Notification

×

Arsip Blog

SADAR

Sabtu, 18 Maret 2023 | 15.29 WIB Last Updated 2023-03-18T09:21:06Z

 



Oleh: Asep Dadang
(Kepala SD Al Azhar Syifa Budi Padalarang)


Kenalkan aku, Arya Teja Kusuma. Teman-teman dan guru memanggilku Teja. Namun aku lebih suka dipanggil Arya. Entah kenapa panggilan itu lebih menyemangati dan membuatku nyaman. Suatu panggilan yang lumayan keren dan macho menurutku. Umurku menginjak 12 tahun. Tahun ini adalah tahun pertamaku di SMP. Hobiku bermain gitar. Aku mempunyai gitar yang sangat kusayangi. Sampai-sampai ketika tidur ia akan terus kupeluk erat.

Ayahku adalah Imran, seorang kuli bangunan di proyek-proyek perumahan. Kulitnya hitam namun orang-orang nampak selalu nyaman bersanding dengan ayah. Tak jarang aku melihat mereka bercakap dan bertamu ke rumah. Sebaliknya, entah kenapa justru aku enggan berdekatan dengannya. Satu yang sangat kuingat dari perkataan ayah adalah berbuatlah yang besar maka yang kecil akan mengikutimu. Kalimat yang sampai saat ini belum dapat kupahami.

Ibuku, seorang ibu rumah tangga. Kata orang sih wajahnya cantik. Namun, satu yang menjadi pertanyaanku. Sebuah tanda jahitan besar di keningnya. Aku tak pernah bertanya tentang itu, dan aku pun tak peduli apa itu. Ibu sangat peduli dengan kerapihan dan kehidupan semua orang, tentu saja termasuk aku. Walaupun kadang Ibu terlalu kepo juga dengan kehidupan anaknya. Kadang aku malah merasa diperlakukan seperti anak kecil.

Rumahku berada sekitar 5 km dari pusat kota. Walaupun tak jauh dari kota, tapi rumahku sangat jauh dari kemewahan. Luasnya hanya 30 meter persegi namun ibu merawatnya dengan baik. Sehingga walaupun kecil namun ia tetap nampak indah dan bersih.  Dari sini aku dapat melihat sebuah rumah mewah seperti istana. Ia memiliki tiga lantai dan dikelilingi pohon yang rindang dan menyejukkan.

 

Subuh yang hilang

            “Arya…bangun, Nak!” terdengar pelan suara lirih seorang lelaki di balik pintu biru pembatas kamar dan ruangan tengah. Pintu itu terlihat usang. Seingatku, ayah mengecat pintu itu sepuluh tahun yang lalu tepat di sehari sebelum peringatan Hari Kemerdekaan RI.

            Ayah selalu berusaha membangunkanku untuk salat Subuh di masjid. Suara lembut ayah tak dapat membangunkanku. Bahkan, itu seperti selimut yang memanjakan setiap mimpi dalam lelapku.

Kreeekkk…terdengar suara pintu terbuka dan tep…tep…tep…suara langkah kaki. Ini pasti Ayah, pikirku.

“Arya…bangun..salat Subuh!” tangannya menepuk kakiku berkali-kali semakin keras. Bagiku hal ini lebih meninabobokanku daripada menyadarkanku. Oh ya..perlu diingat aku seorang atlet Karate berdan hitam. Setiap hari aku melatih fisikku agar lebih kuat. Jadi kalau hanya ditepuk, bagiku itu tak ada artinya. Hihi..biar saja..nanti juga cape sendiri, pikiran nakalku mulai menggoda. Aku pun mempererat pelukanku pada gitar kesayanganku.

“Arya..ayo ke masjid!” suara ayah agak lebih keras dan tepukkannya diperkuat.

Tiga… sambil kulipat jariku seperti anak TK yang sedang belajar berhitung.

“Arya…ayo!!!” Empat. Aku pun memiringkan tubuhku menjauh dari sang ayah.

Sayup-sayup kudengar suara iqamah, berselingan dengan suara ayah yang terus mencoba membangunkanku. Bagaikan suara surga. Iqamah itu bagaikan pembebasku dari sang pemaksa. Pemaksa bangun subuh, penghancur tidur indahku. Ya, pembebas dari sang penganggu, ayah. Nah sekarang ayah pasti pergi.

Sekilas kulihat wajah ayah sedih. Menarik nafas dalam dan dikeluarkan perlahan. Bagaikan seorang ahli silat di TV yang mencoba menenangkan diri. Ia tersenyum. Kerutan di dahi dan pipinya semakin terlihat. Matanya yang teduh memancarkan keihklasan dalam setiap perbuatannya. Entah kenapa kucium wangian yang sangat menenangkanku dari tubuh ayah.

