Oleh: Arin
(SMAN 4 CImahi)
1.1 km away from me
Netranya
larut menelusuri keberadaan seseorang di aplikasi tracker miliknya. Gelapnya
langit dan sendunya cahaya bulan tidak melenyapkan intensinya untuk sekedar
melihat apa yang sang tambatan hati sedang lakukan.
Atensi
berlebih pada ponsel digenggamannya membuat setumpuk buku milik seseorang
berhamburan ke tanah. Ia menundukkan
tubuhnya berkali-kali sebagai isyarat bahwa ia memohon maaf atas pandangannya
yang hanya tertuju pada satu titik, sehingga bertabrakan dengan seseorang
menjadi kesalahannya yang seutuhnya.
“Bukannya
minta maaf!” sinis sang pemilik buku sembari memunguti bukunya yang
berhamburan. Rupanya, isyaratnya tidak tersampaikan.
Ia
menggerakan jari tangannya dengan lihai, membentuk sekumpulan gerakan menjadi
sebuah kalimat, Saya minta maaf.
“Oh,
bisu…". Tanpa permisi, wanita itu
meninggalkan dirinya yang dipenuhi rasa nelangsa.
Lunar
masih tidak bisa menerima kenyataan pahit yang menimpa dirinya. Kemampuannya untuk sekedar mengartikulasikan
sebuah kalimat tidak lagi ia miliki.
Namun walaupun begitu, ia tidak pernah menyesal atas kenekatannya pada
insiden tahun lalu. Sisa hidupnya ia
habiskan dengan menonton dan membaca banyak panduan untuk lihai berbahasa
isyarat. Kesehariannya ia penuhi dengan
gerakan gerakan tangan yang terasa sangat asing. Pergerakan tangannya yang kaku dan putus asa
terkadang membuat air matanya ikut berkontribusi dalam setiap pembelajaran
bahasa isyarat yang ia kerjakan.
Laranya
yang menyesak berhasil dibuyarkan oleh delusinya akan sang tambatan hati. Arash, laki-laki yang telah menjadi pusat
hidupnya selama jangka waktu yang panjang.
Obsesinya terhadap Arash sudah melintasi sebuah batas yang disebut
kewajaran. Bahkan kini, raganya tanpa
ragu menelusuri keberadaan global
positioning system (GPS) yang telah ia pasang di salah satu benda milik
Arash.
***
15 m away from me
Aplikasi tracker di ponselnya membuat debaran
jantung Lunar semakin tak terkendali.
Euforianya menguar menunggu netranya menangkap siluet seseorang yang Ia
nanti. Pandangannya menelisik setiap
inci gedung sekolah yang penerangannya sudah mulai sendu.
Alih-alih
Arash yang ia temukan, seorang wanita yang belum lama ia tabrak tadi sedang
terjun bebas dari lantai ke tujuh di sebuah gedung sekolah. Pendaratannya membuat perut sang wanita
tersebut menancap dan menembus tiang pembatas trotoar. Tumpuannya melemah seraya pandangannya
menangkap siluet hitam tepat di tempat wanita itu menjatuhkan diri. Dengan tenang, siluet itu pun pergi tanpa
peduli akan kondisi wanita yang baru saja berpijak ditempat yang sama
dengannya.
Debaran
ritme jantungnya yang tidak beraturan akibat akan melihat Arash berubah dalam
hitungan detik menjadi kegelisahan akan yang baru saja ia saksikan. Raganya ia paksa mendekati wanita yang sudah
terbaring dengan bersimbah banyak darah.
Hatinya ragu bahwa sang wanita masih bernyawa.
***
1 m away from me
“Telfon ambulan!” ucap seseorang di
belakangnya dengan gusar. Lunar berbalik
dan mendapatkan sosok yang ia cari ternyata sudah menghampiri. Jiwanya dipenuhi rasa cemas, ia menutup aplikasi
trackernya dan menghubungi nomor
darurat. "
Public Safety Center 119. Ada yang bisa kami
bantu? Lunar menyerahkan ponselnya kepada Arash. Ia kembali menggerakkan tangannya dan memberi
isyarat bahwa ia memiliki keterbatasan untuk berbicara.
