Oleh: Asep Dadang
(Kepala SD Al Azhar Syifa Budi Padalarang)
Kenalkan aku, Arya Teja Kusuma. Teman-teman
dan guru memanggilku Teja. Namun aku lebih suka dipanggil Arya. Entah kenapa
panggilan itu lebih menyemangati dan membuatku nyaman. Suatu panggilan yang
lumayan keren dan macho menurutku. Umurku menginjak 12 tahun. Tahun ini
adalah tahun pertamaku di SMP. Hobiku bermain gitar. Aku mempunyai gitar yang
sangat kusayangi. Sampai-sampai ketika tidur ia akan terus kupeluk erat.
Ayahku adalah Imran, seorang kuli bangunan
di proyek-proyek perumahan. Kulitnya hitam namun orang-orang nampak selalu
nyaman bersanding dengan ayah. Tak jarang aku melihat mereka bercakap dan bertamu
ke rumah. Sebaliknya, entah kenapa justru aku enggan berdekatan dengannya. Satu
yang sangat kuingat dari perkataan ayah adalah berbuatlah yang besar maka yang
kecil akan mengikutimu. Kalimat yang sampai saat ini belum dapat kupahami.
Ibuku, seorang ibu rumah tangga. Kata orang
sih wajahnya cantik. Namun, satu yang
menjadi pertanyaanku. Sebuah tanda jahitan besar di keningnya. Aku tak pernah
bertanya tentang itu, dan aku pun tak peduli apa itu. Ibu sangat peduli dengan
kerapihan dan kehidupan semua orang, tentu saja termasuk aku. Walaupun kadang
Ibu terlalu kepo juga dengan kehidupan anaknya. Kadang aku malah
merasa diperlakukan seperti anak kecil.
Rumahku berada sekitar 5 km dari pusat
kota. Walaupun tak jauh dari kota, tapi rumahku sangat jauh dari kemewahan.
Luasnya hanya 30 meter persegi namun ibu merawatnya dengan baik. Sehingga
walaupun kecil namun ia tetap nampak indah dan bersih. Dari sini aku dapat melihat sebuah rumah mewah
seperti istana. Ia memiliki tiga lantai dan dikelilingi pohon yang rindang dan
menyejukkan.
Subuh yang hilang
“Arya…bangun,
Nak!” terdengar pelan suara lirih seorang lelaki di balik pintu biru pembatas
kamar dan ruangan tengah. Pintu itu terlihat usang. Seingatku, ayah mengecat
pintu itu sepuluh tahun yang lalu tepat di sehari sebelum peringatan Hari Kemerdekaan
RI.
Ayah
selalu berusaha membangunkanku untuk salat Subuh di masjid. Suara lembut ayah tak
dapat membangunkanku. Bahkan, itu seperti selimut yang memanjakan setiap mimpi
dalam lelapku.
Kreeekkk…terdengar suara pintu terbuka dan
tep…tep…tep…suara langkah kaki. Ini pasti
Ayah, pikirku.
“Arya…bangun..salat Subuh!” tangannya menepuk
kakiku berkali-kali semakin keras. Bagiku hal ini lebih meninabobokanku
daripada menyadarkanku. Oh ya..perlu diingat aku seorang atlet Karate berdan
hitam. Setiap hari aku melatih fisikku agar lebih kuat. Jadi kalau hanya
ditepuk, bagiku itu tak ada artinya. Hihi..biar
saja..nanti juga cape sendiri, pikiran nakalku mulai menggoda. Aku pun
mempererat pelukanku pada gitar kesayanganku.
“Arya..ayo
ke masjid!” suara ayah agak lebih keras dan tepukkannya diperkuat.
Tiga… sambil kulipat
jariku seperti anak TK yang sedang belajar berhitung.
“Arya…ayo!!!”
Empat. Aku pun memiringkan tubuhku
menjauh dari sang ayah.
