu.  Karena sekarang aku ga mungkin suka sama pembunuh".  Penjelasan Lunar membuat degup jantung Arash menjadi riuh. 

Lunar mengeluarkan ponselnya.  Menayangkan sebuah rekaman pendek CCTV di sekolah.  “Korban masuk ke gedung, sendirian.  Tapi liat, kamu ada dibelakangnya.  Kamu ikutin korban sampe atas.  Bahkan, di saat aku ngelacak lokasi kamu waktu itu, titik kamu bener bener pas sama titik jatuh korban.  Kamu udah sampai duluan di sana sebelum aku.  Dan kamu udah ada di sana sebelum cewek itu jatuh,”  Lunar menjabarkan dengan penuh Keyakinan. 

“Gak cuman itu. Aku datengin lagi tim forensik, dan mereka bilang ada temuan sidik jari lain di tubuh korban.  Dan itu sidik jari kamu.  Tapi tim forensik bener-bener kooperatif sama kamu, karena kamu nyogok banyak uang untuk bikin mereka bungkam.  Kamu pembunuh, Arash…".  Arash tidak terima.  Emosinya memuncak.  Ia berdiri dan mendorong Lunar sekuat tenaga hingga tersungkur di lantai. 

“Gak usah sok tahu!” ucap Arash lagi-lagidengan intonasi nya yang dingin.  Dirinya sudah dikuasai emosi sepenuhnya. 

Seiring langkah Arash yang semakin maju mendekati dirinya, Lunar bersusah payah mundur dan menghindar dari Arash.  Mencoba memutar otak Bagaimana caranya menyelamatkan diri dari Arash yang sudah dikuasai emosi.  Matanya menangkap sebuah vas bunga kaca berukuran sedang yang ada di belakangnya dari pantulan refleksi di cermin depan.  Ia bergerak perlahan, mencoba meraih vas bunga tersebut sebagai tameng pertahanan diri.  Ia tidak berniat untuk melukai Arash. 

Tanpa aba-aba, Arash melayangkan tangannya kepada Lunar, berniat untuk memukulnya sekuat tenaga.  Namun, belum sempat tangan Arash menyentuh kulit Lunar, ia sudah terlebih dahulu memukul vas bunga berbahan kaca itu ke bagian kiri kepala Arash. 

Darah segar mengalir deras dari kepala Arash.  Tumpuannya melemah, tangannya mencoba menutupi luka tersebut.  Namun apa daya, pandangannya kabur dan matanya terpejam dalam hitungan detik. 

Tangan Lunar bergetar.  Ia enggak n percaya bahwa ia baru saja membuat Arash terluka parah hingga kehilangan kesadaran.  Ia tidak tahu apakah Arash masih bernyawa atau sebaliknya, karena darah yang mengalir sangat deras hingga memenuhi permukaan lantai.  Kaca dari vas bunga tersebut menancap dengan jelas tepat di atas telinga kiri Arash. 

Tiba-tiba, sebuah langkah kaki berhasil memecah atmosfer menegangkan.  Kepalanya menoleh mencari sumber langkah kaki tersebut.  Yang ia dapatkan adalah, sesosok siluet hitam yang ia lihat persis malam itu. 

“Terima kasih karena sudah membantu menghilangkan salah satu beban saya,” ucapnya seraya membuka topi hitam yang menutupi wajahnya. 

Tubuh Lunar melemah sepenuhnya melihat siapa yang berdiri tepat di hadapannya.  “Takdir membuat kita bertemu lagi, Lunar.  CCTV yang kamu lihat itu benar.  Arash yang nyusulin saya buat nahan untuk ga bunuh cewek yang saya hamilin itu.  Untuk sidik jari, cewek itu sempet megang jaket yang saya pake sekarang, karena jaket ini milik Arash..”

“Siluet hitam yang kamu lihat malam itu saya.  Arashya…”  .

***

Setelah persidangan panjang dan atas bukti yang diberikan oleh saksi mata sekaligus pelapor, juga karena tersangka yang bersifat kooperatif dan menyerahkan diri, Arashya Devandra dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Suara ketukan palu sebanyak tiga kali membuat Lunar bernapas lega.  Dirinya tidak lagi dihantui rasa dendam akibat apa yang Arashya lakukan di masa lalu. 

Kakinya melangkah dengan penuh kemenangan keluar dari gedung pengadilan.  Masalah besar dan misteri besar dalam hidupnya berhasil ia pecahkan.  Namun, lain dengan respon kedua matanya.  Cairan bening mengalir deras dari netranya, menangisi Arash yang kini sudah terkubur jauh di dalam tanah.  Kerusakan di dalam kepalanya akibat benturan keras dari vas bunga membuat fungsi internal otak Arash terganggu. Otaknya tidak bisa lagi mengalirkan sinyal kehidupan bagi tubuhnya. 

Harsanya tak pernah bertahan lama.  Namanya seolah ditulis tepat bersandingan dengan Lara.  Air matanya bukan lagi sebagai representasi atas kesedihannya, melainkan kesadaran akan Lunar dan laranya yang tidak pernah usai. ***





×
               
         
close