"Halo? Pak? Saya mau melapor, di SMA
Bhintara Jaya bagian kiri Gedung D baru aja ada yang bunuh diri!". Darahnya berdesir, Lunar yakin yang baru saja
ia saksikan bukan lah bunuh diri, melainkan sebuah pembunuhan. Baik.
Dimohon untuk tetap tenang. Dengan siapa saya berbicara?
“Saya
Arash".
Arash
mengembalikan ponsel milik Lunar. Ia
menyadari bahwa tangan Lunar gemetar dan matanya memerah. Ia menajamkan pandangannya mencari seseorang
yang bisa diandalkan untuk mengamankan lokasi
kejadian di saat ia akan menenangkan Lunar.
“Tolong
semuanya mundur! Saya udah telfon Ambulan,” Arash memerintah kepada kerumunan
yang terus bertambah dan mulai berdiri melingkari mayat. Kondisinya naas, tubuh telungkup dengan kaki
kanan yang patah, darah yang tidak berhenti mengalir dari kepalanya, serta
bagian tengah perutnya yang menembus tiang pembatas trotoar.
Arash
menyadari tingkah laku Lunar yang hanya terduduk lemas di permukaan. Ia membawa Lunar menjauhi tempat kejadian
untuk menenangkannya. Arash tahu, Lunar
menyaksikan dengan jelas seseorang jatuh tepat dihadapannya.
"Minum
dulu, Lunar!” Arash berucap seraya memberikan sebotol air miliknya kepada
Lunar. Bukan sebuah terima kasih yang
Arash terima, melainkan kedua mata Lunar yang terbelalak akibat Arash
menyebutkan namanya.
Sudut
bibirnya terangkat saat melihat respon Lunar yang buru buru menutup name tag
nya dengan telapak tangan. "Udah
liat, Lunar Ashaira,” . Bibirnya yang
masih membentuk garis senyuman juga matanya yang kini menyipit membuat Lunar
tidak percaya akan yang baru saja ia lihat di hadapannya. Pandangannya ia alihkan dari netra
Arash. Ia bergelut dengan hatinya yang
enggak n percaya bahwa lelaki di hadapannya adalah seseorang yang kehadirannya
selalu ia nantikan. Lunar mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia sedang berhadapan
dengan Arash, lelaki yang selama ini selalu membuat deru pacu jantung Lunar
menjadi riuh.
“Arash
Devandra,” ucap Arash sambil menjulurkan tangannya. Udah
tahu! Apa daya Lunar yang hanya bisa menjawab dalam hati karena nyalinya
belum berani untuk berinteraksi. Lunar
menerima jabatan tangan Arash, sebagai tanda mereka resmi berkenalan.
Suara
riuh sirine ambulan berhasil mendistraksi pertemuan awal Lunar dan Arash. Keduanya tanpa ragu menghampiri kerumunan dan
melihat korban yang mulai dievakuasi.
“Apa ada seseorang yang menyaksikan langsung kejadian ini?”Salah satu
tim medis mengajukan pertanyaan. Tanpa
pertimbangan, Lunar mengangkat tangannya
tinggi tinggi berharap eksistensinya disadari ditengah kerumunan. Ia berniat untuk menyampaikan sesuatu yang
menurutnya harus disuarakan.
Tubuhnya
menerobos barisan orang orang untuk sampai di hadapan si pengaju
pertanyaan. Tak lupa dengan Arash yang
mengekorinya dari belakang.
"Perkenalkan…
saya Raina selaku perwakilan dari tim medis.
Dengan Kak?"
"Lunar,”
Arash membantu menjawab pertanyaan Raina.
"Jadi,
gimana Kak Lunar? Bisa saya mintai keterangan?". Lunar dengan cepat mengetikkan untaian
kalimat di catatan ponselnya dan menyerahkannya kepada Raina.
Saya lihat ada siluet orang di atas gedung dan
berdiri tepat sejajar sama lokasi jatuhnya korban. Dan waktu korbannya jatuh
tepat di atas permukaan tanah, siluetnya pergi. Saya ga yakin kalau ini kasus
bunuh diri, melainkan sebuah kasus pembunuhan.
Usai
membaca kalimat terakhir dari apa yang Lunar sampaikan, Raina memasang mimik
wajah yang tidak percaya. Namun berbeda
dengan Arash. Tanpa mengeluarkan satu
patah kata pun, ia menarik Lunar menjauh dari tempat itu tanpa permisi.
