Oleh: Dian Savitri,
S.Pd
(Guru Bahasa Inggris SMPN 2 Tayu Kab. Pati Jawa Tengah)
Menghadapi siswa malas mungkin sudah menjadi santapan hampir
semua guru. Mulai dari malas mengerjakan pekerjaan rumah, malas berkegiatan di
sekolah, bahkan malas masuk sekolah. Poin terakhir adalah masalah yang cukup
mengganggu. Bagaimana tidak, penulis sendiri merasakan kebingungan luar biasa
ketika ada siswa yang sering tidak masuk dan bisa sampai berhari-hari tanpa
alasan yang jelas. Kunjungan ke rumah siswa menjadi jalan yang sering ditempuh.
Jadi, bagaimana cara mengatasi siswa seperti itu?
Tidak dipungkiri banyak faktor yang memengaruhi sifat malas
pada siswa. Pertama, lingkungan tempat tinggal. Keluarga memegang peranan
penting pada tumbuh kembang anak. Ketika dukungan penuh diberikan untuk
bersekolah, tentunya anak memiliki motivasi dalam diri untuk belajar.
Sebaliknya, jika orang tua tidak terlalu mendukung anak sekolah, seperti
misalnya pemikiran, ‘untuk apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau
akhirnya masuk dapur juga’, otomatis anak pun berpikiran sama. Sering ditemukan
orang tua yang meminta anak untuk membantu di kebun, mengantar ke pasar, atau
menjaga adik ketimbang pergi ke sekolah.
Faktor ke dua, lingkungan sekolah. Sudahkah anak merasa
nyaman di sekolah? Indikator nyaman bukan berarti harus merasakan fasilitas
lengkap. Aktivitas monoton di sekolah dapat memicu kebosanan anak sehingga dia
berpikir untuk membolos daripada berada di dalam lingkungan sekolah. Tidak
sedikit siswa yang pergi ke sekolah, nyatanya tidak sampai di sekolah.
Bagaimana dengan anak yang tidak ingin melanjutkan sekolah?
Setamat SMP mereka memilih bekerja. Baik anak laki-laki maupun perempuan, lebih
memilih tidak melanjutkan sekolah. Apa yang mereka kerjakan? Menjadi asisten
rumah tangga, ikut saudara di proyek bangunan. Menurut saya tidak ada yang
salah dengan keputusan tersebut. Kembali pada dukungan keluarga, itupun bukan
murni kesalahan mereka. Tentu jika Anda mengetahui atau menghadapi hal seperti
ini, penulis yakin konseling akan dilakukan kepada mereka. Namun masih saja ada
anak yang tidak tertarik sekolah. Bukan tidak mungkin mereka kembali bersekolah
setelah lama vakum di dunia kerja.
Inilah perlunya mengenalkan berbagai macam keterampilan kepada anak sejak dini. Fungsinya adalah agar mereka memiliki daya saing tinggi. Di sisi lain juga sangat bermanfaat bagi anak yang sisi kognitifnya tidak cukup baik. Bukankah tidak ada anak bodoh di dunia ini? Setiap anak memiliki kelebihan masing-masing. Contoh sederhananya, seorang anak memilih tidak bersekolah dan bekerja sebagai tukang bangunan. Nah, bagaimana caranya agar ia menjadi seorang tukang bangunan yang berbeda dari orang lain? Misalnya ia mampu memasang paving block lebih cepat dari yang lain dengan akurasi dan presisi yang sesuai, tidak miring dan bergelombang. Penulis ungkapkan demikian karena profesi ini nyata, dan memiliki standar upah yang tinggi.
Kemudian bagi siswa putus sekolah yang benar-benar tidak mau
menempuh pendidikan formal, pemerintah perlu hadir, misalnya melalui Balai
Latihan Kerja (BLK). Penulis katakan tidak mau bersekolah formal adalah bagi
mereka yang tidak memahami pentingnya pendidikan. Berapa kalipun guru
memotivasi dan berdiskusi dengan orang tua, tetap saja mereka tidak
mengacuhkan. Nah, BLK sangat mungkin dilaksanakan di kecamatan atau desa ketika
jarak ke ibukota kabupaten terlampau jauh. Di sini, akan ada banyak tenaga muda
terampil yang dapat dilatih. Bukan tidak mungkin mereka bisa membuka lapangan
kerja bagi orang lain.
Menurut hemat penulis, mengintegrasikan keterampilan di
dalam setiap mata pelajaran merupakan poin penting di era ini. Guru bisa
memotivasi dan mengarahkan siswa untuk menjadi seperti apa, namun jalan
kehidupan tetap ada pada genggaman mereka sendiri. Namun bukan berarti kita lepas
tangan terhadap masa depan penerus bangsa. Selalu ada solusi untuk setiap
masalah, dan pendidikan non-formal pun layak diperhitungkan.***
Profil Penulis
Dian Savitri, guru Bahasa Inggris SMPN 2 Tayu Kab. Pati Jawa Tengah
sejak 2022. Lahir di Kudus. Dari 2017
hingga 2022 ditugaskan sebagai Guru Bahasa Inggris di SMPN 5 Cipongkor Bandung
Barat. Pernah berkelana ke Ende, Nusa Tenggara Timur sebagai guru Bahasa
Inggris (juga) di SMKN 6 Ende. Peran reporter kampus pun pernah dilakoni ketika
masih berstatus mahasiswa, dan beberapa kali mengirim liputan kegiatan ke
Harian Kompas. Penerjemah (freelance) sejak 2015 sampai sekarang.