Sayup-sayup
kudengar suara iqamah, berselingan dengan suara ayah yang terus mencoba
membangunkanku. Bagaikan suara surga. Iqamah itu bagaikan pembebasku dari sang
pemaksa. Pemaksa bangun subuh, penghancur tidur indahku. Ya, pembebas dari sang
penganggu, ayah. Nah sekarang ayah pasti
pergi.
Sekilas kulihat wajah ayah sedih. Menarik
nafas dalam dan dikeluarkan perlahan. Bagaikan seorang ahli silat di TV yang
mencoba menenangkan diri. Ia tersenyum. Kerutan di dahi dan pipinya semakin
terlihat. Matanya yang teduh memancarkan keihklasan dalam setiap perbuatannya.
Entah kenapa kucium wangian yang sangat menenangkanku dari tubuh ayah.
Hari ini,
kenapa ayah tampak berbeda??? Pikirku. Manis dan tenang sekali kulihat. Ah.. biarlah..mugkin ada pengajian khusus
hari ini, lanjut pikirku.
Ayah berdiri dan melangkah meninggalkanku.
Peci putih, baju koko coklat, dan sarung motif kotak kesayangannya terpakai
dengan rapi kulirik.
Tawa sinis penuh kemenangan pun menyeringai.
Horeee! Aku menang! Teriak batinku
beriringan dengan setan merah bertanduk yang pasti berjingkrak girang menari di
benakku.
“Arya!!!” menyusul suara keras di pintu
dengan suara yang meninggi. “Arya…
bangun! Cepat!” teriak parau seorang ibu paruh baya.
Aduh…gawat
nih!!!! hatiku tiba-tiba berdegup kencang. Jantungku berdebar dan keringat
dingin mulai berhambur dari tubuhku. Pasti
Ibu! Pikirku kaget. Kucoba membuka mataku. Namun dia tak mau bekerjasama.
Semakin kucoba, semakin berat kurasakan. Tak habis akal, tangan pun kugunakan
membuka mataku.
Samar kulihat seorang wanita berdaster
berdiri dengan gagahnya di samping ranjang, tepat di depan mataku. Tangan kiri
menolak pinggang dan tangan kanannya memegang sesuatu yang tak asing bagiku.
Waduh….mati
aku! Seikat sapu lidi sudah siap beraksi mengusik kenyamanan tidurku.
“Bisa bangun gak? Atau Ibu yang bangunkan?”
Sebuah sindiran yang biasa ibu katakan
setiap aku sulit dibangunkan. Cukup efektif. memang Walau, tak pernah sekali
pun kurasakan sapu itu melayang ke badanku. Untuk yang satu ini aku tak mau
ambil resiko.
Masing lekat dalam ingatanku ketika ibu
menggebuki pemuda kampung sebelah kala mereka menganggu ibu yang sedang lewat
gang. Dengan sapu lidi yang ibu pegang sekarang, mereka babak belur dan lari
terbirit-birit. Da sekarang pun aku gak mau jadi korban selannjutnya.
“Lihat jam berapa sekarang?” tanya ibu mencoba
menahan emosinya sambil menunjuk jam dinding.
Astagfirullah…, aku terperanjat melihat jam dinding
penunjuk pukul 7 pagi. Suara genderang seperti terdegar bertalu di teligaku. Suara
ibu perlahan menghilang berganti dengan detakan jantungku. Dug…dug…dug
Kesiangan
lagi!!!
Hidup besar
Subuh yang kurasakan merupakan kemenangan
telak sekilat berubah menjadi bencana yang tak terelakkan. Di sekolah aku pasti
harus menemui Pak Warman. Wakil kepala sekolah bagian kesiswaan yang terkenal
galak di sekolah. Atau bahkan seantero dunia. Tak peduli apa pun alasan siswa
kesiangan, Pak Warman selalu memberikan hukuman yang berat bagi para later.