Arash
mencengkram tangan Lunar dengan sangat kuat dan melangkahkan kakinya menuju
tempat yang sunyi. “Tahu dari
mana?”Intonasinya yang dingin membuat atmosfer menjadi penuh ketegangan. Lunar menatap mata Arash dalam dalam dan
tidak menemukan bahwa ini adalah Arash yang memberikannya senyuman beberapa
menit lalu.
Lunar dengan
penuh keheranan mulai menggerakan tangannya untuk menyampaikan isyarat bahwa ia
melihat itu semua dengan mata kepalanya sendiri.
"Liat dari mana kalau dia ngebunuh cewek
itu?”Lag-lagi pertanyaan yang Arash lontarkan
bukan terasa seperti keingintahuan karena kepeduliannya terhadap korban. Melainkan desakan untuk mengetahui seberapa
banyak yang Lunar saksikan. Lunar
bergeming. Ia mengakui bahwa kedua
netranya tidak menangkap jika siluet itu mendorong seseorang. Tapi entah apa yang meyakinkannya bahwa
perempuan itu tidaklah bunuh diri.
Tangannya kembali ia gerakan untuk memberikan Arash pertanyaan yang
mengganggu pikirannya.
Kenapa panik? Tingkah
laku Arash membuat Lunar berpikir bahwa ada sesuatu yang janggal baru saja terjadi. Kini bagian Arash yang bergeming. Ia menyadari bahwa kepanikannya telah
membuahkan hasil yang buruk di pikiran Lunar.
“Siapa
yang panik?” Arash mengelak sembari megalihkan kontak matanya dengan
Lunar. Lunar mencurigai bahwa sesuatu
telah terjadi kepada Arash. Namun kecurigaannya
tersisihkan, karena mana mungkin ia mencurigai seseorang yang ia cintai.
Atmosfer
yang terasa semakin tidak enak membuat Lunar memutuskan untuk melangkahkan
kakinya pergi menjauh dari hadapan Arash.
Ia berniat untuk menghampiri Raina kembali dan memberikan lebih banyak
pernyataan yang memungkinkan dapat membantu penyelidikan mengenai kasus
ini. Sekali lagi, hati dan pikirannya
dipenuhi Keyakinan bahwa yang baru saja terjadi adalah sebuah kasus pembunuhan. Karena, orang gila macam apa yang melihat
seseorang terjatuh dan hanya pergi dalam diam tanpa meminta pertolongan.
Sebelum
niatnya untuk menemui Raina terlaksana, Arash terlebih dahulu menahan tangan
Lunar. Bibirnya bergerak ragu seolah
takut menyuarakan sesuatu. Namun akhirnya,
Arash memberanikan kedua netranya menatap Lunar dan mengatakan, “Ayo
kita selidiki kasus ini bareng bareng,”
***
"CCTV
yang berfungsi cuma di bagian kanan gedung, Lunar. Dan di jam itu, gak ada tanda-tanda orang
mencurigakan lewat, kecuali cewek itu,” Arash menjabarkan hasil penyelidikannya
sore ini kepada Lunar. Ruang penyiaran
di salah satu gedung sekolah sudah menjadi titik kumpul mereka setiap akan
membahas kasus ini.
“Tim
Forensik juga gak ada kabar. Terakhir
mereka cuma bilang kalau gak ada tanda tanda perlawanan atau pertahanan diri di
badan korban. Bahkan, gak ada DNA lain
yang kerekam di badan korban,”Lunar menyampaikan penjelasannya dengan bahasa
isyaratnya yang semakin mahir. Begitu
pula dengan kemampuan Arash yang kini sudah mulai bisa memahami bahasa isyarat
akibat puluhan video yang ia tonton di youtube demi bisa berkomunikasi dengan
Lunar.
Dua minggu
berlalu tanpa membuahkan sebuah hasil yang diharapkan. Pihak Sekolah, pihak Medis dan bahkan pihak
Kepolisian merasa kesaksian Lunar mengenai Siluet itu tidak bisa sepenuhnya
dipercayai, karena satu bukti pun tidak ia kantongi. Mencari rekaman CCTV, mencari saksi lain di
sekitar lokasi kejadian, menyelidiki
sidik jari atau bahkan DNA yang berpotensi tertinggal di tubuh korban, sampai
mencari sebesar apa relasi pertemanan korban untuk mencari pelaku- tidak pernah
membuahkan hasil yang mereka harapkan.
