Oleh: Dadang
A. Sapardan
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Beberapa waktu
yang lalu mendapat pesan Whatsapp dari seorang teman. Isi pesan Whatsapp-nya
mengungkapkan bahwa beberapa tahun yang lalu dirinya pernah menginisiasi
program beas perelek pada lingkungan RW tempat tinggalnya. Program beas perelek
ini terus berlangsung hingga saat ini. Hasil dari program beas perelek ini
sempat dijadikan dana pinjaman bergulir warga RW, tetapi kegiatan pinjaman
tersebut harus kandas karena warga yang meminjam banyak yang tidak melakukan
pelunasan atas pinjaman yang dilakukannya. Selanjutnya, hasil dari program beas
perelek ini diproyeksikan untuk pembangunan berbagai sarana kebutuhan umum
masyarakat, seperti bantuan pada warga miskin, pengerasan jalan, perbaikan
gorong-gorong, dan berbagai kegiatan lainnya. Kegiatan tersebut terus
berlangsung hingga saat ini.
Dalam
mengarungi kehidupan ini, masyarakat tidak terlepas dari tradisi yang
membersamainya. Tradisi masyarakat dimaksud sering dimaknai sebagai kearifan
lokal (local wisdom). Sebuah pola budaya kehidupan turun temurun yang
yang diinisiasi oleh masyarakat pendahulu dan menjadi pondasi hingga dapat survive
dalam kehidupan saat ini.
Merujuk pada literatur yang ada, kearifan lokal merupakan bagian dari budaya masyarakat yang
tidak dapat dipisahkan dari budaya masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal sebagai
bentuk budaya masyarakat, biasanya diwariskan secara turun-temurun dalam kurun
waktu tertentu dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Keberadaan kearifan lokal ini menjadi menjadi identitas melekat dari masyarakat
tertentu. Keberadaan kearifan lokal menunjukkan begitu kuatnya nilai-nilai yang
ditanamkan para pendahulu kepada penerusnya karena memiliki nilai manfaat untuk
kehidupan.
Walau demikian,
tidak seluruh kearifan lokal yang dimiliki dapat dipahami dan diimplementasikan oleh generasi penerusnya.
Kearifan lokal yang telah membersamai para pendahulu untuk menyikapi dinamika
kehidupan, sedikit demi sedikit terkikis dan hilang dari kehidupan masyarakat.
Salah satu penyebab punahnya kearifan lokal karena dipandang sudah tidak
relevan dengan kehidupan kekinian yang modern dengan nuansa kehidupan digital,
serba cepat dan serba instant.
Bila melihat
perkembangan kehidupan yang berlangsung, kearifan lokal merupakan warisan budaya yang memiliki
nilai luhur dan nilai manfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Para pendahulu telah
mengimplementasikan kearifan lokal untuk dapat survive dalam kehidupan
mereka. Berkenaan dengan itu, kearifan
lokal harus ditumbuhkembangkan oleh generasi masa kini dan masa depan melalui
pengemasan yang disesuaikan dengan era kehidupan kekinian.
Kearifan lokal yang dipraktikkan dan diturunkan oleh para
pendahulu, bernilai manfaat
bagi kehidupan. Keberadaannya memiliki kandungan filosofi yang sangat
tinggi. Implementasi kearifan lokal telah menjadi bukti empirik kemampuan
masyarakat dalam menjaga keseimbangan hubungan antarmanusia, antara manusia
dengan alam, antara manusia dengan penguasa alam raya.
Bangsa ini adalah bangsa yang kaya akan kepemilikan kearifan lokal. Para generasi pendahulu menurunkan hasil kreativitasnya sebagai kado terindah bagi generasi penerusnya. Salah satu bentuk kearifan lokal yang diturunkan oleh generasi terdahulu adalah budaya kehidupan gotong royong yang diimplementasikan dengan tradisi beas perelek.
Beas perelek adalah sebuah frasa bahasa Sunda yang dibentuk dari dua kata, yaitu beas dan perelek. Dalam bahasa Indonesia, beas berpadanan dengan beras, sedangkan perelek adalah suara dari butiran beras bila dijatuhkan dan mengena pada benda keras. Inilah yang menjadi salah satu warisan bermakna dari para pendahulu bagi generasi masa kini dan masa depan. Warisan tradisi ini bisa dijadikan pegangan dalam kehidupan para generasi selanjutnya.
Tradisi beas perelek dibangun dalam konteks hubungan membangun sinergitas antarmanusia dalam berkehidupan. Tradisi beas perelek merupakan bentuk gotong royong antarmasyarakat dalam satu lingkungan kehidupan tertentu. Hasil dari beas perelek digunakan untuk membantu masyarakat sekitar yang kurang beruntung dalam sisi kehidupan ekonomi. Dalam konteks kehidupan masyarakat Sunda, aktivitas beas perelek merupakan refleksi dari filosofi orang Sunda yang mengajarkan hidup untuk silih asih, silih asah, dan silih asuh.
Tradisi beas
perelek bersifat suka rela dan tidak memaksa kepada setiap warganya. Warga
yang memiliki kepedulian sosial dipersilakan untuk menyumbang beras, demikian
pula warga yang tidak memiliki kepedulian atau warga tidak mampu, tidak diwajibkan
memberikan sumbangan. Jumlah beras yang disumbangkan pada aktivitas ini tidak
memberatkan karena tidak ada batasan minimal dan maksimal. Pada umumnya, beras
yang disumbangkan oleh setiap keluarga sebanyak genggaman tangan atau satu
gelas. Pada beberapa warga, beras yang dijadikan perelek merupakan
penyisihan dari beras yang akan dimasaknya, sebelum ngisikan. Mereka
menyerahkan beas perelek kepada petugas dari RT atau RW yang berkeliling
pada setiap rumah. Petugas yang berkeliling untuk menampung beas perelek
dari warga bisa para pemuda, para kader, atau unsur warga lainnya.
Hasil
pengumpulan besar dari warga dibagikan kembali kepada warga sekitar lingkungan
RT atau RW yang kurang beruntung secara ekonomi. Para Ketua RT atau RW memiliki
peta penyebaran hasil beas perelek. Pada umumnya, hasil beras perelek
disumbangkan kepada keluarga prasejahtera, anak yatim, atau warga jompo.
Dalam kondisi
kekinian aktivitas beas perelek di lingkungan masyarakat, merupakan
tradisi yang masih relevan. Tradisi ini menjadi upaya nyata warga dalam
menyikapi krisis kebutuhan pangan warga sekitar. Meskipun bantuan pemerintah
sudah berjalan dan menyasar setiap keluarga prasejahtera, tradisi beas
perelek menjadi sebuah gerakan antisipatif dalam menyikapi krisis kebutuhan
pangan masyarakat. Gerakan yang lahir dari bentuk kepedulian masyarakat
terhadap warga lainnya, bisa menjadi langkah strategis dalam memenuhi kebutuhan
mendesak setiap warga akan pangan. Dengan demikian, gerakan ini menjadi sebuah
langkah antisipasi warga yang sinergis dengan program pemerintah untuk
menyikapi permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat.
Dalam kehidupan kekinian, tradisi beas perelek merupakan gerakan antisipatif yang masih relevan dengan kehidupan sosial ekonomi saat ini. Keberadaan tradisi beas perelek dapat menjadi upaya nyata untuk menyikapi kondisi warga yang masuk dalam ketegori miskin ekstrim atau prasejahtera dalam skala wilayah RT dan RW. **** DasARSS.