Oleh: Dadang
A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Dalam
beberapa bulan terakhir ini ramai diinformasikan pada berbagai kanal media
sosial tentang pola kehidupan hedonisme yang diperlihatkan segelintir Aparatur
Sipil Negara (ASN). Pola kehidupan hedonisme yang diunggah melalui flexing
mereka pada berbagai kanal media sosial. Flexing mereka sekalipun diunggah
dalam rentang waktu yang cukup lama, telah menjadi jejak digital tentang
dinamika kehidupannya yang tidak bisa serta-merta dihapus. Flexing yang
dilakukan pada awalnya merupakan refleksi dari pengukuhan jati diri sebagai
sosok spesial dalam kehidupan. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, flexing
yang menjadi jejak digital mereka menjadi bahan pihak tententu untuk dikuliti
sebagai refleksi bentuk kehidupan abnormal dalam kapasitasnya sebagai ASN.
Secara kasat mata, mereka di-judge sebagai sosok yang memiliki kehidupan
abnormal karena kepemilikan kekayaannya melebihi batas normal sebagai ASN.
Pemerintahan merupakan lembaga eksekutif yang bertugas mengeksekusi berbagai kebijakan yang telah dirancang dan disahkan bersama lembaga legislatif. Motor penggerak pemerintahan adalah setiap ASN. Mereka menjadi bagian dari birokrasi yang melakukan eksekusi atas berbagai kebijakan dimaksud. Salah satu core yang menjadi tugas pokok ASN adalah pemberian pelayanan secara optimal terhadap masyarakat, baik yang berada di bawah naungannya, maupun masyarakat luas lainnya.
Dalam kapasitas sebagai pemberi pelayanan, setiap ASN yang menjadi elemen pada birokrasi pemerintahan. Mereka terposisikan pada garis depan (garda) pelayanan. Mereka menjadi refleksi dari tampilan kualitas pelayanan yang diberikan oleh lembaga pemrintahan dimaksud. Melalui layanan merekalah, akan terbangun tingkat kepuasan masyarakat.
Pemerintah dituntut untuk dapat menampilkan setiap ASN sebagai sosok yang sesuai dengan kebutuhan kekinian. Setiap ASN harus memiliki kecermatan dalam memotret dinamika kehidupan yang sedang berlangsung. Saat ini ASN tengah menjadi pusat perhatian berbagai pihak. Setiap ASN menjadi sosok sentral perhatian masyarakat. Perhatian terutama ditujukan pada pola kehidupan serta kepemilikan kekayaannya. Perhatian yang diberikan oleh masyarakat merupakan fenomena yang sah-sah saja di tengah keterbukaan informasi yang bisa ditemukan pada berbagai kanal media sosial.
Pola kehidupan dan kepemilikan kekayaan menjadi core perhatian masyarakat, terutama terkait kelogisannya. Dengan penghasilan dari setiap ASN yang dapat dengan ditemukan secara terbuka, masyarakat dapat melakukan kalkulasi kasar di atas kertas. Kalkulasi kasar itulah yang menjadi bahan komparasi dengan kenyataan pola kehidupan dan kepemilikan kekayaan dari para ASN.
Awal maraknya penggunaan kanal media sosial pada perangkat digital, terjadi euphoria setiap orang untuk memposting berbagai dinamika kehidupan mereka, termasuk memposting kepemilikan kekayaan mereka. Pemostingan tersebut merupakan upaya untuk mengukuhkan jati diri sebagai sosok dengan kelas tertentu. Fenomena demikian tidak saja melanda masyarakat secara umum, tetapi melanda pula para ASN.
Pemanfaatan perangkat digital untuk mengukuhkan dan memosisikan diri, diantaranya mengarah pada tampilan flexing. Berbagai tampilan flexing sebagai upaya memamerkan jati dirinya ditautkan pada berbagai kanal media sosial, sehingga lahirlah stigma tertentu bagi mereka. Pemosisian yang disematkan kepada mereka telah menjadi kebanggaan tersendiri karena menempatkan diri pada level status tertentu. Target untuk mengukuhkan pandangan masyarakat dalam posisi hedon dapat dicapai dengan tampilan flexing.
Penggunaan perangkat digital untuk menampilkan flexing tidak saja melanda mereka yang berangkat dari kalangan masyarakat atau pengusaha, tetapi melanda pula para ASN serta beberapa gelintir keluarga dari para ASN dimaksud. Upaya menampilkannya tentu mengarah pada harapan penempatan dalam posisi tertentu di antara ekosistem kehidupannya.
Sejalan dengan perkembangan waktu, upaya flexing yang dilakukan ternyata menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Berbagai tampilan flexing pada kanal media sosial menjadi jejak digital yang tidak dapat dihapus begitu saja. Bahkan, jejak digital tersebut sewaktu-waktu bisa menjadi bahan siapapun untuk menguliti sosok dimaksud. Mana kala pintu masuk telah turbuka, tampilan flexing pada kanal media sosial akan diangkat dan menjadi pelumas yang menjerumuskannya pada titik tertentu. Bahkan bisa menjerumuskan sampai pada titik nadir kehidupan.
Dalam kapasitas sebagai seorang birokrat, para ASN sudah selayaknya mengedepankan pola keteladanan dalam ekosistem kehidupan. Keteladanan harus diperlihatkan pada ekosistem tempat kerjanya dan pada ekosistem kehidupan masyarakat. Dua ekosistem dimaksud merupakan ranah kehidupan yang secara dominan dihuni setiap ASN. Pemberian keteladanan ini menjadi kewajiban yang harus diperlihatkan dalam dinamika kehidupan dengan sesama ASN serta dengan sesama masyarakat. Para ASN yang menjadi aktor sentral dalam wilayah birokrasi, menjadi pula pusat perhatian masyarakat, terutama dalam kehidupannya. Bahkan, mereka harus pula menjadi motor penggerak pemberian keteladanan terhadap seluruh ekosistem kehidupannya. Mereka harus menjadi sosok terdepan kesederhanaan dalam pola kehidupannya.
Alhasil, keteladanan ASN sebagai bagian dari birokrasi harus terus dikedepankan. Keteladanan terutama diarahkan dalam dinamika kehidupan yang bernuansa kesederhanaan. Inilah langkah yang harus dilakukan dalam upaya mengurangi tumpukan jejak digital yang dapat menjadi bahan setiap ASN dikuliti oleh pihak-pihak tertentu. DasARSS.