Usahanya selama dua minggu terasa sia-sia. Karena Lunar merasa, apa yang mereka lakukan
sekarang hanyalah membuang waktu berharga yang mereka miliki.
Namun
hasil lain berhasil ia dapatkan. Bukan
hasil mengenai penyelidikan kasus pembunuhan, melainkan hasil mengenai usahanya
selama ini untuk mendekatkan dirinya dengan Arash. Jarak diantara dirinya dan Arash semakin
terkikis. Walaupun yang menjadi topik
utama obrolan mereka setiap hari adalah selalu mengenai kasus ini, Lunar tetap
menikmatinya. Ia menikmati setiap detik
yang ia lewati bersama dengan Arash.
Begitu
pula dengan Arash. Ia mendedikasikan
banyak waktunya untuk belajar bahasa isyarat.
Tugas tugasnya terlewatkan untuk menonton puluhan video pembelajaran
bahasa isyarat agar komunikasinya dengan Lunar berjalan lancar. Mereka selalu menghabiskan waktunya
bersama. Berpegang teguh dan bertekad
bahwa mereka bisa menyelesaikan dan mengungkap apa yang sebenarnya terjadi
dibalik kasus ini.
Namun
berbeda dengan sore ini. Keduanya merasa
cukup muak dengan penyelidikannya yang tidak pernah membuahkan hasil. Alhasil, Arash memulai topik pembicaraan yang
sebelumnya tidak pernah mereka bicarakan.
"Lunar
tuh artinya Matahari,ya?” Arash melontarkan
pertanyaan yang ia sendiri pun sudah tahu jawabannya.
"Ngaco
banget! Lunar tuh bulan!" Jawaban
Lunar yang dipenuhi kesengitan berhasil membuat sudut bibir Arash kembali
naik. Entah kenapa, wanita di hadapannya
ini sangat mudah terpancing emosi akan masalah masalah kecil. Alisnya mengerut dan matanya mendelik tajam
ke arah Arash. Hal ini yang membuat
Arash sangat senang mengusili Lunar.
Tapi walaupun begitu, Arash tahu pasti kapan saat Lunar benar benar
marah. Tidak seperti biasanya, ia akan
lebih banyak diam dan memandangi sebuah objek dengan muka yang datar. Siapapun yang berdiri di samping Lunar akan
menyadari bahwa atmosfer yang tersebar saat ia marah akan berbeda.
“Oh,
pasti mama kamu suka bulan? tanya Arash benar benar penasaran. Seumur hidupnya, ia tidak pernah bertemu
dengan seseorang bernama Lunar. Namanya
asing di telinganya. Untuk sekedar
mengartikulasikannya pun terasa sulit karena saking tidak pernahnya ia
mendengar nama Lunar.
“Iya,
makannya waktu aku lahir dan mama pergi duluan.
Papa kasih aku nama Lunar yang artinya Bulan. Karena mama suka Bulan. Dan kebetulan, waktu itu lagi bulan
purnama. 99,67% wujud Bulan keliatan jelas dari Bumi . Aku lahir dan mama pergi dengan keadaan Bulan
yang cantic," jelas Lunar panjang
lebar sambil memfokuskan netranya pada langit sore yang mulai jinggak.
"Mama
kamu…pergi?” Arash bertanya dengan penuh kehati-hatian.
“Iya,
pergi ke Bulan. Dulu, tiap aku tanya
papa, kemana sosok mama di hidup aku, papa selalu bilang kalau Mama pergi
duluan ke Bulan. Padahal seiring
berjalannya waktu, ya aku tahu mama udah meninggal…" Arash menyimak penjelasan Lunar dengan penuh
sendu. Ia tahu persis apa yang Lunar
rasakan saat ditinggal sang Ibu.