Later, sebutan bagi siswa yang selalu kesiangan. Entah asalnya dari mana
dan kapan dimulainya. Gelar later, itu telah kusandang sejak aku
bersekolah di sini.
Beragam jenis hukuman yang biasa kujalani. Bertugas
mencuci toilet selama seminggu, lari keliling lapangan basket dua puluh kali,
atau menghormat bendera selama 30 menit atau bahkan menjadi petugas kebersihan
sekolah pun pernah ku jalani. Dan satu
yang tak pernah ketinggalan. Ketika kita melakukan kesalahan pasti Pak Warman
memberi kami jimat ngapung. …ciiiittt…sebuah
tarikan di jambang yang membuat kita lupa akan dunia dan seisinya. Yang
membuat kita terbang dengan kaki terjingjit mengikuti hasrat langit…sedikit
memang tapi luar biasa menyakitkan.
***
“Teja…Sini kamu!”
“Iya pak” jawabku sambil menoleh sebuat
tempat di bawah pohon kersen. Sosok berbadan tegap dengan kumis baplang
menatapku dengan tajam.
Ah…Pak
Warman…kenapa aku ga lihat Pak warman duduk di situ.. keluh dan kesal pada kecerobohanku.
“Kalau jalan trus lewat orang bilang
permisi…trus di jam bapak sekarang sudah jam 7.30.”
“Maaf pak!” jawabku pasrah dengan nasib
yang akan kuterima.
“Bapak aneh dengan kelakuanmu. Kamu sering
sekali terlambat. Takkah kamu belajar dari hukuman yang diberikan?”
Suara Pak Warman berbeda dengan sebelumnya. Lebih
lembut dan berempati. “Tidakkah kau ingin menjadi seperti ayahmu?”
Ayah…? aku tak mengerti apa yang Pak Warman
maksud sebenarnya. Apakah aku juga harus menjadi kuli bangunan seperti ayah.
Sebuah harapan yang di luar akal sehat.
“Arya,” Pak Warman memulai percakapan.
Sebuah nama panggilan yang terasa aneh di telinga karena tidak seperti
biasanya.
“Ayahmu sangat menaruh harapan besar
kepadamu. Baginya kamu adalah harapan terbesarnya untuk mengurus sekolah ini.”
Lagi-lagi perkataan Pak Warman membuatku semakin tak mengerti.
“Maksud bapak?” tanyaku mengeritkan dahi.
“Ayahmu adalah guru bapak saat mengaji dulu.
Ia terkenal sangat baik dan juga disiplin,” jawab Pak Marwan sambil melambaikan
tangannya kepadaku. Pertanda aku diajak untuk duduk di sampingnya.
“Seluruh hidupnya ia abdikan untuk
kepentingan masyarakat. Ia selalu memberikan bantuan pada setiap orang yang
membutuhkan,” lanjut Pak Marwan sambil terbata-bata. Matanya kulihat mulai
memendam air mata.
“Kamu tahu, Radit?” tanya Pak Marwan.
“Mungkin tanpa pertolongan ayahmu, ia tak
dapat terlahir di dunia ini.”
“Maaf, apa yang telah dilakukan ayah?”
tanyaku penasaran.
“Saat itu, saya sedang berada di luar kota,
dan istri bapak yang sedang hamil terjatuh saat ia di jalan. Saat itu tak ada
kendaraan. Untung ada bapakmu. Ia membawa istri bapak ke rumah sakit. Telat
sedikit saja, mungkin Radit tak akan terlahir ke dunia ini,” jelas Pak Marwan
mengusap kedua matanya.
“Arya, kamu lihat rumah yang nampak seperti
istana itu?” tanya Pak warman.
“Ya, Pak,” jawabku sambil menerka kemana
arah pembicaraan Pak Warman.
“Sebelum kamu dilahirkan, Rumah itulah
tempat keluargamu tinggal.”
Seolah tak percaya aku mendekatkan kepalaku
pada Pak Warman.