Hari ini, kenapa ayah tampak berbeda??? Pikirku. Manis dan tenang sekali kulihat. Ah.. biarlah..mugkin ada pengajian khusus hari ini, lanjut pikirku.

Ayah berdiri dan melangkah meninggalkanku. Peci putih, baju koko coklat, dan sarung motif kotak kesayangannya terpakai dengan rapi kulirik.

Tawa sinis penuh kemenangan pun menyeringai. Horeee! Aku menang! Teriak batinku beriringan dengan setan merah bertanduk yang pasti berjingkrak girang menari di benakku.

“Arya!!!” menyusul suara keras di pintu dengan suara yang meninggi.  “Arya… bangun! Cepat!” teriak parau seorang ibu paruh baya.

Aduh…gawat nih!!!! hatiku tiba-tiba berdegup kencang. Jantungku berdebar dan keringat dingin mulai berhambur dari tubuhku. Pasti Ibu! Pikirku kaget. Kucoba membuka mataku. Namun dia tak mau bekerjasama. Semakin kucoba, semakin berat kurasakan. Tak habis akal, tangan pun kugunakan membuka mataku.

Samar kulihat seorang wanita berdaster berdiri dengan gagahnya di samping ranjang, tepat di depan mataku. Tangan kiri menolak pinggang dan tangan kanannya memegang sesuatu yang tak asing bagiku.

Waduh….mati aku! Seikat sapu lidi sudah siap beraksi mengusik kenyamanan tidurku.

“Bisa bangun gak? Atau Ibu yang bangunkan?”

Sebuah sindiran yang biasa ibu katakan setiap aku sulit dibangunkan. Cukup efektif. memang Walau, tak pernah sekali pun kurasakan sapu itu melayang ke badanku. Untuk yang satu ini aku tak mau ambil resiko.   

Masing lekat dalam ingatanku ketika ibu menggebuki pemuda kampung sebelah kala mereka menganggu ibu yang sedang lewat gang. Dengan sapu lidi yang ibu pegang sekarang, mereka babak belur dan lari terbirit-birit. Da sekarang pun aku gak mau jadi korban selannjutnya.

“Lihat jam berapa sekarang?” tanya ibu mencoba menahan emosinya sambil menunjuk jam dinding.

Astagfirullah…, aku terperanjat melihat jam dinding penunjuk pukul 7 pagi. Suara genderang seperti terdegar bertalu di teligaku. Suara ibu perlahan menghilang berganti dengan detakan jantungku. Dug…dug…dug

Kesiangan lagi!!!

Hidup besar

Subuh yang kurasakan merupakan kemenangan telak sekilat berubah menjadi bencana yang tak terelakkan. Di sekolah aku pasti harus menemui Pak Warman. Wakil kepala sekolah bagian kesiswaan yang terkenal galak di sekolah. Atau bahkan seantero dunia. Tak peduli apa pun alasan siswa kesiangan, Pak Warman selalu memberikan hukuman yang berat bagi para later. Later, sebutan bagi siswa yang selalu kesiangan. Entah asalnya dari mana dan kapan dimulainya. Gelar later, itu telah kusandang sejak aku bersekolah di sini.

Beragam jenis hukuman yang biasa kujalani. Bertugas mencuci toilet selama seminggu, lari keliling lapangan basket dua puluh kali, atau menghormat bendera selama 30 menit atau bahkan menjadi petugas kebersihan sekolah pun pernah ku jalani.  Dan satu yang tak pernah ketinggalan. Ketika kita melakukan kesalahan pasti Pak Warman memberi kami jimat ngapung.ciiiittt…sebuah tarikan di jambang yang membuat kita lupa akan dunia dan seisinya. Yang membuat kita terbang dengan kaki terjingjit mengikuti hasrat langit…sedikit memang tapi luar biasa menyakitkan.

 

***

 

“Teja…Sini kamu!”

“Iya pak” jawabku sambil menoleh sebuat tempat di bawah pohon kersen. Sosok berbadan tegap dengan kumis baplang menatapku dengan tajam.

Ah…Pak Warman…kenapa aku ga lihat Pak warman duduk di situ.. keluh dan kesal pada kecerobohanku.

“Kalau jalan trus lewat orang bilang permisi…trus di jam bapak sekarang sudah jam 7.30.”

“Maaf pak!” jawabku pasrah dengan nasib yang akan kuterima.

“Bapak aneh dengan kelakuanmu. Kamu sering sekali terlambat. Takkah kamu belajar dari hukuman yang diberikan?”

Suara Pak Warman berbeda dengan sebelumnya. Lebih lembut dan berempati. “Tidakkah kau ingin menjadi seperti ayahmu?”

Ayah…? aku tak mengerti apa yang Pak Warman maksud sebenarnya. Apakah aku juga harus menjadi kuli bangunan seperti ayah. Sebuah harapan yang di luar akal sehat.