“Aku juga,
Lunar. Mama aku dan Mama kamu kayaknya
lagi ngobrol ya di Bulan. Kaya kita
sekarang, ngobrol di Bumi ,”Lunar memberikan mimik wajah yang tidak bisa
dibaca. Ia bertemu seseorang yang
keadaannya sama. Sama-sama tumbuh tanpa
sosok ibu. Keduanya tertawa karena
perkataan Arash. Mereka sudah berdamai
dengan masa lalu. Mengikhlaskan
kepergiannya adalah hal yang memakan waktu bertahun tahun. Tapi kini, rasanya keluh kesah di lubuk hati
terasa terbayarkan karena seluruh kesedihannya tersalurkan kepada seseorang
yang bernasib sama.
“Kalau
Arash, artinya apa?” Lunar melemparkan pertanyaan yang sama pada Arash.
“Katanya
sih Pahlawan. Papa namain anak-anaknya
dengan arti Pahlawan, karena mau kita jadi pahlawan untuk diri sendiri dan
orang lain. Pahlawan tanpa ibu gitu katanya. Jadi di keluarga aku isinya cowok semua, dan
arti nama kakakku juga Pahlawan,” Arash terlarut dalam ceritanya, membayangkan
masa masa emas dimana keluarganya belum terpecah belah.
“Kamu
punya kakak? Kakakmu namanya Arash juga gitu?”Lunar penasaraan. Lunar mulai larut dalam percakapan
sederhananya dengan Arash. Sudut bibirnya tidak berhenti terangkat, menandakan
bahwa kini Lunar benar benar dipenuhi Euforia akibat kedekatannya dengan Arash.
“Iya,
kakak aku cowok. Dia kerja jadi pengacara
sekarang, namanya Arashya,” . Darah
Lunar berdesir. Tanpa sepengetahuan
Arash, ia baru saja membongkar sebuah rahasia yang besar kepada Lunar.
Bunga tak selamanya bermekaran. Kupu-kupu tak
selamanya berterbangan. Tujuh warna cantik pelangi, Arash ubah menjadi monokrom
dalam milidetik. Seperti sudut bibir Lunar yang kini menurun, matanya tak lagi
menyipit menandakan seberapa lebarnya ia tersenyum. Deru pacu jantungnya
kembali riuh karena pernyataan Arash. Spekulasi aneh mulai memenuhi pikiran Lunar.
Satu tahun lalu.
"Pak,
mau sampe kapan bapak tutup mulut?” ucap Lunar penuh penekanan.
"Udah
lah. Kesalahan Ayahmu ini udah
keterlaluan….!"
“Selain
tutup mulut, bapak juga tutup telinga sama keadaan ya!”. Emosinya memuncak, suaranya semakin merendah tanda kemarahannya
ia pendam.
“Anak
kecil tahu apa? Gak usah ikut ikutan masalah orang dewasa kamu, Lunar. Merepotkan!"
“Saya
tahu apa? Saya tahu satu hal, kalau pengacara di depan saya ini tidak
kompeten. Bapak lebih cocok disebut
penipu daripada pengacara!” Lunar
melangkahkan kakinya keluar. Ia tidak
habis pikir, Papanya dijebak atas kasus pelecehan seksual.
Pelaku
yang sebenarnya adalah atasan Papa Lunar di pekerjaan. Ia mengirimkan pengacara hanya untuk sekedar
membantu meringankan masa hukuman. Bukan
benar-benar untuk membela kebenaran.
Seiring
berjalannya waktu, saat Lunar sudah mengumpulkan berbagai bukti kuat untuk
membuktikan bahwa Papanya tidak bersalah, tiba-tiba rumahnya didatangi
segelintir orang orang berjas. Mereka
menggeledah rumah Lunar dan menghancurkan berbagai bukti yang Lunar simpan rapi
di kamarnya. sebagian dari mereka
mencoba mengikat Lunar di sebuah kursi dengan tali.
“Sudah
saya peringatkan, anak kecil jangan menghalangi pekerjaan saya!”Lunar hanya
mampu mendelikkan matanya, karena kedua tangan dan kakinya telah diikat rapat
oleh sekumpulan orang tersebut.
“Anak
kecil kaya kamu ini ga usah sok sok an bantuin kasus besar kaya gini. Kamu bukan tandingan saya!” ucapnya
angkuh.
“Terus,
kalau bapak merasa saya bukan tandingan bapak, kenapa harus berlaku sejauh ini?
Bukannya malah kelihatan kalau bapak takut sama apa yang bakal saya lakuin ke
depannya? Sampe bapak berani ngelakuin hal curang dan menjijikan kaya
gini. Se takut itu pak buat bertanding
secara sehat sama anak kecil?"
