Oleh: H. Dadang A. Sapardan, M.Pd
(Camat Cikalongwetan Kab. Bandung Barat)
Kebijakan pendidikan yang dirancang oleh pemerintah, dengan Kemdikbud sebagai pemegang otoritas kebijakannya terus didorong untuk dapat diimplementasikan oleh setiap sekolah. Salah satu kebijakan strategis yang harus dilakukan secara masiv oleh setiap satuan pendidikan adalah implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Langkah implementasinya dilandasi dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter dan implementasi teknisnya diperkuat dengan lahirnya regulasi turunan yaitu Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal.
Mengacu pada Permendikbud seperti disampaikan di atas, Penguatan Pendidikan Karakter adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter siswa melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (RNRM). Dengan demikian, tugas satuan pendidikan tidak terlalu berat pada penguatan ranah kognitif (pengetahuan) tetapi melakukan penguatan pada sikap (attitude) setiap siswanya.
Salah satu langkah implementasi PPK yang harus dilakukan oleh setiap satuan pendidikan adalah memberi ruang dan waktu dengan seluas-luasnya kepada seluruh siswa agar memilki kompetensi literasi. Kepemilikan kompetensi ini harus menjadi program yang diterapkan oleh satuan pendidikan sehingga siswa diharapkan dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara mandiri atau berkolaborasi dengan siswa lainnya.
Kompetensi literasi seluruh siswa sebagai subjek pendidikan, harus mendapat perhatian serius sehingga satuan pendidikan diharapkan dapat menyusun berbagai program nuansa pengembangan literasi. Hal itu perlu disadari dan dilakukan oleh satuan pendidikan karena kemampuan literasi dari setiap siswa dapat menjadi modal dasar pengembangan wawasan ilmu pengetahuan yang dimiliki siswa.
Dilihat dari maknanya, literasi merupakan istilah yang merujuk pada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dari pengertian tersebut, literasi tidak dimaknai secara sempit yang mengarah pada kemampuan reseptif semata, tetapi mengarah pula pada kemampuan produktif. Tampilan kemampuan produktif dapat direalisasikan setelah siswa melewati tahapan kemampuan reseptif. Untuk sampai pada kondisi demikian, tidak dapat lahir atas inisiatif siswa semata, tetapi mereka harus diberi ruang dan waktu melalui berbagai program strategis dari satuan pendidikan. Evident dari kemampuan produktif tersebut dalam bentuk karya yang terdokumentasikan.
Implementasi literasi oleh setiap satuan pendidikan dikemas melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Dalam GLS ini, terdapat enam kemampuan literasi dasar yang harus dimiliki oleh setiap siswa, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewarganegaraan. Keenam literasi tersebut harus menjadi milik setiap siswa malalui implementasi program yang difasilitasi oleh satuan pendidikan. Karena itu, setiap satuan pendidikan harus mampu merancang dan memformulasi implementasi keenam kemampuan literasi dimaksud sehingga menjadi program yang dapat mendorong kepemilikan seluruh kompetensi literasi oleh setiap siswa.
Literasi digital merupakan salah satu dari keenam kompetensi literasi tersebut. Literasi ini menjadi salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Arah penerapan kebijakan tersebut didasari dengan fenomena kehidupan saat ini yang telah memasuki era revolusi industri 4.0. Dengan demikian, setiap satuan pendidikan—mau tidak mau dan siap tidak siap—harus merespons dengan berbagai program yang abai terhadap fenomena era kehidupan ini. Sebagai salah satu domain kehidupan yang harus menyiapkan setiap siswanya agar menjadi generasi penerus yang dapat survive dalam masa kehidupan masa depan, satuan pendidikan harus berada pada garis terdepan dan menjadi ujung tombaknya. Satuan pendidikan harus merespon secara proaktif akan fenomena yang terjadi, termasuk menyikapi perubahan pada era kehidupan ini.
Satuan Pendidikan sebagai Ujung Tombak
Dalam rentang waktu yang panjang ini, sedikitnya terdapat empat titik tolak fenomena yang menjadi pemicu perubahan dalam kehidupan di muka bumi ini. Keempatnya merupakan titik radikal yang serta merta mengubah budaya kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut berangkat dari fenomena kehidupan industri. Keempat perubahan yang berdampak pada perubahan budaya kehidupan masyarakat tersebut adalah revolusi industri 1.0 (mekanik), revolusi industri 2.0 (listrik), revolusi industri 3.0 (computer/internet of human), serta revolusi industri 4.0 (computer/internet of things).
Sampai saat ini kehidupan manusia sudah berada pada era revolusi industri 4.0 dengan diwarnai oleh fenomena pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi yang mampu memobilisasikan entitas pengetahuan secara cepat, murah, dan masiv. Era ini melahirkan fenomena disrupsi pada sebagian besar pranata kehidupan masyarakat. Era revolusi industri 4.0 melahirkan lompatan besar teknologi dengan adanya symptom pemanfatan teknologi informasi dan komunikasi secara masiv dan optimal pada berbagai elemen masyarakat.