“Arya,” Pak Warman memulai percakapan. Sebuah nama panggilan yang terasa aneh di telinga karena tidak seperti biasanya.

“Ayahmu sangat menaruh harapan besar kepadamu. Baginya kamu adalah harapan terbesarnya untuk mengurus sekolah ini.” Lagi-lagi perkataan Pak Warman membuatku semakin tak mengerti.

“Maksud bapak?” tanyaku mengeritkan dahi.

“Ayahmu adalah guru bapak saat mengaji dulu. Ia terkenal sangat baik dan juga disiplin,” jawab Pak Marwan sambil melambaikan tangannya kepadaku. Pertanda aku diajak untuk duduk di sampingnya.

“Seluruh hidupnya ia abdikan untuk kepentingan masyarakat. Ia selalu memberikan bantuan pada setiap orang yang membutuhkan,” lanjut Pak Marwan sambil terbata-bata. Matanya kulihat mulai memendam air mata.

“Kamu tahu, Radit?” tanya Pak Marwan.

“Mungkin tanpa pertolongan ayahmu, ia tak dapat terlahir di dunia ini.”

“Maaf, apa yang telah dilakukan ayah?” tanyaku penasaran.

“Saat itu, saya sedang berada di luar kota, dan istri bapak yang sedang hamil terjatuh saat ia di jalan. Saat itu tak ada kendaraan. Untung ada bapakmu. Ia membawa istri bapak ke rumah sakit. Telat sedikit saja, mungkin Radit tak akan terlahir ke dunia ini,” jelas Pak Marwan mengusap kedua matanya.

“Arya, kamu lihat rumah yang nampak seperti istana itu?” tanya Pak warman.

“Ya, Pak,” jawabku sambil menerka kemana arah pembicaraan Pak Warman.

“Sebelum kamu dilahirkan, Rumah itulah tempat keluargamu tinggal.”

Seolah tak percaya aku mendekatkan kepalaku pada Pak Warman.

“Ayahmu dulu seorang yang sangat terpandang di sini. Ia terkenal sangat pemurah dan baik hati.”

“Lalu kenapa kami sekarang tinggal rumah yang kecil?” tanyaku penasaran.

“Sewaktu ibumu mengendarai mobil, ia mengalami kecelakaan.”

Aku pun mencoba mengingat sosok ibuku. Posturnya. Senyumnya…Wajahnya…Aha..aku ingat. Apakah ini ada hubungannya dengan bekas luka panjang di dahinya?...jantungku tiba-tiba berdegup kencang.

“Luka di kepalanya sangat parah. Luka besar di dahinya menganga lebar. Ia pun sampai tak sadar selama lebih dari satu minggu,” lanjut pak Warman.

“Selama tak sadarkan diri ia selalu mengingau tentang janin dalam kandungannya. Ketika siuman, dokter menyarankan agar ibumu menggugurkan kandungannya dikarenakan akan membahayakan nyawanya. Namun ibumu menolak.”

Hatiku semakin tak menentu. Apakah aku harus merasakan sedih karena kecelakaan itu atau bahagia karena aku akhirnya dilahirkan.     

“Ia lebih memilih melahirkanmu walau pun ia tahu peluang untuk keduanya selamat kecil sekali,” Pak Warman pun nampaknya tak mampu lagi menahan air matanya. Tak kusangka. Guru yang selama ini terkenal galak ternyata sangat mudah sekali tersentuh hatinya.

Ayah? Tiba-tiba aku teringat ayah. Apa yang dilakukan ayah. apakah ibu hanya berjuang sendirian?

“Setelah kecelakaan itu, ayahmu menghubungi dokter terbaik dan meminta pendapatnya. Semua dokter berpendapat sama. Mereka menyarankan agar ibumu menggugurkan kandungannya,” Pak Warman mulai dapat mengendalikan emosinya.

“Karena ibumu tetap dalam pendiriannya, ayahmu mencarikan dokter terbaik ntuk operasi ibumu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit. Saat itu pula ia bernazar. Jika ibu dan janinnya dapat selamat ia akan mewakafkan seluruh hartanya untuk kepentingan umat.”

Aku tak melihat ada keraguan Pak Warman dalam menceritakan hal tersebut kepadaku. Hal ini sedikit membuatku tertegun akan sosok ayah yang selama ini kukenal. Apakah benar yang dikatakan pak Warman. Selama ini, Ayah memang sering terlihat mengurusi kepentingan orang tapi apakah ayah memperhatikan kepentinganku untuk mempunyai sesuatu yang dimiliki orang lain.

“Kenapa Ayah lebih mementingkan orang lain? Apalagi mewakafkan semua hartanya?” aku pun terus bertanya atas kekurangpahamanku.