Lunar berucap penuh Keyakinan.
"Lunar,
saya selalu benci sama semua yang keluar dari mulut kamu. Gimana kamu membela papamu, gimana kamu menghina saya. Saya berharap apa yang bakal saya lakuin kali
ini bakal mengobati rasa kesal saya pada kamu,”Lelaki itu mengeluarkan sebuah
koper hitam kecil. Ia membukanya
perlahan dan menemukan sebuah suntikan dan sebuah tabung kecil berisi
cairan.
Tangannya
mengambil benda tersebut dan menyodorkannya tepat di hadapan muka Lunar, “Ini
zat pelumpuh saraf. Saya menghabiskan
banyak sekali uang cuma buat beli barang ini!". Jantung Lunar berubah menjadi riuh. Ia khawatir dengan kehidupannya dalam
beberapa menit ke depan.
“Oh,
tenang, saya gak akan buat kamu mati cuma karena zat ini. Saya cuma mau liat kamu tersiksa di dunia ini
dengan kemampuan bicara kamu yang menghilang.
Saya mau liat kamu berhenti melontarkan
kata kata jahat yang tertuju pada saya.
Saya mau buat kamu bungkam.
Selamanya!”. Lunar berontak. Pundaknya di tahan oleh sekumpulan
orang. Ia tidak terima jika kemampuan
bicara nya akan hilang.
"Pak
Arashya, bapak adalah manusia terburuk yang pernah saya temui. Bumi
gak pantas menampung manusia kotor seperti Bapak!". Kalimat
terakhir yang bisa Lunar ucapkan sebelum
akhirnya, pita suaranya benar
benar rusak.
***
"Lunar?
Ngelamunin apa? Hey!".
Lintas
baliknya terputus begitu saja akibat gerakan tangan Arash yang melambai-lambai
di depan mukanya. Kakak Arash bukanlah
orang yang baik. Pak Arashya bukan
seorang pengacara yang kompeten. Lunar
enggak n percaya bahwa yang melumpuhkan pita suaranya adalah kakak dari
seseorang yang ia cintai.
Lunar
ingin memastikan sesuatu, pikirannya liar dan bercabang memikiran serangkaian
kejadian janģgal yang terjadi dari hari pembunuhan. Tanpa pertimbangan, ia melontarkan sebuah pertanyaan yang malah menjadi bumerang balik
baginya, "Malam itu, kamu Ngapain
masih di sekolah? Bukannya udah ga ada jadwal ekskul?".
Mimik
wajah Arash kembali berubah. Arash
kembali menjadi sosok dingin bermuka datar yang Lunar temui malam itu. “Tahu dari mana gak ada jadwal ekskul?" Lunar panik, ia tidak mungkin berkata
jujur bahwa selama ini ia telah membuntuti dan mengawasi Arash kemanapun ia
pergi. "Nebak,” jawab Lunar asal karena kepanikan memenuhi
dirinya.
“Kamu? Ngapain kamu masih ada di sekolah malem-malem?” Arash melontarkan pertanyaan yang tidak Lunar
duga akan membuatnya menyesal telah mengangkat
topik ini. Lunar bergeming. Memikirkan seribu satu alasan untuk menjawab
pertanyaan Arash. "Ngapain, Lunar?”Ulang Arash menekankan
pada Lunar.
“Arash,
maaf" Jawab Lunar tanpa menatap netra Arash. "Maaf apa?”Intonasi Arash semakin
mengintimidasi Lunar. Ia bergelut dengan
pikirannya, haruskah ia jujur atau
berbohong?
“Aku
pasang GPS di dalem casing airpods
kamu. Aku tahu kamu selalu dengerin lagu
pake airpods. Dan aku tahu, kamu
selalu bawa airpods kamu kemana
mana,” .
Arash diam. Responnya tidak
meledak seperti yang Lunar pikirkan. Ia
kira, Arash akan marah dan memaki dirinya, namun kesunyian dengan atmosfer
menegangkan memenuhi ruangan.
Stalker, tanpa permisi, Arash
mengambil tasnya dan meninggalkan Lunar yang dipenuhi rasa bersalah
sendirian.
