Oleh: Dadang
A. Sapardan
(Camat
Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Beberapa minggu ini pada
media online dibahas rencana sebuah televisi swasta untuk menampilkan presenter
Artificial Intelligence (AI) sebagai pembawa pada acara yang ditayangkannya.
Penetapan kebijakan tersebut membuat gerah beberapa presenter karena akan
berdampak pada pengurangan durasi kerja mereka. Bahkan, bila program ini
berhasil akan berakibat pada pengurangan tenaga kerja presenter pada beberapa
stasiun televisi. Sosok AI yang akan ditampilkan televisi dimaksud sebanyak dua
presenter. Mereka akan membawakan berita dari televisi swasta dimaksud. Sebagai
produk kekinian, AI telah memperlihatkan sebuah fenomena yang selama ini sulit
direkonstruksi. Pada beberapa tayangan, AI telah mampu menggambarkan sosok para
tokoh terkenal dari kerajaan tempo dulu yang terpaut ratusan tahun. Bahkan, AI
telah mampu menggambarkan suasana sebuah peperangan tempo dulu yang fenomenal.
Padahal, peperangan dimaksud selama ini hanya dapat dinikmati melalui tuturan
lisan atau tulisan yang disampaikan oleh para sejarawan.
Generasi
saat ini dihadapkan pada satu dinamika kehidupan, yaitu era VUCA. Era VUCA yang
merupakan akronim dari Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity
adalah satu dinamika kehidupan yang penuh gejolak/anomali, ketidakpastian,
kompleksitas, dan ketidakjelasan/ambigutas. Era ini terbentuk karena ditopang fenomena
revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 serta kehidupan milenial.
Keberadaannya diperkuat pula dengan merebaknya pandemi Covid-19 yang selama
lebih kurang 2,5 tahun melanda dunia. Era VUCA telah melahirkan dinamika
kehidupan dengan perubahan yang begitu cepat.
Era ini telah melahirkan
fenomena disrupsi pada beberapa ranah
kehidupan. Semakin maraknya pemanfaatan perangkat digital oleh masyarakat telah
melahirkan perubahan pada pola kehidupan mereka. Perubahan terjadi pada
berbagai ranah kehidupan, semisal: ranah sosial, ekonomi, budaya, serta ranah
lainnya. Adanya lompatan perubahan kehidupan tersebut memang merupakan fenomena
yang harus dihadapi dan disikapi oleh masyarakat saat ini.
Sejak beberapa tahun ke belakang, ranah kehidupan ekonomi sudah mulai berubah dengan memanfaatkan online atau daring (dalam jaringan) sebagai medianya, sehingga berbagai budaya kehidupan offline atau luring (luar jaringan) tersingkirkan oleh keberadaan daring. Tidak berlebihan bahwa perubahan transaksi ekonomi ke dalam moda daring ini melahirkan perubahan mendasar. Perubahan bisa dilihat dari semakin maraknya transaksi keuangan yang menggunakan aplikasi sebagai basisnya. Menghilangnya kantor pembantu Bank beserta ATM-nya. Tersingkirkannya pemanfaatan alat transportasi luring oleh alat transportasi daring. Tergantikannya petugas pintu tol yang melayani transaksi penggunaan jalan tol dengan perangkat nontunai. Bahkan, peran manusia dalam industri berat sudah tergantikan pula oleh robot industri.
Fenoma disrupsi tersebut
melahirkan bertumbangannya perusahaan-perusahan yang tidak dapat melakukan
adaptasi dengan cepat. Bagaimana bioskop berguguran karena mudahnya masyarakat
mengakses film. Begitu banyak mall yang mengalami kebangkrutan karena tergeser
oleh peran marketplace atau toko online. Tidak sedikit perusahaan media
yang mengalami kebangkrutan karena tergerus oleh media online. Bahkan,
peran televisi yang selama beberapa puluh tahun ke belakang menjadi sarana
hiburan masyarakat sedikit demi sedikit tergeser oleh keberadaan media online
melalu perangkat digital.
Kembali pada paparan awal,
melihat fenomena pemanfaatan AI sebagai presenter televisi, pertanyaan mendasar
yang patut diungkap adalah mungkinkan peran guru dapat tergantikan pula oleh
peran AI? Hal ini perlu ditelaah karena selama beberapa dekade, guru menjadi
aktor utama dalam pelaksanaan proses pembelajaran kelas. Dengan demikian,
selama ini peran guru berada pada titik sentral yang sangat strategis dan tidak
tergantikan.
Guru dalam domain
pelaksanaan tugas dan fungsinya adalah sosok yang memiliki tugas dan fungsi
pembelajaran. Merujuk pada konsep pembelajaran kekinian yang menjadi tugas dan
fungsi utamanya, guru memiliki peran sebagai tutor, resource linkers, fasilitator, gate
keepers, dan catalyst. Dalam
kapasitas sebagai tutor, guru memiliki tugas sebagai pemberi bimbingan belajar
terhadap seluruh siswa pada mata pelajaran yang diampunya. Sebagai seorang resource linkers, guru memosisikan diri
menjadi penghubung atas sumber daya yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran.
Berkenaan dengan fasilitator, guru berada pada posisi penyedia kebutuhan pembelajaran
yang dilakukan setiap siswanya. Dalam posisi gate keepers, guru menempatkan diri sebagai penyeleksi materi yang
dianggap penting dan esensial untuk dipahami siswa dalam pembelajaran yang
dilaksanakannya. Sedangkan sebagai catalyst,
seorang guru merupakan sosok yang menjadi agen perubahan sehingga
pembelajaran yang dilakukannya akan bermanfaat bagi kehidupan masa depan siswa.
Sebagai penyampai materi
pelajaran, sosok AI dimungkinkan dapat menggantikan sosok guru, tetapi pada
sisi penguatan karakter siswa, sosok AI sulit menggantikannya. Agak sulit,
sosok AI untuk dapat berperan sebagai teladan, inspirator, motivator,
dinamisator, dan evaluator.
Melihat kenyataan tentang
tugas dan fungsi yang diemban oleh guru bisa dimungkinkan bahwa posisi demikian
tidak dapat tergantikan sekalipun kehidupan telah memasuki era VUCA yang
diwarnai dengan pemanfaatan perangkat digital sebagai pembantu kemudahan hidup.
Keberadaan sosok AI dimungkinkan tidak akan mampu mengemban seluruh tugas yang
dipikul guru karena guru bukanlah sosok yang memberi ajaran tentang materi yang
harus dimiliki, tetapi guru menjadi sosok yang mengarahkan pada penguatan
karakter siswa.
Berkenaan dengan kenyataan
tersebut, kekhawatiran akan tergesernya peran guru di tengah semakin maraknya
peran AI, harus menjadi stimulan bagi guru untuk terus melakukan inovasi
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan zaman. DasARSS.