Oleh: H. Dadang
A. Sapardan, M.Pd., Kp.
(Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat)
Selepas
perhelatan Pemilu Serentak tahun 2024 yang menjadi perhelatan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota sudah mulai bersiap untuk
menyelenggarakan Pilkada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota. Ghirah untuk
menyemarakkan perhelatan Pilkada mulai terlihat pada berbagai kanal informasi
daring dan luring. Bahkan, beberapa tokoh yang berniat untuk mengikuti
kontestasi Pilkada sudah melakukan sosialisasi dengan memasang spanduk di
sepanjang pinggir jalan strategis. Hanya sekitar satu bulan lamanya, pinggiran
jalanan terbebas dari tampilan spanduk. Selepas itu, spanduk para bakal calon
yang akan berlaga pada kontestansi Pilkada sudah mulai bermunculan.
Pemilihan kepala
daerah (Pilkada) adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam rangka memilih
kepala daerah, baik Gubernur bersama wakilnya maupun Bupati/Walikota bersama
wakilnya. Pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan Pemilu Serentak yang saat ini
sudah mengarah pada tahap akhir, dilakukan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil. Pilkada menjadi bentuk pemberian hak konstitusional
kepada masyarakat untuk dapat menentukan pemimpin pada level Provinsi atau
Kabupaten/Kota yang akan memimpin mereka dalam jangka waktu lima tahun ke
depan.
Pilkada
merupakan refleksi dari pelaksanaan demokrasi yang menempatkan posisi
kepemimpinan daerah menjadi kewenangan mutlak masyarakat. Dalam menentukan
siapa yang harus memimpin dalam jangka waktu lima tahun ke depan, masyarakat
diberi ruang yang luas untuk memandatkannya. Bukan itu saja, Pilkada menjadi
implementasi dari penerapan demokrasi dengan sandaran bahwa semuanya dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam konteks
ke-Indonesia-an dengan menempatkan landasan Demokrasi Pancasila, Pilkada
menjadi bagian dari implementasi Demokrasi Pancasila yang merupakan bentuk
demokrasi konstitusional dengan menempatkan kedaulatan rakyat dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dalam penempatan sosok pimpinan pada
level daerah, masyarakat menjadi penentu mutlak untuk memilih sosok yang layak
memimpin mereka.
Sebagai amanat
regulasi, beberapa wilayah harus melaksanakan Pilkada pasca perhelatan Pemilu
Serentak tahun 2024. Pelaksanaannya yang tidak berselang lama dengan perhelatan
tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para pemangku kepentingan yang
terlibat di dalamnya. Bagaimana pelaksanaan Pilkada yang di-arange-nya
dapat menjadi sarana legitimated sehingga terlepas dari timbulnya friksi
yang dapat memicu chaos di kalangan masyarakat.
Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024 telah memancangkan tahapan pelaksanaan
Pilkada. Mencermati waktu yang terus bergulir, sangat dimaklumi bila selepas
Pemilu Serentak para bakal calon sudah melakukan sosialisasi pada berbagai
kanal informasi. Langkah itu dibarengi pula dengan melakukan pendekatan pada
partai politik (parpol) tertentu. Demikian pula dengan parpol, mereka sudah
memasang kuda-kuda untuk menetapkan strategi efektif sehingga dalam perhelatan
ini menjadi bagian dari parpol yang memenangkan calon untuk duduk dalam tampuk
kekuasaan, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota.
Pilkada menjadi
ajang persaingan yang sangat ketat dan dekat, sehingga dimungkinkan mudah
sekali melahirkan letupan friksi. Upaya untuk meminimalisasi friksi yang
berakibat pada lahirnya chaos di lingkungan masyarakat harus menjadi
perhatian seluruh pemangku kepentingan. Hal itu terjadi karena dalam rentang
waktu yang tidak begitu lama dengan pelaksanaan Pemilu Serentak. Padahal, energi
masyarakat baru saja tercurahkan dalam perhelatan Pemilu Serentak yang bukan
tidak mungkin masih menyisakan bekas-bekas friksi di antara mereka.
Pencegahan
terjadinya friksi di antarmasyarakat pendukung tiap calon yang ikut kontestasi
Pilkada merupakan tantangan tersendiri. Berbagai pihak, penyelenggara dan
masyarakat harus menempatkan upaya menjaga kondusifitas kehidupan masyarakat
sebagai tugas utama yang harus dipikul dalam perhelatan ini.
Upaya tersebut
menjadi hal yang harus diperhatikan karena berkaca pada pengalaman yang sudah
berlalu, friksi antarmasyarakat pendukung calon tidak jarang terjadi.
Lahirnya friksi bisa terjadi sejak sebelum pelaksanaan, saat pelaksanaan,
bahkan pasca pelaksanaan. Friksi berlangsung tidak dalam waktu singkat, tetapi
dimungkinkan masih tetap berlangsung sekalipun perhelatan sudah berlalu dalam
rentang waktu yang cukup lama.
Fenomena
demikian harus mendapat perhatian dari seluruh pemangku kepentingan karena
Pilkada menjadi pesta demokrasi masyarakat dengan keberadaan calon yang relatif
berdekatan, terutama secara geografis dan emosional. Pilihan dukungan
masyarakat kepada salah satu calon pun begitu jelas terlihat. Secara kasat
mata, siapapun bisa melihat keberpihakan sesorang terhadap salah satu calon
yang akan berlaga dalam Pilkada. Dengan kondisi demikian, friksi di antara
masyarakat pendukung bisa terjadi dengan cepat, layaknya sumbu pendek yang
dengan mudah dan cepat meledak.
Sekaitan dengan
penetapan pilihan masyarakat sebagai implementasi pemberian mandat memimpin
daerah, adalah dimungkinkan bahwa pemenang Pilkada bukanlah calon yang
dipilihnya di bilik suara. Dalam konteks ini, kedewasaan masyarakat pendukung
dan pemilih sangat dibutuhkan untuk dapat menerima dengan lapang dada atas
pilihan mayoritas masyarakat. Bahkan kelapangdadaan pun sangat dibutuhkan
dimiliki oleh setiap calon yang ikut dalam kontestasi Pilkada, terutama mereka
yang tergariskan tidak memperoleh mandat masyarakat untuk menjadi kepala
daerah.
Tentunya,
perhatian utama para pemangku kepentingan—panitia pelaksana, pemerintah, pihak
keamanan, para calon, serta masyarakat pendukung dan masyarakat pemilih—dalam
Pilkada adalah membangun kondusifitas kehidupan. Pilkada yang berlangsung harus
menjadi pesta rakyat dalam berdemokrasi guna melahirkan kepala daerah yang legitimated.****
DasARSS.