***
Lima hari
tanpa kehadiran Arash membuat Lunar menemukan berbagai bukti temuan baru
mengenai kasus pembunuhan lalu. Tak
lupa, ia juga mencari keberadaan Arash untuk mengatakan bahwa ia menyesal atas
perilakunya. Namun eksistensi yang ia
cati tak kunjung menghampiri. Langkahnya
putus asa menyusuri jalanan setapak dengan latar langit yang mulai
jinggak. Netranya menangkap seseorang
yang eksistensinya hampir ia cari seharian.
Langkahnya melaju cepat menuju seseorang di hadapannya, dengan harapan
ia dapat menggapai orang tersebut sebelum kehilangan jejaknya.
Tangannya
menggapai pundak Arash. “Arash,
maaf,”. Permohonan maaf Lunar tidak
dihiraukan oleh Arash. Lelaki itu
mematikan rokoknya dan segera memakai helmnya, berniat menjauhkan diri dari
Lunar.
“Arash!". Tangannya berulang membentuk isyarat
permohonan maaf pada Arash. Namun, Arash
tetap pada tujuannya untuk pergi menjauh dari Lunar. Ia bahkan kini memutar kunci motornya. Lunar berlutut, mengisyaratkan bahwa ia benar
benar menyesal atas apa yang telah ia perbuat.
Kedua lututnya mendarat tepat di atas permukaan tanah, tangannya tidak
berhenti mengisyaratkan bahwa ia meminta maaf.
Hati Arash melunak, dengan berat hati ia beranjak dari motornya dan
menghampiri Lunar.
"Naik!”
ucap Arash dingin sembari mengajak Lunar menuju motornya. Tanpa ragu, Lunar berdiri dan mengikuti
arahan Arash.
Jalanan
yang sepi menjadi peluang besar untuk Arash mempercepat laju motornya. Ia membawa Lunar menuju rumahnya untuk
dimintai rangkaian penjelasan atas apa yang selama ini Lunar lakukan pada
Arash. Motornya berhenti dihadapan sebuah
Rumah Putih besar yang terasa dingin dan sunyi.
“Turun,”Perintah Arash kepada Lunar yang masih duduk di motornya. Tanpa perlu penjelasan, Lunar sudah menyadari
bahwa rumah dihadapannya ini adalah milik Arash.
Mereka
memasuki rumah Arash. Seperti prediksi,
sunyi, dingin, dan menegangkan. “Duduk!
Aku butuh banyak penjelasan!” ucap Arash memecah lamunan Lunar. Netranya menelisik ke seluruh penjuru
rumah. Tidak ada jajaran foto
keluarga. Dinding rumahnya kosong. Hanya dihiasi oleh jam dinding besar yang
suara detiknya terasa mengintimidasi.
"Lancang
banget taro GPS?” Arash mulai mengajukan pertanyaan. Matanya tajam menatap Lunar. Arash selalu memiliki sisi mengintimidasi
yang kuat. Siapapun yang berhadapan
dengan dirinya akan merasa ragu untuk sekedar bersuara.
“Sorry, I admire you so much"jawab
Lunar tanpa berani mengangkat
pandangannya menuju Arash. “That's not admire. That's obsession,”
Arash jelas kontra dengan pernyataan Lunar.
Namun, mimik wajah Lunar berganti dalam hitungan detik. Sudut kiri bibirnya naik, ia
menyeringai. "Ralat. I was
obsessed. Iya aku terobsesi sama kamu.
Dulu. Karena sekarang aku ga
mungkin suka sama pembunuh".
Penjelasan Lunar membuat degup jantung Arash menjadi riuh.
Lunar
mengeluarkan ponselnya. Menayangkan
sebuah rekaman pendek CCTV di sekolah.
“Korban masuk ke gedung, sendirian.
Tapi liat, kamu ada dibelakangnya.
Kamu ikutin korban sampe atas.
Bahkan, di saat aku ngelacak lokasi
kamu waktu itu, titik kamu bener bener pas sama titik jatuh korban. Kamu udah sampai duluan di sana sebelum
aku. Dan kamu udah ada di sana sebelum
cewek itu jatuh,” Lunar menjabarkan
dengan penuh Keyakinan.
