Kelap-kelip lampu menjuntai di antara gedung-gedung klasik di sepanjang Picadilly Circus. Di antara dekorasi lampu tersebut ada yang berbentuk bulan sabit, ada yang berbentuk bintang, ada pula yang menyerupai lentera khas Timur Tengah. Dan, di antara kumpulan dekorasi tersebut, terdapat sebuah instalasi lampu yang membentuk tulisan ‘Happy Ramadan’.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, dekorasi lampu bertemakan Ramadan menghiasi salah satu jalan terpenting di kota London. Dilansir dari laman Metro.co.uk (2023), instalasi lampu yang terpasang sejak 21 Maret 2023 itu diinisiasi oleh sebuah lembaga non-profit Ramadan Lights UK.
Aisha Desai sang pendiri yayasan tersebut mengatakan bahwa ia terinspirasi dengan dekorasi natal yang selalu terpasang di jalan tersebut setiap tahunnya dan ingin masyarakat Muslim juga dapat merasakan euphoria yang sama. Akhirnya, melalui penggalangan dana publik, mimpinya tersebut dapat terrealisasi. Diresmikan oleh Sadiq Khan, Walikota London yang juga pemeluk agama Islam, komunitas Muslim di Inggris berbondong-bondang merayakan momen bersejarah tersebut.
Karena saat itu, saya juga sedang safari ke London, saya
tidak ingin melewatkan momen berharga tersebut dengan berswafoto di depannya.
Saya bersyukur, untuk pertama kalinya saya menjalani Ramadan di luar negeri, saya
bisa menyaksikan peristiwa yang langka ini.
Menjalani
puasa di Inggris, seberapa berat?
Ketika memasuki bulan Ramadan di pertengahan Maret Islam, negeri belahan utara memasuki bulan semi. Di awal Ramadan, kami memulai puasa ketika memasuki waktu shubuh, sekitar pukul 4 dini hari, dan berbuka pada pukul 6 sore. Artinya, kami menjalani puasa selama 14 jam. Kemudian, seiring memasuki musim yang lebih hangat, durasi siang menjadi lebih lama sehingga kami dapat berpuasa hingga 15 jam.
Apabila
dibandingkan dengan umat Muslim yang menjalani puasa di Indonesia yang
menjalani puasa selama 13 jam, durasi puasa di Inggris tentunya lebih lama. Hal
tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi kami dalam memenuhi rukun Islam yang
keempat ini.
Tantangan lain kami hadap,i ketika kita harus menjalani aktivitas sehari-hari. Tidak seperti di sebagian besar wilayah di Indonesia, di mana saat memasuki bulan Ramadan mayoritas kedai-kedai yang menjual makanan beroperasi saat akan memasuki waktu berbuka, atau kalaupun ada yang masih beroperasi kedainya ditutupi kain tirai, di sini penjual makanan tetap beroperasi seperti biasa. Tentu saja hal tersebut dapat dimaklumi, sebab sebagian besar dari mereka tidak menjalani ibadah puasa.
Tentunya kami tidak bisa menuntut mereka untuk menutup tokonya dengan alasan
‘menghormati yang berpuasa’. Belum lagi, aktivitas tetap berjalan seperti
biasanya, entah itu di sekolahan ataupun di perkantoran. Untungnya, bagi saya
sebagai mahasiswa, momen Ramadan kali ini bertepatan dengan easter break selama
tiga minggu lamanya. Jadi, selama libur tersebut, saya memanfaatkannya untuk
mengerjakan beberapa tugas akademik sambil memperbanyak amal di bulan Ramadan.
Lantas, apakah tantangan tersebut menjadikan puasa di Inggris berat untuk dijalani? Sejujurnya, bagi saya sendiri tidak ada kendala yang berarti untuk tetap memenuhi kewajiban ini.
Meski durasi waktunya lebih lama, namun sebagai seorang Muslim yang sudah
aqil baligh, saya sudah mengetahui kapasitas diri saya dan mampu mengatur
strategi agar mampu menahan lapar dan dahaga dalam waktu yang lama. Adapun
terkait godaan, meski secara fisik tampak lebih banyak godaan yang mampu
membatalkan puasa di sini, namun apabila kita sudah meluruskan niat, niscaya
Allah akan menjaga iman kita.
Menghidupkan
Suasana Ramadan di Perantauan
Terkadang saya
rindu suasana bulan puasa di Indonesia. Setiap pagi dan sorenya, tepatnya
selepas waktu shalat Shubuh dan Ashar, saya biasa pergi ke madrasah untuk
melaksanakan tadarus Qur'an. Atau tawarih berjamaah di masjid yang saya hadiri
meski antusiasmenya hanya pada malam-malam pertama saja. Atau di lain
kesempatan, saya seperti kebanyakan masyarakat Indonesia lainnya, senang
berburu takjil untuk dihidangkan saat berbuka puasa. Tak lupa, momen
buka bersama tak pernah saya lewati untuk menjalin silaturahmi dengan
kawan-kawan sekolah, kuliah, sampai rekan kerja. Hal tersebut tidak saya temui
di sini.
