Oleh: Dadang
A. Sapardan
(Camat
Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Beberapa waktu yang sempat
viral di kanal media sosial tentang perilaku segerombolan anak muda yang
mengendarai sepeda motor dengan ugal-ugalan. Mereka menjalankan sepeda motor dengan
zig-zag sambil mengacung-acungkan senjata tajam pada setiap orang dan kendaraan
yang berpapasan. Berkat kesigapan aparat ke Kepolisian, aksi mereka dapat
segera dihentikan dan para pelakunya digelandang ke kantor Kepolisian. Setelah
diinterogasi, ternyata keberanian mereka melakukan aksi ugal-ugalan dengan
senjata di tangan tersebut tidak lepas dari peran minuman keras dan narkoba
yang dikonsumsinya. Sebuah kenyataan yang membuat miris setiap orang.
Saat ini, peredaran dan
penyalahgunaan narkoba masih terus berlangsung dan cukup mengkhawatirkan banyak
pihak. Peredarannya sudah masuk pada berbagai sendi kehidupan masyarakat dengan
tidak mengenal usia dan strata sosial. Hampir setiap waktu muncul berita
tentang penangkapan terhadap pengguna atau pengedar narkoba. Kenyataan ini
merupakan fenomena yang cukup mencengangkan dan membuat berbagai pihak
terperangah.
Peredaran dan
penyalahgunaan narkoba, selama ini dipandang sebagai bagian dari usaha dengan
motif ekonomi dari setiap pelaku pengedarnya. Namun, beberapa pemerhati pernah
mengemukakan, bahwa bangsa Indonesia tengah berada di bawah bayang-bayang ancaman
perang proxy dengan pasokan narkoba sebagai alatnya. Peredaran narkoba
menjadi alat untuk melumpuhkan sendi-sendi bangsa, sehingga bangsa ini dapat dengan
mudah dikuasai
Untuk melawan fenomena
demikian, kesadaran seluruh pemangku kepentingan harus terbangun sehingga dapat
bersinergi guna menegakkan eksistensi bangsa ini. Upaya pihak tertentu untuk
melakukan perang proxy dimungkinkan dilakukan karena bila tidak
dihalang-halangi, bangsa ini akan bertransformasi menjadi bangsa besar yang
dapat menjadi penguasa dunia. Barangkali, kekhawatiran inilah yang menjadi
pemicu melakukan perang proxy.
Perang proxy atau proxy
war merupakan perang yang diciptakan ketika lawan atau musuh menggunakan
dan memanfaatkan pihak ketiga sebagai mesin perangnya. Pihak ketiga yang
menjadi aktor, digunakan untuk memerangi. Entitas ini bisa dalam bentuk lembaga
non-negara, organisasi, tentara bayaran, atau kekuatan lainnya yang dipandang memiliki
kemampuan untuk menyerang tanpa menyebabkan perang dalam skala penuh. Dalam
perang proxy, lembaga atau negara yang memerangi cukup sulit dideteksi.
Upaya ini dilakukan dengan maksud untuk menguasai sumber daya negara atau
bangsa yang diperanginya. Dengan istilah sederhana, perang proxy bisa
disamakan dengan istilah memukul dengan meminjam tangan pihak lain.
Berkenaan dengan fenomena peredaran dan penyalahgunaan narkoba di kalangan masyarakat, dimungkinkan bahwa fenomena penyebaran narkoba di kalangan masyarakat, terutama di kalangan generasi muda merupakan bentuk perang proxy yang dilakukan oleh negara atau lembaga tertentu. Kedasaran bahwa peredaran dan penyalahgunaan narkoba menjadi bagian dari perang proxy harus terus aktualisasikan sehingga berbagai elemen bangsa ini memberi perhatian serius terhadap fenomena yang terjadi. Upaya menekan peredaran dan penyalahgunaan narkoba bukanlah tanggung jawab pemerintah semata, tetapi menjadi tanggung jawab masyarakat dan seluruh semua elemen bangsa lainnya. Bersama pemerintah, seluruh elemen bangsa harus bersinergi sehingga target yang dipancangkan pihak tertentu melalui perang proxy yang diciptakannya dapat meleset.
Kehati-hatian
akan adanya perang proxy harus menjadi perhatian serius dengan bercermin
pada sejarah yang pernah dialami Tiongkok semasa perang melawan Inggris pada
abad ke-18. Perang di antara kedua negara tersebut terkenal dengan istilah
perang candu. Perang candu tidak bisa dilepaskan dari kuatnya motif penguasaan
ekonomi oleh negara-negara Eropa, dalam hal ini Inggris, Amerika, dan Perancis
terhadap Tiongkok. Perang Candu merupakan strategi yang diterapkan
negara-negara Eropa untuk melemahkan kekuatan bangsa Tiongkok. Dengan lemahnya
berbagai elemen tersebut, Tiongkok akan dengan mudah ditaklukan dan dikuasai.
Kekalahan
Tiongkok atas Inggris merupakan keberhasilan strategi perang proxy yang
dijalankan Inggris. Tiongkok harus bertekuk lutut pada Inggris karena banyak
prajuritnya yang menjadi pecandu opium. Mereka mengonsumsi opium yang dipasok
secara besar-besaran ke Tiongkok oleh pihak ketiga yang menjadi aktor
pelaksananya. Sebelumnya, selama beberapa tahun belakangan, Tiongkok dengan
kekuatan tentaranya yang militan, sulit ditaklukan oleh tentara Inggris. Ujung
dari kekalahan tersebut, Tiongkok harus menandatangani Perjanjian Nanking
yang salah satu isinya adalah penguasaan Inggris atas Hongkong selama 100
tahun.
Berkaca pada
sejarah Perang Candu yang mengakibatkan kekalahan Tiongkok tersebut, tentunya
kita berharap agar kejadian yang demikian tidak teralami oleh bangsa Indonesia.
Kecanduan penduduk potensial akan narkoba harus menjadi perhatian para pemangku
kepentingan. Angka prevalensi penyalahgunaan narkoba harus terus
ditekan, sehingga target pelemahan berbagai elemen bangsa dapat dipatahkan.
Terlepas dari apakah
motifnya perang proxy atau motif ekonimi, untuk melawan peredaran
dan penyalahgunaan narkoba di kalangan masyarakat, diperlukan peran aktif dari
seluruh pemangku kepentingan guna menurunkan prevalensi peredaran dan penyalahgunaan
narkoba di masyarakat. Dalam konteks ini, tidak bisa membiarkan lembaga
antinarkoba seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk sendirian mengupayakan
penurunan prevalensi. Seluruh elemen masyarakat—pemerintah dan
non-pemerintah—harus bersinergi bersama lembaga antinarkoba sehingga peredaran
dan penyalahgunaan narkoba tidak mengalami peningkatan.
Alhasil, sejarah kelam yang
pernah dialami Tiongkok, tentunya tidak teralami oleh bangsa Indonesia.
Kecanduan penduduk akan penyalahgunaan narkoba harus menjadi perhatian para
pemangku kepentingan. Angka prevalensi penyalahgunaan narkoba harus
terus ditekan, sehingga target pelemahan sendi-sendi kehidupan bangsa
dapat disingkirkan jauh-jauh. DasARSS.