“Gak cuman itu. Aku datengin lagi tim forensik, dan mereka bilang ada temuan sidik
jari lain di tubuh korban. Dan itu sidik
jari kamu. Tapi tim forensik bener-bener kooperatif sama kamu, karena
kamu nyogok banyak uang untuk bikin
mereka bungkam. Kamu pembunuh,
Arash…". Arash tidak terima. Emosinya memuncak. Ia berdiri dan mendorong Lunar sekuat tenaga
hingga tersungkur di lantai.
“Gak usah
sok tahu!” ucap Arash lagi-lagidengan
intonasi nya yang dingin. Dirinya sudah
dikuasai emosi sepenuhnya.
Seiring
langkah Arash yang semakin maju mendekati dirinya, Lunar bersusah payah mundur
dan menghindar dari Arash. Mencoba
memutar otak Bagaimana caranya menyelamatkan diri dari Arash yang sudah
dikuasai emosi. Matanya menangkap sebuah
vas bunga kaca berukuran sedang yang ada di belakangnya dari pantulan refleksi
di cermin depan. Ia bergerak perlahan,
mencoba meraih vas bunga tersebut sebagai tameng pertahanan diri. Ia tidak berniat untuk melukai Arash.
Tanpa
aba-aba, Arash melayangkan tangannya kepada Lunar, berniat untuk memukulnya
sekuat tenaga. Namun, belum sempat
tangan Arash menyentuh kulit Lunar, ia sudah terlebih dahulu memukul vas bunga
berbahan kaca itu ke bagian kiri kepala Arash.
Darah
segar mengalir deras dari kepala Arash.
Tumpuannya melemah, tangannya mencoba menutupi luka tersebut. Namun apa daya, pandangannya kabur dan
matanya terpejam dalam hitungan detik.
Tangan
Lunar bergetar. Ia enggak n percaya
bahwa ia baru saja membuat Arash terluka parah hingga kehilangan
kesadaran. Ia tidak tahu apakah Arash
masih bernyawa atau sebaliknya, karena darah yang mengalir sangat deras hingga
memenuhi permukaan lantai. Kaca dari vas
bunga tersebut menancap dengan jelas tepat di atas telinga kiri Arash.
Tiba-tiba,
sebuah langkah kaki berhasil memecah atmosfer menegangkan. Kepalanya menoleh mencari sumber langkah kaki
tersebut. Yang ia dapatkan adalah,
sesosok siluet hitam yang ia lihat persis malam itu.
“Terima
kasih karena sudah membantu menghilangkan salah satu beban saya,” ucapnya
seraya membuka topi hitam yang menutupi wajahnya.
Tubuh
Lunar melemah sepenuhnya melihat siapa yang berdiri tepat di hadapannya. “Takdir membuat kita bertemu lagi,
Lunar. CCTV yang kamu lihat itu
benar. Arash yang nyusulin saya buat
nahan untuk ga bunuh cewek yang saya hamilin itu. Untuk sidik jari, cewek itu sempet megang
jaket yang saya pake sekarang, karena jaket ini milik Arash..”
“Siluet
hitam yang kamu lihat malam itu saya.
Arashya…” .
***
Setelah
persidangan panjang dan atas bukti yang diberikan oleh saksi mata sekaligus
pelapor, juga karena tersangka yang bersifat kooperatif dan menyerahkan diri,
Arashya Devandra dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Suara ketukan palu
sebanyak tiga kali membuat Lunar bernapas lega.
Dirinya tidak lagi dihantui rasa dendam akibat apa yang Arashya lakukan
di masa lalu.
Kakinya
melangkah dengan penuh kemenangan keluar dari gedung pengadilan. Masalah besar dan misteri besar dalam
hidupnya berhasil ia pecahkan. Namun,
lain dengan respon kedua matanya. Cairan
bening mengalir deras dari netranya, menangisi Arash yang kini sudah terkubur
jauh di dalam tanah. Kerusakan di dalam
kepalanya akibat benturan keras dari vas bunga membuat fungsi internal otak
Arash terganggu. Otaknya tidak bisa lagi mengalirkan sinyal kehidupan bagi
tubuhnya.
Harsanya
tak pernah bertahan lama. Namanya seolah
ditulis tepat bersandingan dengan Lara.
Air matanya bukan lagi sebagai representasi atas kesedihannya, melainkan
kesadaran akan Lunar dan laranya yang tidak pernah usai. ***