“Ayahmu dulu seorang yang sangat terpandang
di sini. Ia terkenal sangat pemurah dan baik hati.”
“Lalu kenapa kami sekarang tinggal rumah yang kecil?”
tanyaku penasaran.
“Sewaktu ibumu mengendarai mobil, ia mengalami
kecelakaan.”
Aku pun mencoba mengingat sosok ibuku.
Posturnya. Senyumnya…Wajahnya…Aha..aku
ingat. Apakah ini ada hubungannya dengan bekas luka panjang di dahinya?...jantungku
tiba-tiba berdegup kencang.
“Luka di kepalanya sangat parah. Luka besar
di dahinya menganga lebar. Ia pun sampai tak sadar selama lebih dari satu
minggu,” lanjut pak Warman.
“Selama tak sadarkan diri ia selalu
mengingau tentang janin dalam kandungannya. Ketika siuman, dokter menyarankan
agar ibumu menggugurkan kandungannya dikarenakan akan membahayakan nyawanya.
Namun ibumu menolak.”
Hatiku semakin tak menentu. Apakah aku
harus merasakan sedih karena kecelakaan itu atau bahagia karena aku akhirnya
dilahirkan.
“Ia lebih memilih melahirkanmu walau pun ia
tahu peluang untuk keduanya selamat kecil sekali,” Pak Warman pun nampaknya tak
mampu lagi menahan air matanya. Tak kusangka. Guru yang selama ini terkenal
galak ternyata sangat mudah sekali tersentuh hatinya.
Ayah? Tiba-tiba aku teringat ayah. Apa yang dilakukan ayah. apakah ibu hanya
berjuang sendirian?
“Setelah kecelakaan itu, ayahmu menghubungi
dokter terbaik dan meminta pendapatnya. Semua dokter berpendapat sama. Mereka
menyarankan agar ibumu menggugurkan kandungannya,” Pak Warman mulai dapat
mengendalikan emosinya.
“Karena ibumu tetap dalam pendiriannya,
ayahmu mencarikan dokter terbaik ntuk operasi ibumu dengan biaya yang tentu
saja tidak sedikit. Saat itu pula ia bernazar. Jika ibu dan janinnya dapat
selamat ia akan mewakafkan seluruh hartanya untuk kepentingan umat.”
Aku tak melihat ada keraguan Pak Warman
dalam menceritakan hal tersebut kepadaku. Hal ini sedikit membuatku tertegun
akan sosok ayah yang selama ini kukenal. Apakah benar yang dikatakan pak
Warman. Selama ini, Ayah memang sering terlihat mengurusi kepentingan orang
tapi apakah ayah memperhatikan kepentinganku untuk mempunyai sesuatu yang
dimiliki orang lain.
“Kenapa Ayah lebih mementingkan orang lain?
Apalagi mewakafkan semua hartanya?” aku pun terus bertanya atas
kekurangpahamanku.
“Ayahmu sangat percaya bahwa pertolongan
Tuhan akan selalu ada bagi mereka yang berada di jalan-Nya. Janganlah takut
dengan hal kecil ketika kita berbuat yang besar. Ketika ia mewakafkan seluruh
hartanya untuk kepentingan umat, ia yakin. Kebutuhan keluarganya akan dipenuhi
oleh Tuhan,” sambil mngepalkan tangan kanannya Pak Warman meyakinkanku.
“Sekolah ini dibangun dari wakaf ayahmu,” tegas
pak Warman.
Jika dipikir ulang, memang benar perkataan
ayah. Ketika ayah mengabdikan hidupnya untuk kepentingan besar, Tuhan selalu
memberikan jalan untuknya dalam menafkahi keluarga. Rezeki tak disangka hadir
untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Ketika datang waktu bayar iuran sekolah,
tak disangka seorang dermawan yang tak kami kenal datang ke rumah dan
memberikan santunannya.
“Arya, sekarang kamu faham atas pengorbanan
yang telah dilakukan orang tuamu?” tanya Pak Warman dengan lembut.