“Ayahmu sangat percaya bahwa pertolongan Tuhan akan selalu ada bagi mereka yang berada di jalan-Nya. Janganlah takut dengan hal kecil ketika kita berbuat yang besar. Ketika ia mewakafkan seluruh hartanya untuk kepentingan umat, ia yakin. Kebutuhan keluarganya akan dipenuhi oleh Tuhan,” sambil mngepalkan tangan kanannya Pak Warman meyakinkanku.

“Sekolah ini dibangun dari wakaf ayahmu,” tegas pak Warman.

Jika dipikir ulang, memang benar perkataan ayah. Ketika ayah mengabdikan hidupnya untuk kepentingan besar, Tuhan selalu memberikan jalan untuknya dalam menafkahi keluarga. Rezeki tak disangka hadir untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Ketika datang waktu bayar iuran sekolah, tak disangka seorang dermawan yang tak kami kenal datang ke rumah dan memberikan santunannya.

“Arya, sekarang kamu faham atas pengorbanan yang telah dilakukan orang tuamu?” tanya Pak Warman dengan lembut.

Pertanyaan itu bukan hanya pertanyaan tapi penegasan betapa besar pengorbanan ayah untukku. Hal ini membuat badanku menjadi panas dingin. Jika sebegitu besar pegorbanan mereka untukku, apa yang telah kuperbuat untuk mereka. Ayah yang selama ini menjadi kuli bangunan, bukanlah dikarenakan karena ketidakmampuannya…tetapi karena pengorbanannya untuk melihatku lahir ke dunia. Ibu yang selama ini kuanggap manusia terkejam, sebaliknya adalah orang pertama yang rela mengorbankan nyawanya untukku. Teriakannya bukan untuk menyakitiku. Justru ia sangat menyayangiku.

Titik Balik

Kejadian pagi ini membuat hatiku tak menentu. Perasaan bersalah dan perasaan bangga mempunyai orang tua yang berjasa untuk umat bercampur menjadi satu. Ingin rasanya ku segera sampai di rumah memeluk ayah dan ibu. Sehingga kudapat berjanji di depan keduanya untuk menjadi anak berbakti pada keduanya.

 

***

Senja di ufuk barat mulai terkihat redup. Tergeser oleh sang malam menyambut dinginnya udara malam. Aku pun terus berjalan menyusuri jalan menuju rumah. Beberapa mobil buntung pengangkut berangkal seperti biasa sudah terparkir disepanjang jalan. Namun, ada pemandangan lain kulihat.

Nampaknya sore ini terlihat lebih ramai. Dengan penasaran kulihat sekeliling jalan. Ya…sore ini memang sangat berbeda kurasa. Dua buah mobil Damkar sudah terparkir di jalan dan mengeluarkan lengan-lengannya. Air dari hidran pun keluar dengan cepat. Tiba-tiba kulihat sekelibat sosok ayah yang berlari ke arahk. Harum sekali dengan pakaian yang persis tadi subuh kulihat. Dia tersenyum cerah. Tanpa kata ia berlalu…

“Ayah…” terucap lirih dari bibirku tanpa sadar.

Aku menoleh ke belakang. Namun sosok ayah nampaknya sudah jauh. Aku pun bergegas menuju rumahku untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tak lama kemudian kulihat seorang ibu sedang menangis dalam dekapan seorang nenek tua. Tanpa lama berpikir, aku tahu ia adalah ibu.

“Ibu..ibu!!” aku berseru memanggil ibu.

“Arya…Arya..Arya…” Ibu menjawab panggilanku sambil menangis tersedu-sedu…dan mencoba mengarahkan pandangannya padaku. Sesuatu coba ia katakan. Namun nampaknya mulutnya terbungkam sesak.

“Apa yang terjadi ibu?” aku penasaran.

“Ayah tadi kemana bu?” lanjutku semakin penasaran.

“Rumah kita kebakaran nak?”  jawab Ibu terisak. “…dan ayahmu…”

“Ya…aku tadi lihat Ayah, Ibu…kemana ayah?” tak sadar aku mengguncangkan tubuh ibuku sampai bahu kanan dan kirinya bergetar sambil menahan isak.

“Ayahmu telah meninggal, Nak,” jawab ibu. Telingaku berdengung. Bibirku terasa kelu. Detak jantungku sampai terdengar mengganggu pendengaran.

“Ia mencoba menyelamatkan gitarmu. Namun, ketika masuk, gas yang ada di dapur meledak.”

“Ayah….jadi pertemuan subuh tadi adalah pertemuaku yang terakhir. Tak akan lagi kudengar suara lirihmu yang menyejukkan tuk memanggil salat. Takkan lagi kucium wangi tubuhmu saat salat subuh tiba. Tak lagi kulihat wajahmu berseri. Ayah…maafkan aku.”       

 

***

 

 

×
               
         
close