Sejalan dengan itu, satuan pendidikan harus memosisikan diri sebagai ujung tombak penyiapan generasi yang literat digital. Setiap satuan pendidikan harus dapat merespon fenomena kehidupan revolusi industri 4.0 melalui penerapan program kebijakan yang tepat dalam upaya mendorong setiap siswa agar menjadi sosok literat digital. Sosok literat ini bisa mengarah pada dua domain yaitu kemampuan mengoperasionalkan perangkat digital (tecnological literacy) serta kemampuan memroses informasi dari perangkat digital secara optimal (information literacy).
Literasi digital dimaknai sebagai pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkan secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap orang perlu memahami bahwa literasi digital merupakan modal penting untuk dapat berpartisipasi dalam era kehidupan saat ini. Namun, setiap orang harus dapat bertanggung jawab terhadap pemanfaatan perangkat digital untuk berinteraksi dalam kehidupan kesehariannya.
Saat ini dunia digital dipenuhi pula dengan berbagai konten berbau berita bohong, ujaran kebencian, radikalisme, praktik penipuan, dan berbagai konten negatif lainnya. Keberadaan konten negatif yang merusak ekosistem digital tersebut hanya bisa ditangkal dengan membangun kesadaran akan bahayanya konten tersebut bagi kehidupan individual dan kolektif. Kesadaran ini perlu dibangun, di antaranya dengan memanfaatkan satuan pendidikan sebagai agen penyadaran, terutama penyadaran terhadap setiap siswanya.
Menjadi literat digital berarti kemampuan memroses berbagai informasi, kemampuan memahami pesan, dan kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk. Dalam konteks ini, termasuk pula membangun kesadaran dan berpikir kritis terhadap berbagai dampak positif dan negatif yang diakibatkan penggunaan perangkat dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui keterbangunan kompetensi literasi digital akan tercipta tatanan kehidupan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis dan kreatif. Setiap orang tidak akan dengan mudah termakan oleh isu provokatif, menjadi korban informasi hoaks, atau korban penipuan yang berbasis digital. Dengan kompetensi literasi digital, kehidupan sosial dan budaya akan cenderung lebih aman dan kondusif.
Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu respons yang harus dilakukan oleh penentu kebijakan pada setiap satuan pendidikan adalah memberi ruang dan waktu yang seluas-luasnya kepada seluruh siswa agar dapat memiliki kompetensi literasi digital. Dalam konteks ini, berbagai program yang diterapkan harus aware terhadap kepemilikan kompetensi literasi digital pada setiap siswa. Ketepatan penerapan kebijakan implementasi literasi digital di antaranya melalui program GLS akan mendorong setiap siswa untuk dapat melakukan akselerasi percepatan kepemilikan wawasan ilmu pengetahuan dengan mengesampingkan kekhawatiran akan ekses negatifnya.
Kenyataan memperlihatkan bahwa berbagai pengetahuan dan informasi dapat secara cepat dan mudah diakses oleh siapapun dari internet dengan memanfaatkan perangkat digital yang dimilikinya. Melalui upaya tersebut, setiap siswa diharapkan dapat mengimbangi persaingan kehidupan masa kini dan masa depan yang diwarnai dengan fenomena maraknya digitalisasi pada hampir semua sektor kehidupan.
Simpulan
Kepemilikan kompetensi literasi seluruh siswa harus mendapat perhatian serius sehingga setiap satuan pendidikan diharapkan dapat menyusun berbagai program dengan nuansa pengembangan literasi. Hal itu perlu disadari dan dilakukan oleh satuan pendidikan karena kemampuan literasi dari setiap siswa dapat menjadi modal dasar pengembangan wawasan ilmu pengetahuan yang dimiliki siswa. Salah satu kompetensi yang harus menjadi program satuan pendidikan adalah implementasi literasi digital
Berkenaan dengan literasi digital, saat ini dunia digital dipenuhi dengan berbagai konten berbau berita bohong, ujaran kebencian, radikalisme, praktik penipuan, dan berbagai konten negatif lainnya. Melalui keterbangunan literasi digital pada setiap siswa, keberadaan konten negatif yang merusak ekosistem digital tersebut dapat ditangkal dan disingkirkan.
Dengan demikian, satuan pendidikan harus menjadi ujung tombak dalam mendorong kompetensi literasi digital pada setiap siswa. Langkah yang dapat dilakukan melalui penerapan kebijakan implementasi literasi digital di antaranya lewat kemasan program GLS. Melalui langkah ini, siswa dimungkinkan dapat melakukan akselerasi percepatan kepemilikan wawasan ilmu pengetahuan dengan memanfaatkan perangkat digital sebagai sarananya.****DasARSS.