Meski begitu, kami masyarakat Indonesia tidak kehabisan akal untuk tetap menghidupkan suasana Ramadan di tanah perantauan. Seperti misalnya komunitas Keluarga Islam Manchester (Karisma), yang mengadakan rutinan tilawah Ramadan setiap sorenya selama bulan Ramadan melalui platform Zoom. Setiap harinya, satu juz Al-Qur’an kami baca secara bersama-sama sampai mencapai target khatam.
Hal yang sama juga dilakukan oleh PCINU United Kingdom, yang setiap minggunya berbagi tugas kepada anggotanya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an. Tak lupa, sesekali diadakan tausiyah setiap minggunya untuk memantapkan pengetahuan agama di bulan suci ini.
Pada momen Ramadan kali ini, saya juga berkesempatan mewakili Karisma
untuk mengisi tausiyah di platform Keluarga Islam Britania Raya (Kibar
UK), di mana saya membawakan tausiyah bertajuk ‘Keistimewaan Bulan Ramadan’
untuk dibagikan kepada komunitas Muslim Indonesia lainnya yang tinggal di
Inggris.
Adapun kegiatan
Ramadan lainnya seperti berburu takjil dan berbuka puasa bersama, saya
bersama teman-teman saya mencari ide untuk menciptakan momen tersebut. Di
antaranya kami suka berburu iftar gratis di masjid-mesjid ataupun
mengadakan potluck dengan membawa makanan masing-masing untuk disantap
bersama. Atau terkadang kami mengadakan tarawih berjamaah sendiri di akomodasi
mahasiswa karena jarak masjid yang cukup jauh dan selesai hingga larut malam.
Meski tak semeriah di Indonesia, hal tersebut tetap menghadirkan euphoria Ramadan
sebagai momen yang menyenangkan bagi kami untuk dirayakan.
Memaknai
Puasa di Negeri Tiga Singa
Dari gemerlapnya instalasi lampu di Picadilly Circus, tantangan dalam menjalankan ibadah puasa, sampai kemeriahan perayaan Ramadan, sedikitnya terdapat tiga ibrah Ramadan yang mungkin tidak akan kutemui di tanah air. Pertama, pengalaman puasa di negeri nonmuslim ini menguji saya seberapa teguh iman saya dalam menegakkan rukun Islam yang keempat ini.
Dengan posisi saya yang jauh dari saudara Muslim, bisa
saja saya makan di siang bolong tanpa merasa ada yang mengawasi. Namun, saya
yakin, segala aktivitas yang saya lakukan tidak pernah luput dari pengawasan
Allah. Sebagaimana definisi saum itu sendiri secara terminologis berarti:
Menahan diri dari lapar, haus, dan bersenggema, … agar bertakwa kepada Allah dengan jalan muraqabah (merasa diperhatikan Allah) dan mendidik kehendak dan keinginan. (Rasyid Ridha, Al-Manar, hal. 143).
Jadi, apabila
kita benar-benar memaknai saum secara hakiki, sudah sepatutnya kita mampu
menjalankannya dengan teguh, karena tahu bahwa sejatinya saum ini bukan sekedar
menahan lapar dahaga saja, tetapi melatih ketakwaan kita dengan perasaan selalu
diawasi Allah dan mengontrol diri kita dari keinginan duniawi.
Kedua, meski tak
sesemarak suasana di Indonesia, namun kita dapat menghidupkan spirit Ramadan di
manapun berada dengan memperkuat ukhuwah di antara komunitas-komunitas
Muslim. Berbagai aktivitas yang biasa dilakukan saat Ramadan seperti tarawih,
tadarus, dan buka bersama dapat kita ciptakan sendiri di manapun berada. Justru
dengan menjalani Ramadan di negara non-Muslim, saya merasakan solidaritas yang
kuat di antara komunitas Muslim, baik itu komunitas Muslim Indonesia maupun
internasional.
Terakhir, puasa
di negara non-Muslim seperti Inggris mengajarkan saya arti toleransi. Meski
tidak ikut merayakan, namun masyarakat lokal di sini memberikan ruang bagi
komunitas Muslim untuk menjalankan keyakinannya secara bebas. Bahkan
terpasangnya dekorasi Ramadan di Picadilly Circus membuktikan bahwa eksistensi
komunitas Muslim diakui sebagai bagian dari masyarakat Inggris. Hal tersebut
dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, khususnya
dalam konteks agama, bahwa sejatinya toleransi bukan berarti saling melibatkan
diri dengan kelompok yang berbeda, tetapi memberikan ruang yang aman bagi seluruh
pemeluk agama untuk menjalankan kepercayaannya dan menghargai keberadaannya.***
Penulis adalah Mahasiswa S2 Program Digital Technologies, Communication and Education, University of Manchester. Alumni Teknologi Pendidikan UPI Lulusan Tahun 2020
Sumber
Jabar.nu.or.id.
(2021, 16 April). Fiqhus Shiyam (1): Pengertian Puasa Ramadan dan Landasan
Hukumnya. Diakses pada 8 April 2023, dari https://jabar.nu.or.id/syariah/fiqhus-shiyam-1-pengertian-puasa-Ramadan-dan-landasan-hukumnya-S6t6Q
Metro.co.uk.
(2023, 22 Maret). London’s first ever Ramadan lights are switched on. Diakses
pada 7 April 2023, dari https://metro.co.uk/2023/03/22/londons-first-ever-ramadan-lights-are-switched-on-by-sadiq-khan-18482081/