Oleh: Dadang
A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Dalam beberapa bulan
belakangan ini ramai diinformasikan pada berbagai kanal media sosial tentang
penyimpangan penggunaan tabungan siswa oleh beberapa guru. Jumlah uang tabungan
yang digunakan oleh mereka tidaklah sedikit, tetapi mencapai angka yang
fantastis, sehingga tidak ayal, menjadi pusat perhatian banyak orang. Tabungan
siswa yang disimpangkan bukan saja dari satu tingkat, tetapi dari seluruh
tingkat. Yang paling menyesakkan, ternyata raibnya tabungan siswa tersebut
tidak terjadi pada satu sekolah, tetapi terjadi pula pada beberapa sekolah
lainnya. Tak ayal lagi, kasus tersebut cukup menampar dunia pendidikan yang
tengah getol mengampanyekan penguatan karakter siswa melalui penguatan
pendidikan karakter. Sebagai konsekwensinya, seluruh guru yang terlibat dalam
kasus tersebut harus bertanggung jawab untuk mengganti uang tabungan siswa.
Sudah sangat lama,
Kemendikbudristek dengan getol mendorong setiap satuan pendidikan agar membuat
formulasi teknis dalam menerapkan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Pada
berbagai program kurikuler yang dirancang dan diterapkan setiap satuan
pendidikan, penekanan pada penguatan karakter siswa harus tersurat dan
diimplementasikan dalam proses pembelajara. Langkah tersebut dilakukan dalam
upaya membentuk karakter siswa sehingga akan tumbuh menjadi sosok berkualitas.
Dalam konteks profil pelajar Pancasila, muara dari proses pendidikan pada
satuan pendidikan, setiap siswa harus beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dan berakhlak mulia; berkebhinekaan global; bergotongrotong; kreatif;
bernalar kritis; serta mandiri.
Mengacu pada regulasi yang
berlaku, upaya mendorong bertumbuh dan berkembangnya karakter terhadap setiap
siswa dapat dilakukan melalui tiga strategi, yaitu berbasis kelas, berbasis
budaya sekolah, serta berbasis masyarakat. Ketiga strategi dimaksud harus
diimplementasikan secara sinergis oleh satuan pendidikan dengan mendapat
dukungan optimal dari berbagai pemangku kepentingan pendidikan. Dengan
sinergitas dan kegotongroyongan dari berbagai pemangku kepentingan pendidikan,
penumbuhan dan pengembangan karakter pada siswa akan dengan mudah terlaksana.
Hal itu, harus dilakukan dalam upaya meminimalisasi gap yang terjadi di
dalam kehidupan yang dialami setiap siswa. Semua lini kehidupan harus
menunjukkan linieritas penerapan program yang mengarah pada penguatan karakter
siswa.
Dalam penguatan pendidikan
karakter berbasis budaya satuan pendidikan, secara eksplisit diungkapkan kewajiban
pemberian teladan oleh guru, tenaga kependidikan, serta pemangku kepentingan pendidikan
lainnya. Setiap warga satuan pendidikan, tanpa terkecuali harus mampu
mengedepankan keteladanan. Tuntutan tersebut terutama diarahkan kepada setiap
guru. Guru sebagai aktor utama dalam proses pendidikan harus menjadi sosok
ideal dalam pemberian keteladanan terhadap seluruh siswa. Guru harus menjadi
sosok terdepan dalam memberi keteladanan terhadap siswa, termasuk terhadap
setiap warga satuan pendidikan lainnya.
Pemberian
keteladanan sangat penting diimplementasikan dalam upaya mempermudah
keterlahiran sikap dan perilaku setiap siswa yang sesuai dengan karakter yang
diharapkan. Keteladanan merupakan penanaman sikap dan perilaku positif melalui
tampilan role model oleh pihak-pihak tertentu. Role model
penerapan karakter dalam konteks satuan pendidikan tentunya harus ditampilkan
oleh guru, tenaga kependidikan, serta warga satuan pendidikan lainnya, sehingga
menjadi acuan bagi setiap siswa.
Keteladanan
melalui role model dimungkinkan menjadi strategi tepat dalam memengaruhi
setiap siswa agar mampu mengembangkan potensinya dengan optimal. Role model
yang ditampilkan dalam ekosistem satuan pendidikan akan besar pengaruhnya
terhadap bertumbuh dan berkembangnya karakter para siswa. Role model
yang diperlihatkan oleh warga satuan pendidikan menjadi refleksi bagi setiap
siswa, sehingga mereka memiliki acuan yang layak ditiru dan dapat diadopsi
dalam ranah kehidupan lain, di luar satuan pendidikan.
Penampilan warga sekolah sebagai role model ini merupakan
strategi yang patut dilakukan dalam upaya mendorong keberlangsungan program.
Berbagai program yang diterapkan satuan pendidikan tidaklah terarah secara
parsial untuk siswa semata, tetapi harus pula menyasar seluruh warga satuan
pendidikan, terutama guru. Guru
harus menjadi pemberi contoh yang baik dalam bersikap, berperilaku, dan
bertutur kata bagi seluruh siswanya. Guru
harus menjadi role model dalam menerapkan karakter seperti yang
diamanatkan regulasi.
Akan halnya dengan kasus raibnya tabungan yang melanda para siswa
dengan beberapa gelintir guru yang menjadi pelakunya, kejadian tersebut menjadi
tamparan keras bagi dunia pendidikan. Tamparan bukan saja bagi satuan
pendidikan dimaksud, tetapi tamparan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam
ranah pendidikan. Perilaku yang diperlihatkan guru merupakan perilaku yang
kontradiktif dengan kebijakan penguatan karakter yang selama ini didorong untuk
diimplementasikan oleh setiap satuan pendidikan.
Kejadian yang menguras energi berbagai pihak tersebut sudah selayaknya
menjadi cermin bagi setiap pemangku kepentingan pendidikan bahwa penguatan
karakter bukan saja kewajiban yang harus diterapkan dan dimiliki oleh setiap
seiswa, tatapi harus diterapkan dan dimiliki oleh seluruh warga satuan
pendidikan. Program yang diterapkan harursah komprehensif, menyasar seluruh
elemen yang terlibat dalam satuan pendidikan, bahkan harus pula menyasar setiap
elemen pemangku kebijakan pendidikan. Warga satuan pendidikan dan pemangku
kepentingan lainnya harus menjadi role model kepemilikan karakter. ****DasARSS.