Pertanyaan itu bukan hanya pertanyaan tapi
penegasan betapa besar pengorbanan ayah untukku. Hal ini membuat badanku
menjadi panas dingin. Jika sebegitu besar pegorbanan mereka untukku, apa yang
telah kuperbuat untuk mereka. Ayah yang selama ini menjadi kuli bangunan,
bukanlah dikarenakan karena ketidakmampuannya…tetapi karena pengorbanannya
untuk melihatku lahir ke dunia. Ibu yang selama ini kuanggap manusia terkejam,
sebaliknya adalah orang pertama yang rela mengorbankan nyawanya untukku.
Teriakannya bukan untuk menyakitiku. Justru ia sangat menyayangiku.
Titik Balik
Kejadian pagi ini membuat hatiku tak
menentu. Perasaan bersalah dan perasaan bangga mempunyai orang tua yang berjasa
untuk umat bercampur menjadi satu. Ingin rasanya ku segera sampai di rumah
memeluk ayah dan ibu. Sehingga kudapat berjanji di depan keduanya untuk menjadi
anak berbakti pada keduanya.
***
Senja di ufuk barat mulai terkihat redup.
Tergeser oleh sang malam menyambut dinginnya udara malam. Aku pun terus
berjalan menyusuri jalan menuju rumah. Beberapa mobil buntung pengangkut
berangkal seperti biasa sudah terparkir disepanjang jalan. Namun, ada pemandangan
lain kulihat.
Nampaknya
sore ini terlihat lebih ramai. Dengan penasaran kulihat sekeliling jalan. Ya…sore
ini memang sangat berbeda kurasa. Dua buah mobil Damkar sudah terparkir di
jalan dan mengeluarkan lengan-lengannya. Air dari hidran pun keluar dengan
cepat. Tiba-tiba kulihat sekelibat sosok ayah yang berlari ke arahk. Harum
sekali dengan pakaian yang persis tadi subuh kulihat. Dia tersenyum cerah.
Tanpa kata ia berlalu…
“Ayah…” terucap lirih dari bibirku tanpa sadar.
Aku menoleh ke belakang. Namun sosok ayah
nampaknya sudah jauh. Aku pun bergegas menuju rumahku untuk mencari tahu apa
yang sebenarnya terjadi. Tak lama kemudian kulihat seorang ibu sedang menangis
dalam dekapan seorang nenek tua. Tanpa lama berpikir, aku tahu ia adalah ibu.
“Ibu..ibu!!” aku berseru memanggil ibu.
“Arya…Arya..Arya…” Ibu menjawab panggilanku
sambil menangis tersedu-sedu…dan mencoba mengarahkan pandangannya padaku.
Sesuatu coba ia katakan. Namun nampaknya mulutnya terbungkam sesak.
“Apa yang terjadi ibu?” aku penasaran.
“Ayah tadi kemana bu?” lanjutku semakin
penasaran.
“Rumah kita kebakaran nak?” jawab Ibu terisak. “…dan ayahmu…”
“Ya…aku tadi lihat Ayah, Ibu…kemana ayah?”
tak sadar aku mengguncangkan tubuh ibuku sampai bahu kanan dan kirinya bergetar
sambil menahan isak.
“Ayahmu telah meninggal, Nak,” jawab ibu.
Telingaku berdengung. Bibirku terasa kelu. Detak jantungku sampai terdengar
mengganggu pendengaran.
“Ia mencoba menyelamatkan gitarmu. Namun,
ketika masuk, gas yang ada di dapur meledak.”
“Ayah….jadi
pertemuan subuh tadi adalah pertemuaku yang terakhir. Tak akan lagi kudengar
suara lirihmu yang menyejukkan tuk memanggil salat. Takkan lagi kucium wangi
tubuhmu saat salat subuh tiba. Tak lagi kulihat wajahmu berseri. Ayah…maafkan
aku.”
***